Oleh: Dina Y. Sulaeman (Direktur ICMES)
Tanggal 29 April-2 Mei 2015, digelar Konferensi Pelajar/Mahasiswa Asia Afrika di Gedung Merdeka (selanjutnya akan disingkat AASC- Asian-African Student Conference), Bandung. Saya diminta memberikan kuliah umum dengan tema ‘Global Leadership’. Sebelum saya menuliskan di sini, apa yang saya sampaikan dalam kuliah umum itu, saya ingin bercerita sedikit tentang sejarah AASC.
AASC pertama kali diselenggarakan tahun 1956, setahun setelah Konperensi Asia-Afrika pertama. Delegasi Indonesia waktu itu diketuai oleh Emil Salim. AASC 2015 dibuka oleh Wakil Menlu, Bpk AM Fachir dan diawali dengan keynote speech dari Bapak Emil Salim. Dalam pidatonya, Emil Salim mengenang, banyak peserta AASC yang di kemudian hari menjadi menteri-menteri di negara mereka (termasuk Emil Salim sendiri).
Andrew Philips dan Tim Dunne (keduanya pemikir HI terkemuka dari Australia), menulis, ada 3 nilai penting KAA, yaitu:
- KAA menghasilkan “statemen melawan kolonialisme” pertama yang paling sistematik. Imperialisme Eropa telah runtuh pasca Perang Dunia II, namun, berkumpulnya 24 negara yang baru merdeka dalam KAA, telah mempercepat keruntuhannya. [Pasca KAA, semakin banyak bangsa terjajah yang meraih kemerdekaannya; pada tahun 1965, sudah ada 75 negara merdeka]. Menariknya, KAA tidak hanya anti-imperialisme Barat. Beberapa negara peserta KAA yang pro-Barat juga mengkritik dominasi Uni Soviet di Eropa Timur. Karena itulah komunike akhir KAA mengkritik kolonialisme “dalam segala bentuk” (in all its manifestations).
- KAA menandai masuknya China sebagai kekuatan politik baru dunia. Diundangnya China membuat khawatir sebagian negara peserta KAA. Dari 29 negara yang menghadiri, 22 di antaranya tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Menlu China, Zhou Enlai, berhasil menghapus ketakutan ini dengan menekankan kerjasama damai. [Enlai mengawali pidatonya dengan kalimat “Saya datang tidak untuk bertengkar…”]
- KAA membuka jalan bagi munculnya bentuk baru diplomasi keamanan; yaitu tidak memihak pada salah satu kekuatan besar dunia (Gerakan Non Blok).
Potensi munculnya kekuatan baru dunia yang menentang imperialisme modern (penjajahan ekonomi) membuat AS dan negara-negara Barat lainnya sangat mengkhawatirkan KAA. Sejak awal mereka berusaha menjegal terlaksananya KAA dengan berbagai cara, antara lain melalui intimidasi media (“beggars who never will learn“). Sebelum KAA, belum pernah ada pemimpin Asia dan Afrika yang berani menyelenggarakan konferensi internasional tanpa sponsor dari AS/Eropa (atau Soviet).
Upaya penjegalan juga dilakukan AS terhadap rencana pelaksanaan AASC tahun 1956. Secara umum, AS telah berusaha melakukan infiltrasi di berbagai negara untuk mencegah munculnya kekuatan baru di tengah kaum muda. Dalam bukunya “Patriotic Betrayal”, Karen M. Paget secara detil menceritakan bagaimana CIA menggunakan National Student Association (asosiasi pelajar di AS) untuk melakukan operasi rahasia di berbagai penjuru dunia dengan tujuan ‘melawan komunis’. Mantan suami Paget adalah staf NSA dan mereka (suami-istri) telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan hubungan antara NSA dengan CIA. Beberapa dekade kemudian, Paget memutuskan untuk bicara melalui bukunya ini.
Mekanisme perekrutan agen dari NSA adalah dengan mengadakan International Student Relations Seminar, yaitu kursus 6 minggu untuk mahasiswa yang berminat dalam politik luar negeri. Selama berlangsungnya kursus, CIA akan melakukan pengamatan, termasuk mengecek latar belakang keluarga, para peserta, dan kemudian, kandidat-kandidat potensial akan direkrut. Mereka kemudian dikirim ke berbagai pertemuan mahasiswa internasional dengan tujuan membungkam upaya-upaya perlawanan terhadap kekuatan imperialisme dan kapitalisme Barat (terma yang dipakai adalah “melawan komunisme”).
The Bandung Spirit
Menariknya, ada satu bab khusus dalam buku Paget berjudul “The Bandung Spirit”. Di dalamnya, Paget menulis soal Harry Lunn, mantan Ketua NSA, yang akan menghadiri AASC dengan kedok wartawan Christian Science Monitor. “Misi Lunn bukan untuk meliput konferensi, tetapi untuk menyabotase tujuan konferensi itu,” tulis Paget (hlm 144).
Karena NSA dan asosiasi mahasiswa Eropa tidak diundang dalam AASC, maka upaya sabotase dilakukan melalui ‘proxy’ (perwakilan/kaki-tangan). Di Hongkong, konsulat Inggris mempersulit berangkatnya delegasi mahasiswa China dengan kapal. Akhirnya, mereka kembali ke China, lalu berangkat ke Jakarta dengan pesawat.
NSA sebenarnya telah membangun “kerjasama” dengan mahasiswa Indonesia. Pada tahun 1953, Aminoedin dan Radjab (pimpinan PPMI) diundang ke AS untuk berkeliling kampus-kampus AS. Mereka berada di AS akhir 1954 sampai April 1955, sehingga tidak hadir dalam perencanaan dan pembentukan panitia AASC. Ketika keduanya kembali ke Indonesia, mereka meraih kembali kontrol terhadap asosiasi pelajar di Indonesia; namun tokoh-tokoh mahasiswa yang “militan” masih tetap berada dalam kepanitiaan. [Agusdin Aminoedin yang terpilih menjadi ketua AASC, baca di sini]
Tahun sebelumnya (1954), Lunn telah melakukan perjalanan keliling Asia bersama tim yang terlihat multirasial (dan datang dari berbagai negara) dengan tujuan “mendokumentasikan kondisi pendidikan di 9 negara (Pakistan, Burma, Thailand, Vietnam, Hongkong, Philipine, Indonesia, Malaysia, dan Srilanka). Mungkin hari ini, kegiatan mereka bisa diistilahkan ‘Studi Banding’. Namun, selama studi banding itu, Lunn mengumpulkan berbagai informasi terkait AASC: negara mana saja yang menerima undangan, siapa yang berencana hadir, dan bagaimana pandangan politik mereka?
Di Jakarta, Lunn dan beberapa partnernya (dari berbagai negara yang diundang hadir dalam AASC) melakukan berbagai upaya sabotase diam-diam, namun panitia tak kalah cerdik (baca sebagian isi buku ini di googlebooks). Akhirnya tanggal 30 Mei 1956, AASC dibuka oleh PM Ali Sastroamidjojo, yang menyampaikan pidato antara lain berisi “Mahasiswa harus menghancurkan sisa-sisa kolonialisme” dan “bangsa-bangsa Asia-African harus dibebaskan untuk menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka”.
Mahasiswa Aljazair, Mohammad Benyahia (saat itu Aljazair belum merdeka dan masih berperang melawan Perancis) memberikan pidato yang heroik dan disambut tepuk tangan yang sangat riuh. Antara lain dia berkata, “Imperium Eropa mulai saat ini menjadi konsep kosong… Eropa bukan lagi pemimpin internasional… Sudah bukan zamannya lagi diskriminasi rasial dan penjajahan dijadikan pilar dunia.” Bahkan Benyahia menyerukan, “Satu-satu kerjasama yang bermanfaat untuk mahasiswa Aljazair atau mahasiswa negara lain yang masih terjajah, adalah dengan cara membantu mereka melepaskan diri dari penjajahan!”
Media-media Barat menulis laporan yang merendahkan AASC. Editorial New York Times mengklaim bahwa AASC hanyalah desain kaum komunis, yang berhasil dikalahkan oleh “mahasiswa-mahasiswa yang jujur”. Harry Lunn menulis di Christian Science Monitor artikel berjudul “Antek Komunis Gagal dalam AASC” (Red Control Fails at Youth Parley). Dalam artikelnya itu, Lunn memuji-muji delegasi India, Sabharwal sebagai mahasiswa yang gigih melawan komunisme dalam AASC. CIA kemudian mendanai agar booklet berisi laporan tentang AASC versi Shabarwal tersebar luas (diterbitkan oleh University Press of Delhi).
Catatan saya: buku Shabarwal ini tentu perlu dibuatkan sanggahannya (dan menarik untuk dijadikan topik skripsi/tesis). Saat saya mencari data online terkait AASC, seringkali merujuk kembali kepada buku Shabarwal. Ada dokumentasi menarik ditulis Irvan Sjavari, yang bersumber dari Madjalah Merdeka. Dinamika yang berkembang dalam AASC 2015, ideologi/spirit, proses penyusunan Final Communique, dll, perlu dicatat lengkap, sebagaimana Bapak Roeslan Abdulgani menuliskan The Bandung Connection
59 Tahun Kemudian…
Suara-suara melawan ketidakadilan tidak pernah bisa dibungkam sepanjang sejarah. Meskipun suara-suara perlawanan sering direndahkan dan dibungkam dengan berbagai stigma, suara itu akan terus bergaung hingga kelak keadilan tegak di muka bumi. Setelah 60 tahun berlalu, saya seolah mendengar kembali gema pikiran-pikiran Bung Karno pada 30 April 2015, yang menyerukan persatuan Asia-Afrika, perlawanan terhadap penjajahan modern berkedok bantuan ekonomi, pasar bebas, dan hutang.
Saya terharu sekali, mendapatkan kehormatan besar untuk menjadi salah satu pembicara di ruangan yang sama dengan Bung Karno 60 tahun yang lalu, dan mengutip kembali kata-kata beliau:
“…janganlah melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita berbagai-bagai wilayah Asia dan Afrika, mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat.”
Perjuangan mungkin masih panjang; musuh terlihat terlalu besar. Namun seperti kata Mandela, “Nothing is impossible, until it’s done”.
Power point presentasi saya dalam Public Lecture di AASC 2015 bisa diunduh di sini:
(Ini adalah powerpoint asli yang semula saya siapkan; karena keterbatasan waktu, dalam presentasi, ada beberapa bagian yang saya lewatkan.)