Oleh : Rima Najjar*
Banyak yang bertanya mengapa Israel terus-menerus menyiksa warga Palestina di Gaza dengan penindasan yang brutal?
Jawabannya sederhana: warga Palestina di Gaza berperan sebagai ancaman demografi bagi Israel. Dengan kata lain, jumlah populasi Gaza menjadi ancaman bagi eksistensi negara Yahudi. Karena itulah Israel sengaja menciptakan neraka di Gaza demi mewujudkan keberadaan Israel itu sendiri.
Zeev Jabotinsky (pemimpin gerakan Zionis, lahir 1880) pada tahun 1923 mengatakan, “Saya dikenal sebagai musuh orang Arab, yang ingin agar mereka terlempar keluar dari Palestina dan seterusnya. Hal itu tidak benar… akan selalu ada dua bangsa di Palestina [Arab dan Yahudi], kalau Yahudi bisa jadi mayoritas, itu sudah cukup baik bagi saya.”
Bagaimana jika “orang Arab” tidak mau tunduk pada penjajahan Yahudi atas tanah mereka? Barulah segala cara dipakai.
Populasi Jalur Gaza mencapai 1,9 juta jiwa. Sebanyak 1,4 juta jiwa (73% populasi) di antaranya adalah para pengungsi. Hampir 600.000 pengungsi Palestina di Gaza tinggal di delapan kamp pengungsian Palestina. Kamp-kamp tersebut adalah wilayah dengan kepadatan tertinggi di dunia. Area Palestina yang disebut Jalur Gaza adalah tanah seluas 139 mil persegi (360 km persegi).
Berikut ini sejarah mereka:
Mereka terpaksa tinggal di Jalur Gaza sebagai akibat dari “pembersihan” yang dilakukan oleh milisi atau geng-geng teroris Yahudi yang menyerang kaum Muslim dan Kristen Palestina. Pada tahun 1948, jumlah Yahudi lebih sedikit dibanding jumlah Arab-Palestina, hal tersebut menjadi motivasi bagi gerakan Zionis untuk mengosongkan area Palestina. Mereka merebut paksa kawasan non-Yahudi supaya mereka menjadi mayoritas di negara khusus Yahudi yang baru didirikan itu.
Awalnya, Palestina dikuasai oleh Ottoman, dan pasca Perang Dunia I, kawasan ini statusnya menjadi Mandat Inggris. Kawasan Mandat Inggris terdiri dari wilayah yang sekarang dikenal dengan Israel, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jordania. Mandat berlangsung dari tahun 1920 sampai 1948. Pada tahun 1923 Inggris memberikan otonomi terbatas bagi Transjordan, kini disebut Jordan.
Pada tahun 1948, saat Mandat Inggris secara resmi berakhir dan Israel berdiri, hanya 20% kawasan Palestina yang tersisa di tangan warga Arab, yaitu dataran tinggi di barat sungai Jordan dan jalur kecil di pantai selatan sekitar kota Gaza, dimana tentara Mesir kemudian datang untuk membantu warga Palestina dan berusaha mempertahankan wilayah itu.
Saat itu, populasi wilayah yang kemudian disebut ‘Jalur Gaza’ kemudian berlipat tiga dari 80.000 menjadi hampir 240.000, menciptakan masalah besar pemukiman, diperburuk oleh hujan musim dingin. Keluarga Gaza menerima pengungsi berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam satu waktu. Berbagai kelompok keagamaan dan relawan Palestina dan Mesir membantu meringankan kesulitan para pengungsi yang berlindung di tenda-tenda besar di kota, yang kemudian berubah menjadi delapan kamp pengungsian Gaza hingga hari ini. Hal tersebut masih berlangsung sampai sekarang, dimana bantuan dikoordinasi oleh UNRWA (United Nation Relief Work Agency), badan khusus PBB yang memberikan bantuan untuk pengungsi Palestina.
Pada tahun pertama setelah 1948, energi penduduk berfokus pada mempertahankan hidup –makanan, tempat berteduh, dan mencari pekerjaan. Raja Farouk dari Mesir menyatakan dengan jelas, dia tak akan mentolerir aktivitas politik apapun dari warga Palestina. Dia membubarkan komite nasional yang dibentuk di seluruh Palestina tahun 1948, dan menempatkan administrasi militer di Gaza dengan Menteri Pertahanan Kairo yang bertanggung jawab atas seluruh wilayah Jalur Gaza –seluas 139 mil persegi itu. Senjata-senjata disita, para aktivis ditahan; secara khusus aktivis komunis dipilih untuk direpresi. Media Mesir menggaungkan kampanye hitam melawan aktivis kiri, dengan tuduhan bohong ‘bekerjasama dengan Zionis’.
Pada tahun 1952 terjadi revolusi di Mesir yang menggulingkan Raja Farouk dan mengantarkan seorang Arab nasionalis Jamal Abdul Nasser, berkuasa. Nasser membangkitkan harapan di Gaza, bahwa ia akan membantu warga Palestina untuk memulihkan hak-hak mereka dan mendapatkan otonomi administratif lebih besar.
Namun, meski Nasser mengerti bahwa ribuan pengungsi yang berdesakan dalam satu wilayah kecil pastilah tidak ada keinginan selain kembali ke tanah dan tempat tinggal mereka, dan ini merupakan bom waktu yang akan segera meledak; dia juga khawatir kondisi ini akan memprovokasi Israel. Saat itu, pengungsi Palestina berupaya merebut kembali desa-desa mereka yang belum dihancurkan Israel dan terkadang merebut pendudukan Israel di perbatasan Jalur Gaza. Israel pun melakukan pembalasan yang ganas.
Pada tahun 1954, Nasser bersama dengan UNRWA, mengusulkan pemindahan pengungsi dari Jalur Gaza ke Sinai. Usulan ini ditentang keras para pengungsi, karena mereka memperkirakan pemindahan itu akan bersifat permanen. Ribuan orang berdemonstrasi, dipimpin oleh kelompok kiri yang baru terbentuk, yang didominasi oleh Persatuan Guru-Guru. Demonstrasi ini juga mempersatukan lawan ideologis Nasser, yaitu kaum komunis dan Ikhwanul Muslimin.
Selanjutnya, Israel semakin masif menyerang Gaza yang mengakibatkan banyak kematian warga Palestina dan Mesir. Setiap kali terjadi serangan Israel, permintaan senjata dari wilayah pengungsian Palestina ikut meningkat. Tidak lama setelah itu, batalyon kecil warga Palestina mulai dibentuk di Gaza, inilah cikal bakal berkembangnya perlawanan bersenjata Palestina.
Sementara itu, Nasser meyatakan keinginannya untuk kembali memegang kendali Terusan Suez. Inggris, Prancis, bersama sekutu mereka Israel mengambil kesempatan ini untuk menyerang Mesir; untuk menghukum tokoh kebangkitan nasionalisme Arab itu. Selain itu, dengan serangan ini Israel berharap dapat memperluas wilayahnya. Setelah penyerangan itu, Israel menguasai Sinai dan Jalur Gaza selama empat bulan, sampai akhirnya Israel dipaksa mundur dari wilayah itu atas tekanan dari AS.
Pendudukan Israel di Gaza tahun 1956-1957 itu dipenuhi dengan kebrutalan dan kekejaman. Kekejaman terburuk pada periode itu adalah pembantaian di Rafah dan Khan Yunis, dimana ratusan warga Palestina terbunuh. Seperti pembantaian di Deir Yassin (perkampungan Palestina dekat Yerusalem) tahun 1948, Israel meneror warga Palestina dengan motif agar mereka meninggalkan rumahnya dan di atas wilayah yang ditinggalkan itu, orang Yahudi akan mendirikan permukiman untuk mereka. Orang Israel sangat kuat menjaga keyakinan mereka tentang “Eretz Israel” atau “Tanah Israel” sebagai tanah yang dijanjikan untuk orang Yahudi.
Dengan penarikan pasukan Israel tahun 1957, dan penolakan warga Palestina pada usulan “Jalur Gaza diserahkan ke penguasaan PBB”, hubungan antara warga Palestina di Gaza dengan Mesir menghangat. Beberapa warga Palestina diberi keanggotan Dewan Eksekutif dan Gaza menjadi zona bebas pajak. Serikat Nasional dan Dewan Legislatif dibentuk pada tahun 1961, namun lembaga ini tidak berfungsi sejak awal karena perpecahan kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ dan tidak cukup memiliki otonomi.
Pada tahun 1964, atas upaya Nasser, PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) dibentuk di Gaza, dan hal ini berdampak pada perkembangan politik warga Palestina. Batalyon di Gaza berubah menjadi Tentara Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Army), dengan diberi pelatihan militer oleh Mesir.
Komite-komite rakyat dibentuk di kamp-kamp pengungsi dan desa-desa dan pemilihan umum diselenggarakan. Kelompok nasionalis mengadopsi ideologi borjuis dan menyuarakan pengusiran Yahudi dari Palestina, sebagaimana mereka telah diusir oleh Yahudi. Kelompok kiri mengadopsi platform sosial dan kembali ke rencana pembagian 1947 (sesuai resolusi PBB 181). Nasser mendukung kelompok nasionalis dan menekan kelompok kiri. Nasionalis menang, namun sebelum mereka dapat mengambil tindakan, warga Palestina mengalami malapetaka kedua dalam sejarah mereka: invasi Israel tahun 1967. Sejak 1967, Israel pun menduduki Gaza dan Tepi Barat. Tahun 2005, Israel terpaksa angkat kaki dari Gaza. Namun tahun 2007 setelah Hamas menang dalam pemilu demokratis [yang diakui oleh para pengawas internasional], Israel memblokade Gaza, menghalangi keluar masuk orang dan barang dan berbagai pembatasan lainnya, hingga hari ini.
Penutup
Setelah peristiwa Nakba (pengusiran besar-besaran warga Arab Palestina oleh Yahudi Zionis) 1948, sidang umum PBB mengadopsi resolusi 194 (III) yang berisi:
“pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diperbolehkan untuk melakukannya pada tanggal tercepat yang memungkinkan, dan kompensasi harus dibayarkan untuk tempat tinggal bagi siapa yang memilih untuk tidak kembali akibat kehilangan atau kerusakan tempat tinggal, di bawah prinsip Hukum Internasional atau kesetaraan, harus dilakukan dengan baik oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang.”
Namun resolusi ini tidak pernah dilaksanakan oleh Israel dan dunia.
***
Rima Najjar adalah seorang warga Palestina yang keluarga ayahnya berasal dari desa Lifta di pinggiran barat Yerusalem, wilayah yang dikosongkan dengan paksa oleh Israel. Dia adalah seorang aktivis, peneliti, dan pensiunan profesor bidang Sastra Inggris Universitas Al Quds, Tepi Barat. Dia adalah kontributor rutin Global Research.
Sumber tulisan. Penerjemah: Nita H.