Selama dekade terakhir, Timur Tengah telah menjadi pusat penumpukan senjata dunia. Setiap tahun, cadangan senjata di kawasan ini terus meningkat, seiring dengan dikapalkannya senjata miliaran dollar dari Amerika Serikat, Uni Soviet, Perancis, Inggris, dan lain-lain. Selama tahun 1970-an, ketika perdagangan senjata di dunia meningkat dua kali lipat, impor senjata di Timur Tengah bahkan melonjak naik empat kali lipat. [1] Hari ini, kawasan ini menerima lebih dari setengah dari semua pengiriman senjata ke Dunia Ketiga, dan lebih dari seperempat dari semua pengiriman senjata di dunia.
Ada perbedaan data tentang perkiraan penjualan senjata dan indeks militerisasi karena perbedaan definisi geografis Timur Tengah. Kami menyertakan Turki, Pakistan, Afghanistan dan Tanduk Afrika, bersama dengan Afrika Utara, Israel, Iran dan Arab Timur. Banyak juga perhitungan yang mengabaikan Turki yang sebagai bagian dari NATO (Eropa), Pakistan dan Afghanistan yang dikategorikan sebagai bagian dari Asia Selatan, dan Ethiopia dan Somalia sebagai bagian dari Afrika. Kategori Timur Tengah yang belum disepakati ini, cenderung mengecilkan jumlah, nilai dan proporsi persenjataan di wilayah tersebut. Namun, kita bisa mengambil kecenderungan umum, yang bisa dianggap benar.
Sejalan dengan pertumbuhan impor senjata di Timur Tengah, tentu saja peningkatan pesat anggaran militer. Dalam waktu kurang dari 20 tahun, anggaran mereka telah tumbuh sepuluh kali lipat, dari US $ 4,7 miliar pada 1962 menjadi $ 46700000000 pada tahun 1980, atau hampir sembilan kali rata-rata dunia. Ranking negara-negara di dunia berdasarkan pengeluaran militer per kapita, enam yang terbesar adalah negara Timur Tengah. Sepuluh negara terbanyak berbelanja militer per kapita adalah: Qatar, Arab Saudi, Israel, Uni Emirat Arab, Oman, Brunei, Kuwait, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Perancis. Pada akhir tahun 1970-an, daerah ini menghabiskan antara 13-15 persen dari produk nasional bruto untuk belanja militer. Bandingkan dengan negara-negara Pakta Warsawa, yang menggunakan 8,3%. [2]
Indikator terbaik dari penghitungan militerisasi kawasan ini adalah perkiraan pengeluaran berdasarkan jangka waktu, peralatan, dan tenaga kerja. Hal ini pun perlu dilakukan selektif: tank ukuran medium, misalnya, adalah yang paling mudah diidentifikasi dari berbagai jenis artileri. Angka-angka agregat tidak mengukur peningkatan kecanggihan senjata yang dikirim ke negara-negara tertentu. Juga angka-angka ini tidak memperhitungkan perbedaan besar dalam kualifikasi pelatihan atau keterampilan dan tingkat pendidikan umum masyarakat yang bersangkutan. Pengeluaran militer menunjukkan tren, tetapi hanya perkiraan. Biaya riil peralatan dan personil sangat bervariasi, cara-cara yang tidak dapat dinyatakan dalam nilai tukar, dan kategori untuk perbandingan seringkali sulit dilakukan. Pengeluaran juga tidak termasuk bantuan dari negara lain, sehingga total pengeluaran militer yang dilakukan Israel, Suriah, Irak, Mesir, Yordania dan lain-lain yang sebenarnya jauh lebih tinggi (karena sebagian senjata didapat berupa bantuan).
Pola dan tren yang terlihat tetap jelas dan mengkhawatirkan. Tenaga kerja di bidang militer tumbuh sebesar 64 persen pada era 1972-1982, yaitu meningkat dari 2.100.000 hingga 3.500.000 orang. Jika cadangan kru siap tempur Israel yang sekitar 300.000 ikut dihitung, Timur Tengah kini memiliki hampir dua kali lipat tenaga kerja militer AS, dan mendekati jumlah pekerja militer AS + semua negara NATO kecuali Turki (4,7 juta). Selama periode yang sama, pesawat tempur operasional di wilayah ini meningkat lebih dari 50 persen, dari 2.900 sampai 4.400, melebihi ukuran gabungan angkatan udara NATO di Eropa. Adapun tank menengah, unit perlengkapan perang utama, meningkat sebesar 140 persen, dari 11.250 sampai 27.000. Jumlah ini jauh lebih dari semua tank menengah milik AS + NATO.
Faktor Perlombaan Senjata
Apa penyebab besarnya belanja militer Timur Tengah? Elemen utama adalah adanya konflik antara negara-negara di kawasan. Konflik Arab- Israel merupakan faktor utama. Iran sejak zaman Shah memulai penumpukan alat militer terbesar di wilayah ini. Sejak berdirinya Republik Islam setelah tahun 1979, perlombaan senjata di kawasan semakin meningkat karena kekhawatiran Arab dan Israel terhadap Iran. Di sini kebijakan AS telah memainkan peran penting. Pada zaman Shah, AS pernah memberikan pesawat pembom tempur F-4 Phantom ke Iran, sehingga kemudian Arab Saudi (pasca revolusi Iran) merasa perlu memiliki pesawat tandingan, AWACS dan F-15. Di antara sesama negara Arab, Suriah menganggap Irak dan Yordania sebagai lawan militer. Di Afrika Utara, upaya Libya mempersenjatai diri secara besar-besaran berkontribusi dalam perlombaan senjata di kawasan itu. Aljazair dan Maroko, Ethiopia dan Somalia, dan Yaman Utara dan Selatan telah berperang satu sama lain sehingga terus mempersenjatai diri. Dalam hampir setiap kasus, konflik-konflik ini berakar lokal dan kemudian menjadi bagian dari kompetisi negara adidaya global. Proses ini telah diperkuat oleh sumber daya minyak dan lokasi geopolitik yang strategis.
Pembentukan kekuatan militer lokal juga semakin meningkat sebagai respon dari meningkatnya konflik politik internal. Misalnya, gerakan bersenjata kaum minoritas seperti Kurdi di Irak dan Iran, gerakan Eritrea di Ethiopia dan perang Sahara Barat melawan Maroko. Ini sering melibatkan negara-negara lain. Amerika Serikat, Iran, dan Israel mendukung gerakan Kurdi di Irak untuk menekan rezim di Baghdad. Libya dan Aljazair mendukung Polisario di Sahara Barat. Beberapa negara Arab mendukung gerakan Eritrea melawan Ethiopia. Pengaruh politik militer dalam negara-negara di wilayah ini juga telah mendorong militerisasi. Beberapa rezim secara langsung berbasis militer, termasuk Suriah, Libya, Mesir dan Sudan. Dalam kasus Irak, partai yang dipimpin sipil bergantung pada dukungan militer untuk mengontrol aparat negara. Di antara monarki seperti Yordania, Maroko, dan Shah Iran, militer menjadi pilar utama penopang rezim.
Negara-negara monarkhi di Teluk, termasuk Arab Saudi, pada awalnya sangat bergantung pada pasukan tentara bayaran. Negara-negara ini, bersama dengan Libya, merupakan negara dengan pengeluaran militer terbesar dalam rangka membangun kekuatan militer mereka. Mereka umumnya mengimpor senjata hampir seluruhnya dari luar negeri. Sementara sejumlah negara seperti Israel, Mesir, dan Irak mengembangkan industri militer mereka sendiri. Israel kini menjadi eksportir senjata terkemuka. Iran pada era Syah Pahlevi membuat perjanjian dengan Northrop, Bell dan Vickers untuk merakit pesawat tempur, helikopter tempur dan tank. Tapi rencana ambisius ini hancur seiring tumbangnya Dinasti Pahlavi. Namun pada era Republik Islam, senjata dan alat militer produksi Iran pun terus meningkat dan membuat khawatir negara di kawasan, terutama Israel.
Turki, sebagai basis industri terbesar di kawasan dan penyumbang tentara terbesar kedua di NATO, telah lama memproduksi senjata ringan dan amunisi. Turki mengikat perjanjian dengan Jerman Barat pada 1979 untuk memperluas pabrik senapan mesin dan rudal, dan galangan kapal angkatan laut. Perjanjian untuk perakitan kapal selam dan kapal patroli yang berlisensi ditandatangani pada tahun 1980. Turki juga melakukan pembelian 160 F-16 atau F-18A dan mengadakan perjanjian merakit pesawat tempur di Turki. Supaya Turki punya dana untuk rencananya itu, Northrop (F-5G) dan General Dynamics (F-16) bersaing dengan menawarkan bantuan pemasaran produk pertanian dan industri Turki senilai $ 2000000000 di negara-negara ketiga di mana mereka memiliki kepentingan.