Oleh : Prihandono Wibowo (Staf Pengajar di UPN “Veteran” Jawa Timur)
Pada April 2019, Presiden Donald Trump memberi pernyataan resmi yang menyatakan pasukan Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) atau yang dikenal sebagai Garda Revolusi sebagai kelompok teroris. Dalam rilis resmi di web whitehouse.org, Donald Trump menyatakan bahwa IRGC, termasuk unit elit Quds Force di dalamnya, sebagai Foreign Terrorist Organization (FTO). Alasannya, IRGC dianggap sebagai instrumen utama untuk mengarahkan dan mengimplementasikan kebijakan terorisme oleh rezim Iran. IRGC dinilai secara aktif berpartisipasi, membiayai, dan mendorong berbagai aktivitas terorisme. Kebijakan mengklasifikasikan IRGC sebagai kelompok teroris, diakui Presiden Trump, sebagai kebijakan yang pertama kali diambil Amerika Serikat (AS) untuk “mencap” bagian dari sebuah pemerintahan sebuah negara sebagai kelompok teroris. Trump menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya luas menekan Iran sampai Iran meninggalkan kebijakan mensponsori terorisme. Berbisnis dengan IRGC berarti sama dengan membiayai terorisme.
Indikator dalam menetapkan FTO, sebagaimana tertuang dalam situs resmi pemerintah AS [1] di antaranya adalah:
- Organisasi tersebut harus merupakan organisasi dari negara asing.
- Organisasi tersebut melakukan aktivitas teroris, sebagaimana didefinisikan dalam section 212 (a)(3)(B) of the INA (8 U.S.C. § 1182(a)(3)(B)) atau terorisme dalam section 140(d)(2) of the Foreign Relations Authorization Act, Fiscal Years 1988 and 1989 (22 U.S.C. § 2656f(d)(2)), atau memiliki kapabilitas dan bermaksud untuk melakukan aktivitas teroris atau terrorisme.
- Organisasi tersebut harus mengancam keamanan warga AS dan keamanan negara (pertahanan nasional, hubungan luar negeri, atau kepentingan ekonomi) AS.
Dalam studi terorisme, kebijakan Trump yang mengklasifikasikan IRGC dalam kategori kelompok teroris, adalah anomali atau penyimpangan dari keumuman. Pasalnya, IRGC adalah salah satu cabang militer resmi yang dimiliki negara Iran. IRGC adalah salah satu cabang militer Iran, dimana negara tersebut juga memiliki tentara regular yang disebut dengan The Army of the Islamic Republic of Iran. Hampir setiap pendefinisian mengenai terorisme-baik dari kalangan akademisi maupun pemerintah tidak pernah menyebutkan militer resmi negara lain sebagai kelompok teroris. Meski tidak pernah disepakati definisi pasti tentang apa itu terorisme dan apa yang disebut dengan teroris, karakter umum dari berbagai pendefinisian terorisme menyepakati bahwa terorisme dilakukan oleh aktor non-negara.
Seperti dijelaskan Gus Martin dalam bukunya Understanding Terrorism: Challenges, Perspectives, and Issues, pendefinisian terorisme mencakup: the use of illegal force, ubnational actors, unconventional methods, political motives, attack against soft civilian and passive military targets, and acts aimed at purposefully affect in an audience. Keenam ciri umum tersebut banyak digunakan dalam mendefinisikan apa itu terorisme dan apa yang disebut dengan kelompok teroris. Karakter umum tersebut merujuk pada aktor non-negara sebagai aktor terorisme dengan target serangan masyarakat umum dan metode serangan yang nonkonvensional. Terorisme merupakan bentuk dari perang asimetris. Karakter ini juga tampak sebagai indikator dalam penyusunan daftar organisasi teroris yang diterbitkan berbagai negara dan organisasi internasional seperti PBB dan Uni Eropa. Kelompok non-state seperti Al Qaeda dan ISIS, dan berbagai kelompok afiliasinya, disepakati hampir semua entitas internasional, sebagai kelompok teroris. Pemerintah AS sendiri hingga 2018, hampir selalu konsisten mengklasifikasikan berbagai kelompok non-state dalam kategorisasi organisasi teroris.
Hal menarik lainnya, Iran dituduh sebagai negara yang mensponsori terorisme dengan kehadiran pasukannya di negara lain. Padahal, kehadiran pasukan yang dimiliki Iran di negara lain adalah berdasar undangan resmi dari negara tersebut. Konteks Suriah misalnya, pada 2006 Iran dan Suriah menandatangani perjanjian pertahanan untuk menghadapi potensi ancaman yang berasal dari AS dan Israel. Pada 2018 pemerintah Syria menyepakati memperdalam kerjasama militer dengan Iran. Hal ini tertuang dalam pertemuan antara Presiden Bashar al Assad dan Menteri Pertahanan Iran, Amir Hatami, di Suriah. Begitu pula tahun 2019, Presiden Bashar al Assad bertemu dengan pejabat tinggi Iran dan Irak untuk meningkatkan kerjasama militer di antara 3 negara. Dengan demikian, kehadiran pasukan yang dimiliki Iran, adalah manifestasi mekanisme kerjasama antar negara. Pada saat yang sama, Suriah saat ini membutuhkan partisipasi Iran untuk melawan kelompok pemberontak dan kelompok teroris yang bercokol di Suriah sejak negara tersebut mengalami konflik berkepanjangan.
Alasan lain yang bisa digunakan untuk “membela” IRGC dari tuduhan AS, adalah keterlibatan IRGC dalam perang melawan teroris ISIS. AS tidak memperhitungkan “jasa” Iran dalam melawan teroris ISIS baik di Suriah maupun Irak. Beberapa laporan media internasional menyebutkan kematian beberapa figur personel IRGC –seperti Hossein Hamedani, Khairollah Samadi, Mohsen Hojaji, dan nama-nama lainnya—dalam pertempuran melawan ISIS di Suriah. Bantuan Iran kepada Hizbullah dan Hamas juga menjadi dasar bagi AS untuk mengklasifikasikan IRGC sebagai kelompok teroris. Bantuan ini nyata dan terkonfirmasi oleh pernyataan-pernyataan baik dari pejabat Iran maupun Hamas dan Hizbullah. Seharusnya konteks bantuan ini “dibaca” sebagai solidaritas Iran dalam mendukung Palestina dan Lebanon untuk membela diri dari setiap ancaman agresi Israel. Hal ini bersesuaian dengan konstitusi Iran yang menyatakan membingkai orientasi politik luar negerinya untuk memberi dukungan kepada orang-orang yang tertindas di dunia.
Dari sisi hubungan antar negara, penyematan tuduhan kelompok “teroris” terhadap IRGC telah berkontribusi meningkatkan eskalasi antara AS dan Iran. Iran, melalui Presiden Rouhani, kemudian menuduh balik AS sebagai “the leader of world terrorism”. Legislator Iran turut meloloskan undang-undang yang menyatakan bahwa United States Central Command (CENTCOM) dan segenap tentara AS di Timur Tengah adalah “organisasi teroris”.
Sekali lagi, dari sudut pandang kajian terorisme dan keamanan internasional, pelabelan pemerintah Trump terhadap IRGC sebagai kelompok teroris adalah kebijakan yang bermasalah. Kebijakan ini tidak terlepas dari rangkaian kebijakan AS yang sebelumnya mengundurkan diri secara sepihak dari perjanjian JCPOA. Karena itu, pelabelan kelompok “teroris” dan penyematan “aktor terorisme” oleh AS adalah sangat identik dengan motif dan kepentingan politis.
Ahli dalam kajian terorisme, Edwin Bakker, menyatakan bahwa sulitnya mendefinisikan terorisme disebabkan istilah terorisme adalah konsep yang dikontestasikan. Artinya, teroris bagi seseorang belum tentu teroris bagi orang lain. Kelompok yang dituduh sebagai kelompok teroris oleh sekelompok orang tertentu, bisa jadi justru adalah pejuang kebebasan bagi kelompok orang yang lain. One man’s terrorist is another man’s freedom fighter. Hal ini merupakan polemik di bidang kajian terorisme. Karena pihak-pihak berkepentingan bisa menuduh lawannya sebagai teroris ataupun berperan aktif mendukung kelompok teroris. Kebijakan Trump yang mengidentifikasi cabang militer resmi negara lain sebagai kelompok teroris, merupakan hal yang pertama di kajian terorisme sekaligus turut menambah polemik dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme dan definisi apa itu kelompok teroris. Dengan demikian, dalam studi terorisme, pelabelan aktor terorisme terhadap IRGC adalah di luar “keumuman”.
—
[1] https://www.state.gov/foreign-terrorist-organizations