
Dina memulai paparannya dengan memperkenalkan istilah “kaca mata”: dengan kaca mata apakah Anda memandang sebuah konflik? Ketika melihat foto ratusan tenda tempat berteduh orang-orang Suriah yang terpaksa mengungsi akibat perang, ketika melihat foto dan video para milisi yang memenggal kepala orang-orang lalu memamerkannya sambil tertawa-tawa, kacamata apa yang Anda pakai?
Kaca mata adalah pengibaratan dari teori atau perspektif. Jika Anda memakai kacamata agama, tentu akan berbeda cara Anda melihat konflik bila dibandingkan bila Anda menggunakan kacamata Ekonomi Politik Internasional (EPI).
EPI adalah salah satu bidang kajian dalam HI yang mulai berkembang tahun 1970-an ketika OPEC mengembargo minyak sebagai bentuk protes atas dukungan AS kepada Israel dalam Perang Yom Kippur. Peristiwa ini membuktikan bahwa faktor ekonomi sangat mempengaruhi politik luar negeri sebuah negara. EPI juga bisa didefinisikan sebagai sekumpulan problem/masalah yang tidak bisa dianalisis hanya dari aspek ekonomi saja, atau politik saja; harus keduanya.
Dina kemudian menyarankan 2 langkah dalam menganalisis Arab Spring dengan perspektif EPI. Pertama, pahami dulu sejarah dan geopolitiknya, bagaimana dan mengapa terjadi Perang Dunia I yang berujung pada terbentuknya negara-negara di Timur Tengah yang umumnya berwilayah kecil dan berpenduduk minim, dan kemudian terbentuknya Israel. Misalnya, Kuwait hanya memiliki 3,8 juta penduduk, Qatar 1,9 juta, Bahrain 1,6 juta. Lalu, Dina membahas Oded Yinon Plan, sebuah dokumen Israel yang berisi perencanaan membagi negara-negara di Timteng menjadi lebih kecil lagi berdasarkan mazhab atau etnis.
Kedua, lakukan analisis konflik dengan mengidentifikasi 4 faktor konflik, yaitu pemicu (trigger), akar (pivotal), peran pemimpin (mobilizing factor), dan faktor yang memperuncing (aggravating factor). Fokus di salah satu saja, misalnya, fokus pada isu mazhab saja, pertempuran antar jihadis vs tentara Suriah saja, tidak akan menghasilkan analisis yang komprehensif.
Dengan kacamata EPI, kita akan mendapati bahwa skema yang terjadi di Timteng adalah perebutan sumber daya alam. Setelah itu, lalukan identifikasi “tema” dan “isu” yang dipakai. Di Tunisia, temanya adalah demokratisasi. Demo masyarakat terjadi menuntut demokrasi dan menolak Ben Ali yang sudah berkuasa sekitar 30 tahun lebih. Isu yang digunakan adalah Ben Ali penguasa diktator, despotik. Di Suriah, tema dan isu yang sama awalnya dipakai, namun demo yang terjadi tidak masif, sehingga tidak berhasil menggulingkan Assad. Tema kemudian berganti dengan “mendirikan khilafah” dan isu Sunni-Syiah dipakai (Assad digambarkan sebagai penguasa Syiah yang membantai Sunni). Akibat isu sektarian, ratusan ribu jihadis dari ratusan negara di dunia berdatangan ke Suriah untuk memerangi pemerintah Suriah. Namun tidak boleh dilupakan, kedatangan besar-besaran para milisi ke Suriah, persenjataan canggih yang mereka pakai, suplai logistik, gaji para milisi, semua membutuhkan dana yang sangat besar. Siapa yang mendanai dan apa keuntungan yang didapat oleh para sponsor?
Dina kemudian memaparkan berbagai manipulasi informasi yang dilakukan media-media mainstream terkait berbagai konflik di Timteng, mulai dari Irak, Libya, Suriah, hingga Yaman. Pemilik media mainstream berasal dari “kelas” atau kelompok pemilik modal raksasa yang sama, yang juga menggelontorkan dana untuk membiayai perang. Kemudian, data-data penjualan senjata dari AS dan Eropa ke Arab Saudi, jalur pipa migas, dan lain-lain. Semuanya membuktikan bahwa motif utama di balik konflik Timteng adalah motif ekonomi, yaitu perebutan sumber daya alam dan proyek infrastruktur dan hal ini merupakan pengulangan motif meletusnya Perang Dunia I.