Tulisan ini merupakan intisari dari jurnal yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul CITIES OF THE LEVANT – THE PAST FOR THE FUTURE?, Asian Affairs, 45:2, 220-242, DOI: 10.1080/03068374.2014.907006, yang dipublikasikan secara online pada 12 Juni 2014 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/03068374.2014.907006. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel jurnal ini.
Kota-kota Levant, Masa Lalu untuk Masa Depan?
Philip Mansel [1]
Pendahuluan
Kota memiliki dinamika sendiri. Lokasi, populasi, dan kekayaannya merupakan sumber kekuatan untuk menentang atau mengabaikan negara. Penduduknya mengeksploitasi ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi tentu saja, mereka tetap membutuhkan pihak lain, atau mereka tidak akan bisa hidup sama sekali. Pada saat itu, khususnya sebelum kejayaan nasionalisme pada 1914, sebuah kota telah terbiasa mengabaikan keputusan pemerintah pusat. Bahkan, sebuah kota dapat bertahan lebih lama dibandingkan negara itu sendiri.
Jika Anda melakukan pendekatan sejarah dan identitas melalui sebuah kota, dan bukan pada negara, maka Anda akan menemukan bahwa nasionalismenya terasa kurang. Katakanlah budaya yang dikenal sebagai budaya Perancis, sebenarnya adalah budaya yang berasal dari pihak asing yang menetap di Paris — katakanlah perajin Jerman dan komposer Italia, yang turut memberikan kontribusi. Kebanyakan warga negara Ceko menetap di Wina sebelum tahun 1918, dan hal itu bisa dilihat dari nama-nama mereka di dalam buku telepon. Artinya, pekerjaan jauh lebih penting daripada nasionalisme.
Keberadaan kota menumbangkan pemikiran klise tentang bangsa dan karakter nasional. Karakter suatu kota dengan kota lainnya bisa saja berlainan meskipun terdapat dalam satu negara. Lihatlah betapa berbedanya kota Marseille dengan Lille, atau Izmir dengan Konya. Di lain sisi, kota Marseille dan Napoli, lalu Izmir dan Thessaloniki memiliki banyak persamaan.
Tulisan ini akan membahas beberapa kota-kota di di Levant, terutama Smyrna, Alexandria dan Beirut. Kota-kota Levant ini memiliki daya tarik yang sama di Timur Tengah, sebagaimana Berlin sebelum tahun 1933 atau Wina sebelum tahun 1938 di Eropa, atau Havana sebelum tahun 1959 di Karibia. Kota-kota ini melambangkan surga yang hilang, yang ramah kepada minoritas dan menyediakan kenyamanan, sebelum kota-kota ini akhirnya hancur karena nasionalisme. Banyak mantan penghuni kota ini yang kini menyebar ke seluruh dunia.
Smyrna, Alexandria dan Beirut mengalami dampak yang sama sebagaimana yang terjadi di Berlin pada tahun 1933. Christopher Isherwood, yang meninggalkan Berlin pada tahun 1933 berkata, ”Selalu tergambar bagaimana Berlin, yang setiap malamnya ada suara seksi dari piringan hitam. Berlin telah mempengaruhi saya selayaknya sebuah pesta yang membuat saya tidak ingin pulang ke rumah.”
Ada delapan karakteristik kota Levant, yaitu geografi, diplomasi, polyglottisme, hibriditas, perdagangan, kesenangan, modernitas dan kerentanan. Kota-kota di Levant bukanlah kota nasional melainkan kota dunia.
Pembahasan
1. Geografi
Levant berarti tempat matahari terbit: Mediterania timur. Levant adalah kata yang merujuk pada geografis, bukan berasosiasi dengan ras atau agama. Geografi didefinisikan bukan dengan batas-batas daratan tetapi oleh lautan. Kota-kota besar Levant seperti Smyrna, Alexandria, Beirut, dan kota-kota yang lebih kecil seperti Salonica, Salonica, Mersin, Jaffa merupakan jendela dunia. Pelabuhan yang lebih beragam dan terbuka bisa ditemukan di Ankara, Damaskus dan Kairo. Karena perdagangan dan pelayaran, kota Levant menjadi lebih dekat satu sama lain, baik secara fisik maupun mental. Kala itu, lebih cepat dan lebih aman melakukan perjalanan dengan kapal menuju pelabuhan dibandingkan dengan jalur darat. Pada tahun 1938, seorang penulis besar asal Mesir mengklaim bahwa masa depan budaya Mesir adalah Mediterania.
2. Diplomasi
Levant modern adalah salah satu produk diplomasi yang paling sukses dalam sejarah, selama tiga setengah abad setelah 1535, antara Perancis dan Kekaisaran Ottoman, atau antara Khalifah Muslim dengan Raja Kristen. Berdasarkan strategi internasional, saat ada permusuhan antara Monarki Spanyol dengan Austria, maka persatuan lily dan bulan sabit – sebagaimana yang disebutkan oleh Duta Besar Perancis Savary de Breves pada tahun 1604 — harus segera di akuisisi dengan menggunakan momentum budaya.
Dengan aliansi, terwujudlah capitulation, yaitu perjanjian antara pemerintah Ottoman dan asing yang memungkinkan pihak asing tinggal di Kekaisaran Ottoman. (Hal ini masih menjadi isu berbisa hingga hari ini: Khomeini mengecam Shah pada tahun 1961 karena tentara Amerika Serikat (AS) dibebaskan oleh hukum Iran. Tentara AS meninggalkan Irak ada tahun 2011 karena pemerintah AS menolak untuk mengizinkan warganya untuk tunduk pada hukum Irak.) Sebagai hasil dari aliansi Prancis-Ottoman, Konsul Perancis ditempatkan di sebagian besar kota Levant. Terimakasih untuk Ottoman dan aliansinya, yang telah menjaga keamanan. Masa itu disebut sebagai ‘years of consuls’ atau tahunnya para konsul.
Pada tahun 1670, penulis Ottoman Evliya Celebi yang terkesan dengan konsul Eropa menulis,”Jika seseorang memukul seorang kafir, maka semua orang langsung mengepung dan membawanya kepada hakim konsuler, atau orang kafir akan mengeksekusinya.”
Untuk menunjukkan kesetaraan status, para konsul menolak untuk membuka topi mereka walaupun berhadapan dengan gubernur lokal setempat. Pada saat itu, pelabuhan di Levant menjadi tempat bertemunya antara konsul asing dengan pejabat setempat. Selama perang antara Kekasirasan Ottoman melawan Benice pada tahun 1694 dan Rusia pada tahun 1770, konsul di Smyrna membujuk komandan Venetian dan Angkatan Laut Rusia untuk tidak menyerang kota, guna menghndari pembalasan oleh umat Islam kepada umat Kristen di wilayah setempat. Sementara Kekaisaran Ottoman sedang berperang, Smyrna tetap damai.
Saat itu, konsul bertindak sebagai abdi pemerintah, sekaligus mereduksi kekuatan lokal. Mereka juga berperan memberikan teknologi dan informasi. Di Beirut, Keluarga el-Khazen masih memiliki peran menonjol dalam politik di Lebanon, yang merupakan warisan dari nenek moyangnya yang merupakan Konsul Perancis di akhir abad 17-18. Pada abad ke-19, Konsul Inggris di Beirut dikunjungi oleh anggota Dinasti Jumblatt (yang saat ini merupakan pemimpin turun-temurun dari komunitas Druze), meminta Inggris untuk memerintah Lebanon selayaknya India. Di lain pihak, terdapat Konsul Iran di Beirut yang menjadi pelindung Syiah Lebanon jauh sebelum revolusi Iran 1978 dan munculnya Hizbullah. Untuk melakukan penelusuran sejarah, buku-buku dari para konsul merupakan sumber layak, misalnya buku-buku tentang sejarah dan masyarakat Ottoman yang ditulis oleh Paul Rycaut yang merupakan Konsul Inggris di Smyrna pada tahun 1660 hingga 1670-an, atau dari Konsul Perancis Chevalier d’Arvieux pada abad 17, dan pada abad 19 ada konsul Inggris Charles Churchill.
Jika dibandingkan dengan saat ini, konsul berkembang menjadi organisasi internasional yang setara dengan IMF dan NATO. Mereka memang ikut campur dalam urusan dalam negeri, tetapi keberadaan mereka merupakan sebuah keuntungan. Mereka menjadikan hukum dan pengadilan menjadi efisen. Disamping itu, mereka juga menempatkan kapal perang dan pasukan ke Levant. Pada abad 19, Konsul Alexandria melindungi penjahat dari negara mereka dari hukum pengadilan Mesir, namun di lain sisi mereka membantu memperkenalkan karantina untuk kolera. Konsul asing juga mendominasi Beirut, setelah pembentukan semi-otonom yang dijamin secara internasioal di Lebanon pada 1861.
3. Polyglottisme
Bahasa internasional untuk komunikasi antar komunitas, dan kebiasaan berbicara lebih dari satu bahasa merupakan karakteristik lain dari Levant. Sebelum kemenangan Inggris, Levant menggunakan dua bahasa internasional. Pertama adalah lingua franca (bahasa pergaulan), seperti yang disebutkan oleh wisatawan asal Italia, “Generalement entendue par toutes les cotes du Levant.” Atau, “Qui a cours bagian tout le Levant entre les gens de Marine de la Mediterranee et les Marchands qui vont negocier au Levant et qui se fait entender de toutes les bangsa,” tulis seorang wisatawan Perancis. Itu merupakan ungkapan yang bermakna bahwa bisnis dianggap lebih penting daripada bahasa sasta. Majalah The Gentleman pada tahun 1837 mengungkapkan ucapan seorang warga Inggris yang menetap di Levant, bahwa ia telah berbicara dengan lingua franca sampai dia hampir lupa separuh Bahasa Inggris. Lebih banyak orang Turki dan Arab belajar lingua franca untuk berbicara dengan orang asing, dibandingkan orang Eropa belajar Bahasa Turki atau Arab.
Sejak tahun 1840, berkat menyebarnya sekolah dan ditemukannya kereta api uap, maka bahasa dari Buenos Aires hingga Saint Petersburg menjadi bahasa kedua — atau malah bahasa pertama di Levant. Bahasa ini digunakan dalam ilmu pengetahuan, budaya dan diplomasi, diucapkan oleh wazir dan sultan, oleh semua penguasa Mesir, dari jaman Said Pasha hingga Raja Farouk. Mustafa Kemal Pasha yang memodernisasi Turki, juga penyair Smyrna, George Seferis, dan bahasa ini juga menjadi bahasa resmi Kantor Luar Negeri Ottoman. Kaum muda revolusioner Turki belajar bahasa Perancis di Paris. Lima ribu kata-kata dalam bahasa Perancis, seperti complot, metres, dan sosandturbison diserap dalam bahasa Turki, dan hal ini merupakan bentuk lain dari integrasi dengan dunia luar.
Akibatnya banyak orang-orang Levant, sebagaimana yang saya dengar sendiri di Izmir dan Beirut, yang masih polygot, berbicara dengan beberapa bahasa. Biasanya mereka berbicara dengan kombinasi dari bahasa Perancis, Arab, Turki, Italia, Spanyol, Yunani dan Inggris. Keluarga Smouha di Alexandria, yang berasal dari Baghdad (namun kini ia tinggal di dekat Jenewa) mengatakan bahwa ia berbicara di rumah dengan menggunakan bahasa campuran dari beberapa bahasa seperti Bahasa Perancis, Arab dan Inggris, dan ia menyebutnya sebagai ‘Egyptfrarabish’.
4. Hibriditas
Hibriditas dan memiliki banyak identitas merupakan karaktristik lain dari Levant. Sejarawan Lebaonon-Amerika William Haddad menyatakan, “Negara merupakan pembelenggu pikiran.” Namun berbeda dengan sebuah negara, Levant adalah penghancur belenggu. Kekaisaran Ottoman menegakkan beberapa pembatasan dan peraturan ala Eropa seperti purity of blood atau darah murni di Spanyol ataupun keseragamanan agama di Perancis pasca terusirnya Huguenot di tahun 1685. Tidak ada ruang untuk orang -orang Yahudi. Namun sebaliknya, selama tiga abad lamanya orang-orang Turki, Yunani, Armenia, Yahudi dan Eropa hidup berdampingan di Smyrna dan kota-kota lainnya di Levant. Para wisatawan sangat terkesan melihat kota yang terdiri dari berbagai macam-macam ras dan pakaian. Di kota, terdapat gereja, sinagog, yang notabene tidak sesuai dengan pandangan Islam, dan hal seperti ini tidak terbayangkan bisa ditemukan di kota-kota Eropa.
Di kota-kota Levant, tidak ada satu kelompok pun yang mendominasi demografis. Di Symrna dan Beirut setelah tahun 1700, populasi penduduknya sebagian Kristen dan sebagian lagi Muslim. Di Alexandria, seperempat penduduknya beragama Kristen dan Yahudi, dan tiga-perempatnya beragama Islam. Di kota-kota Levant, seluruh penduduk dibabaskan memeluk agamanya masing-masing. Umat Islam biasa memasuki gereja, bahkan menyalakan lilin untuk mendengarkan musik dan memohon kepada Illahi selain berdoa di masjid. Di tahun 1700 terdapat 50 masjid, 8 sinagog dan 7 gereja (Katolik, Ortodoks dan Armenia). Jika berada di jalanan, Anda akan merasa bahwa Anda berada di sebuah negara Kristen. Orang-orang Turki menyebutnya sebagai gavur Izmir, karena begitu banyaknya non-Muslim yang tinggal di sana.
Rumah-rumah dibangun dengan gaya Ottoman-Levant, biasanya oleh pekerja yang berasal dari pegunungan Algania dan Makedonia. Arsiteknya berasal dari Italia dan Paris. Istana seperti Ras el tine Palace di Alexandria, atau Palais Sursock dan Maison Pharaoun di Beirut, merupakan perbaduan dari gaya dari berberapa negara lintas abad. Ada gambar-gambar ala Eropa, hiasan dinding neo-Islam, dan prasasti ala Ottoman. Di seluruh wilayah setelah tahun 1850, semua atap menggunakan ubin merah dari Marseille.
Pada abad ke-17, Sabbatai Sevi, sang Mesias palsu dari Smyrna, mendirikan agama sendiri yang merupakan perpaduan dari agama Kristen, Islam dan Yahudi. Para pengikutnya disebut Donmeh, dan merupakan elemen yang penting di Izmir dan Istanbul. Keluarga Baltazzi yang merupakan bankir Smyrna, sebagaimana kota itu sendiri, merupakan campuran dari Yunani, Ottoman dan Eropa.
Gubernur Ottoman yang juga polygot adalah Kiamil Pasha (1891-1907), dan Rahmi Bey (1913-1918), yang menempatkan kepentingan kota diatas perintah pusat, dan menyelamatkan kota dari pembantaian Armenia yang pernah terjadi di tempat lain di masa Kekaisaran Ottoman. Penduduk dari seluruh agama bisa menikmati kafe dan klub di Tesalonika dan bergabung dalam serikat perdagangan yang sama.
Hidup di Konstantinopel serta Alexandria, dengan didikan ala Eropa, Dinasti Mohammed Ali dari Mesir sebenarnya berasal dari Kavala, Ottoman. Namun dalam berpakaian dan bersikap, ia menggunakan cara-cara Eropa. Di istananya, Mohammed Ali malah lebih cenderung menunjukkan ‘sentuhan’ asing, bukan ala Muslim yang sholeh. Seorang Konsul Perancis menulis bahwa Mohammed Ali telah ‘membeli’ sebagian ulama. Sementara yang menentang proyeknya maka akan diasingkan. Mesir, yang merupakan provinsi paling fanatik di masa Ottoman, di bawah Mohammed Ali menjadi provinsi yang paling toleran. Jabarti memprotes karena orang Kristen yang merupakan ‘musuh agama kami’ telah berubah menjadi ‘sahabat dan teman yang sangat intim dari Yang Mulia’. Bahkan saat itu, Muslim bekerja sebagai pesuruh.
Karena Mohammed Ali, Alexandria menjadi kota modern pertama di Timur Tengah. Pada tahun 1813, Alexandria digambarkan sebagai sebuah persegi besar di dekat laut, dan orang-orang Eropa datang ke tempat itu untuk menghirup angin laut. Oleh Konsul Perancis, AS dan Swedia, Alexandria disebut sebagai Place des Consuls untuk menunjukkan kekuasaan dan status mereka.
Cucu dari Raja Fouad yang memerintah dari tahun 1917-1936, seperti yang diungkapkan Sir Laurence Grafftey-Smith dalam memoarnya yang luar biasa tentang Alexandria, menyatakan bahwa raja memiliki selera kosmopolitan dalam usahanya, ala Italia dalam hal pertunjukan opera, investasi, atau ketika memilih gundik. Dalam semangat Levant, ia datang naik tahta dalam keadaan negara penuh utang, namun ia meninggal sebagai seorang multi-jutawan.
Raja Fouad, saat ia bertahta setelah proklamasi konstitusi di 1922, adalah seorang yang kosmopolitan dan patriotik. Dia membantu mendirikan Universitas Kairo, memboyong profesor Italia dan Perancis. Ia juga mendirikan Arab Language Academy, yang mirip dengan Academie Francaise, untuk menjaga kemurnian Bahasa Arab. Ia juga mendirikan Arab Music Academy, yang membentuk sistem notasi.
Salah satu pedagang terkaya di Beirut, Alfred Sursock yang dikenal sebagai Farid, meninggal pada tahun 1924, juga seorang diplomat Ottoman, memiliki rumah rumah di Paris, Konstantinopel dan Beirut. Ia juga melayani Perancis dan Ottoman disaat yang bersamaan. Ia menikahi seorang wanita Italia. Lantas, almarhum Rafik Hariri adalah seorang pengusaha Arab Saudi dengan kewarganegaraan Arab Saudi, yang merupakan teman sekaligus penyandang dana bagi Presiden Chirac (yang sekarang tinggal di sebuah apartemin milik Hariri di Paris), ia kini adalah Perdana Menteri Lebanon. Dia memiliki tiga identitas, Lebanon, Arab, Perancis.
5. Perdagangan
Levant bukanlah kota yang romantis, melainkan merupakan kota perdagangan. Wilayah ini merupakan penghubung bagi ekonomi Eropa dan Asia sebagaimana Hongkong dan Dubai hari ini. Smyrna mengekspor kismis, opium dan karpet, Alexandria mengekspor kapas. Munculnya Smyrna sebagai pelabuhan dunia selayaknya New York juga dirangsang oleh kedatangan pedangang dari Inggris dan Belanda. Smyrna menjadi kota yang disinggahi oleh orang-orang Asia yang berdagang ke Eropa, dan pedagang Eropa yang berdagang ke Asia. Baptiste Tavernier menulis pada tahun 1634, “Hari ini, Smyrna merupakan kota yang paling terkenal dibandingkan kota lainnya di Levant. Disinggahi oleh pedagang Eropa yang menuju Asia dan sebaliknya.“
Pada tahun 1600, populasi Smyrna hanya 5.000 jiwa, namun melonjak drastis menjadi sekitar 100.000 jiwa pada tahun 1700. Lonjakan itu melebihi kenaikan penduduk New York. Smyrna disebut sebagai ‘mata Asia’ dan Paris van Levant. Perdagangan, dan bukan karena faktor sejarah ataupun budaya, yang memikat orang-orang Yunani untuk menetap di Levant, dan tahun 1900, orang Yunani mendominasi dari segi jumlah maupun komersial.
Orang-orang Perancis menyebut Levant sebagai ‘Hindia milik kami’. Mereka hidup dari perdagangan di Levant. “Pelabuhan di Levant, paling kaya dan padat. Smyrna, alangkah kayanya,” kata Tsar Alexander kepada Jenderal Comte de Caulaincourt, Duta Napoleon I, pada tahun 1808, ketika merencanakan untuk memecah Kekaisaran Ottoman.
Di bawah Mohammed Ali dan penerusnya, Alexandria menjadi kapitalis El Dorado, menjadikan fenomena demam emas di Eropa dan Suriah. Pada tahun 1860-an, modal bisa menjadi dua kali lipat setiap dua tahun. Populasi penduduk meningkat dari 5.000 jiwa pada tahun 1800 menjadi 100.000 jiwa pada tahun 1850 dan lebih dari 200.000 jiwa pada tahun 1882. Alexandria menjadi pelabuhan utama yang menghubungkan Mesir dan Eropa. Pada tahun 1900, Alexandria adalah pelabuhan terbesar ketiga di Mediterania jika ditinjau dari volume lalu lintas, setelah Genoa dan Marseille. Pertumbuhan penduduknya pun menakjubkan. Naik drastis dari 232.636 jiwa pada tahun 1882 menjadi 444.617 jiwa pada tahun 1917. Pendatang atau warga asing membentuk sekitar 20 hingga 25% dari populasi orang Mesir. Banyak keluarga kerajaan yang memiliki darah orang asing.
Beirut pada tahun 1826 telah digambarkan sebagai sebuah republik pedagang, hidup
menurut hukum sendiri, independen dari pemerintah di Damaskus. Kebangkitannya bukan hanya untuk pedagang lokal, tetapi juga, sebagaimana Smyrna dan Alexandria setelah kedatangan pedagang asing dan konsul — mereka mulai tertarik dengan pengetahuan tentang iklim, berdekatan dengan pegunungan Lebanon, dan terdapat keseimbangan antara Muslim dan Kristen ditinjau dari populasi. Populasi penduduknya juga naik, dari 6.000 jiwa pada tahun 1800 menjadi 130.000 jiwa pada tahun 1900.
6. Kesenangan
Selain sebagai kota perdagangan, kota-kota Levant juga identik dengan kota tempat bersenang-senang. Para wanita Kristen Izmir, digambarkan sangat cantik. Evliya Celebi menulis, “Ketika pemuda Muslim melihat mereka yang beraroma manis, maka pikiran mereka pun tidak karuan dan bingung.” Kota ini digambarkan sebagai gabungan dari anugerah Italia, kelincahan Yunani, dan kemegahan Ottoman, yang memiliki daya tarik yang tak bisa dibendung.
Karnaval dirayakan di Smyrna dengan kegilaan seperti minum dan menari. Konsul Eropa mencoba menghentikan orang-orang Turki yang mengunjungi kedai Frank, tempat dimana mereka bisa menikmati kebebasan yang paling mutlak. Smyrna bukanlah surga yang disediakan untuk orang asing dan Yunani, karena Smyrna bukanlah kota kolonial. Dalam memoarnya penulis Turki Naci Gundem menulis bahwa Smyrna sangat indah. Dari sunset sampai tengah malam bagaikan sebuah negeri dongeng, suasananya begitu ajaib, bahkan jiwa yang paling suram pun bisa tertawa. Norman Douglas menyebut pada tahun 1885 bahwa Smyrna adalah tempat yang paling menyenangkan di muka bumi. Pelabuhan Smyrna menyediakan musik dan kebebasan. Jika di New Orleans kita menemukan jazz, di Bueno Aires kita menemukan tango, maka Smyrna sendiri memiliki musik khas yang disebut Smyrnaika atau Rebetiko. Ini adalah musik pemberontak, yang digemari oleh terutama qabadays (Turki), ordais (Yunani), para berandalan yang, seperti di pelabuhan Mediterania lainnya, bekerja, berjudi dan berkelahi satu sama lain. Lagu Rebetiko dicampur polifoni Barat dan Timur dan menggambarkan penderitaan orang miskin dan para tahanan, siksaan cinta, atau kenikmatan ganja.
Zaman keemasan Alexandria adalah periode antara 1936 dan 1956. Ketegangan muncul setelah kerusuhan pasca kemerdekaan pada tahun 1919-1921, dan mulai mereda setelah perjanjian baru dengan Inggris pada tahun 1936. Mesir diberikan kemerdekaan dalam skala yang lebih besar, adanya jadwal untuk evakuasi pasukan Inggris dari Kairo dan Alexandria, juga dihilangkannya penasihat Inggris dari Kementerian Mesir. Pada tahun 1937, setelah 400 tahun, capitulation yang disebut sebagai sebagai bentuk perbudakan dan kejahatan terhadap rakyat Mesir akhirnya dihapuskan. Pengadilan konsuler juga ditutup pada tahun 1948.
Novelis besar Neguib Mahfouz, menghabiskan musim panas di Alexandria. Dia mencatat perubahan. “Sebelum tahun 1936, Mesir telah menganggap Alexandria sebagai kota Eropa karena Bahasa Italia, Prancis, Yunani atau Inggris lebih sering terdengar dibandingkan Bahasa Arab. Kota ini begitu indah dan bersih bahkan kita tetap bisa memakan makanan yang jatuh di jalan. Tapi semua itu hanya untuk orang asing. Kami hanya bisa mengamati dari luar. Sampai akhirnya disepakati Perjanjian 1936, dan orang asing diberlakukan sesuai hukum yang sama dengan orang Mesir. Ketika capitulation dihapuskan, orang asing di Alexandria dipaksa untuk mengubah sikap mereka. Mereka bukan lagi sebagai pemilik negara, kami orang-orang Mesir bukan lagi warga kelas dua. Mereka menyadari bahwa mereka dan kami memiliki kedudukan yang sama di hadapan hakim dan kami merasa lebih nyaman. Kehidupan ala Eropa tetap terasa, namun setelah capitulation dihapuskan, mereka juga bisa ditindak sebagaimana kami.” Singkatnya, orang-orang Mesir tidak lagi merasa sebagai orang luar.
Pada awal abad ke-17, menurut Konsul Perancis Chevalier d’Arvieux, Beirut berbeda dengan Sidon dan Tripoli jika dilihat dari kecintaannya kepada minuman dan nyanyian. “Semua warga Beirut, apa pun agama mereka, hidup dengan baik bersama-sama. Mereka sopan, saling mengunjungi dan bersenang-senang. Bahkan penduduknya sendiri tidaklah jahat seperti di Sidon.” Orang- orang yang pernah mencicipi Beirut sebelum tahun 1975 rata-rata mengungkapkan hal yang sama. Mereka mengatakan bahwa Beirut adalah surga. Kota ini merupakan ibukota dari musik Arab modern dengan penyanyi seperti Fairouz dan Nancy Ajram.
7. Modernitas
Kota-kota Levant begitu modern dan kosmopolitan sehingga bagi pengunjung dari pedalaman, Smyrna kadang-kadang tampak seperti negara asing. Alexandria menyerupai sebuah kota Eropa yang ditambatkan di lepas pantai Mesir. Sementara Beirut adalah Paris dari Timur Tengah. Sekolah dan universitas, serta bisnis, membuat kota-kota itu menjelma menjadi kota modern. Turki modern lahir tidak di Anatolia atau Istanbul, tapi di Levant, di pelabuhan Salonica, yang merupakan kelahiran Mustafa Kemal. Revolusi Turki Muda pecah pada tahun 1908, dibantu, dan dengan perlindungan konsul asing dan negara asing. Beberapa sekolah terbaik dan surat kabar di Istanbul saat ini adalah kelanjutan dari sekolah dan koran didirikan pada Tesalonika, yang dipindahkan ke Istanbul. “Smyrna menerangi provinsi lainnya di Kekaisaran Ottoman layaknya mercusuar Ottoman,” ujar Konsul Austria Jenderal Charles de Scherzer. Latife Hanim, istri Mustafa Kemal, ibu negara pertama Turki, dididik di sebuah sekolah Perancis di Smyrna. Dia berasal dari keluarga pedagang Ushakligil.
Smyrna memiliki koleksi botani pertama Kekaisaran Ottoman (yang merupakan hadiah dari Konsul Inggris William Sherard di Sevdiyekoy), surat kabar pertama, kereta api, listrik, dan klub sepak bola yang didirikan oleh pedagang Inggris pada tahun 1894. Alexandria memiliki koran feminis, bursa dan tempat pembuatan bir.
Sekolah asing di Smyrna, Beirut dan Alexandria, dijalankan oleh Mission Israelite Universelle, Jesuits, Order of Notre Dame de Sion, Frères des écoles chrétiennes dan lainnya, yang telah mencetak intelektual di bidang senjata dan bahasa. Sekolah ini memiliki siswa yang beragama Islam, Kristen dan juga Yahudi.
Seperti sekolah Levant lainnya, seperti sekolah tinggi Victoria Alexandria, didirikan di 1906, bukan hanya kendaraan imperialisme budaya. Di awal berdiri, murid-muridnya adalah pendukung dan juga penentang kehadiran Inggris di Mesir dan Timur Tengah. Ada juga ada anak Mahmoud Sami al-Barudi, Perdana Menteri Arabi Pasha pada tahun 1882; George Antonius, penulis The Arab Awakening (1938), buku pertama dalam bahasa Inggris yang menyoroti nasionalisme Arab dari sudut pandang Arab. Bukunya juga mengulas tentang hak-hak Palestina.
Yang tak kalah penting adalah sekolah tinggi Syrian Protestan, lalu American University of Beirut, dalam membina nasionalisme Arab dan kebangkitan sastra sejak 1866. Beirut juga memiliki sekolah berbahasa Perancis yang digawangi oleh Fransiskan dan Lazarists. Ada juga universitas terkenal dari Saint Joseph. Di Beirut sebelum tahun 1975, sebagaimana yang ditulis Edward Said, “Semuanya memungkinkan, untuk segala bentuk ide dan identitas.” Mai Ghoussoub menyatakan bahwa Beirut memancarkan optimisme dan yang merugikan adalah percaya pada janji-janjinya.
Setelah 1952, Beirut menjadi ibukota finansial dari Timur Tengah. Presiden Chamoun Theo Larsson mengungkapkan, “Semuanya diizinkan di Beirut, kecuali kemiskinan, dan hal itu tidak pernah diampuni.” Di Beirut juga sangat toleran, meskipun ada perang Arab-Israel, namun sebelum tahun 1967 jumlah orang Yahudi di kota itu meningkat.
Jika kota Arab lainnya dijaga oleh polisi negara, maka Beirut adalah kota yang merupakan simbol kebebasan. Beirut merupakan kota pertama di kawasan yang bisa ditemukan seorang wanita Muslim biasa tidak berhijab seperti dituturkan Anbara Salam pada tahun 1927. “Beirut adalah kebebasan total dan mutlak,” tulis Zeena al Khalil. Beirut menjadi kota yang lebih bebas dalam memproduksi koran dan majalah, dan juga menjadi pusat keuangan. Bahkan seorang pemimpin Hizbullah pernah mengatakan bahwa Beirut adalah paru-paru tempat Iran bernafas. Setelah pembunuhan Rafik Hariri pada tahun 2005, Beirut menghadapi layaknya Arab Spring di tahun 2011. Sebuah demonstrasi pro-demokrasi pertama, melawan kediktatoran Arab, dalam hal ini Suriah.
8. Kerentanan
Smyrna, Alexandria dan Beirut, merupakan kota di dalamnya juga terdapat kebencian agama dan ras. Penjarahan dan pembakaran siap meletus setiap saat. Pada tanggal 11 Juli 1882, misalnya, kapal perang Inggris terbakar Alexandria. Hari-hari setelahnya adalah suara-suara gemuruh, hancurnya bangunan, dan anjing yang melolong. Satu-satunya objek yang tak tersentuh adalah patung Mohammed Ali.
Satu-satunya masalah adalah tidak ada satupun dari kota-kota ini yang memiliki pertalian yang kuat akibat percampuran berbagai negara, ras maupun agama. Tidak ada administrasi otonom, atapun angkatan bersenjata yang melindungi. Pada tahun 1800, New York telah menyusul Smyrna sebagai pelabuhan internasional karena sejak 1650-an, New York memiliki dewan kota sendiri, namun tidak demikian halnya dengan Smyrna. Smyrna dan Beirut dibangun pada tahun 1868 dan di Alexandria pada tahun 1892, namun mereka lemah dan terpecah.
Dari awal Alexandria merupakan kota multi-nasional, dengan batasan-batasan jumlah penduduk dari masing-masing negara, dan banyak diantara mereka yang tidak mengerti Bahasa Arab. Dokumen internal kota selalu berbahasa Perancis, sedangkan dokumen untuk publik berbahasa Perancis dan Arab. Dewan Kota di Beirut juga dibagi dengan batas-batas berdasarkan jumlah penduduk yang beragama Islam dan Kristen. Perdana Menteri Israel yang pertama, Ben Gurion pun mencela, “Semangat Levant yang telah meruntuhkan individu dan masyarakat.”
Selain kebencian atas pola pikir akibat percampuran, Levant juga mengalami ketegangan yang dipicu oleh kondisi perekonomian antara masyarakat di pelabuhan dengan masyarakat di daerah pedalaman. Di pegunungan Smyrna, Salonica dan Beirut, para bandit kerap menculik anak-anak pedagang kaya untuk mendapatkan tebusan. Di Smyrna, oang-orang Turki dan Yahudi yang miskin hidup di daerah terpencil. Kota dibagi menjadi dua, sehingga wilayah yang dihuni oleh orang-orang kaya tidak harus mensubsidi orang-orang miskin.
Ada kerusuhan antara orang-orang Yunani dan orang-orang Turki pada tahun 1770, 1797 dan 1821, dan mereka kemudian berdamai yang ditandai dengan kunjungan Sultan Ottoman pada tahun 1850 dan 1863. Smyrna telah selamat dari Perang Dunia Pertama tanpa pembantaian atau deportasi, berkat gubernurnya, Rahmi Bey, dan karena semangat perdagangan itu sendiri. Pendudukan Yunani pada tahun 1919-1922 mengubah segalanya. Konsul mengorganisir transfer kekuasaan secara damai dari Turki ke Yunani di Crete setelah tahun 1898, dan hal serupa juga terjadi di Tesalonika pada tahun 1912. Namun tidak demikian halnya ketika kekuasaan beralih dari Yunani ke Turki.
Pada 9 September 1922, ketika Tentara Turki memasuki Smyrna, api mulai melahap pusat kota. Penduduk Turki dan Yahudi terhindar dari bencana, namun sebagian besar penduduk Yunani, Armenia dan Smyrna dibakar. Dunia telah gagal melindungi kota dunia. Mereka yang tidak dibunuh atau dideportasi, diambil oleh kapal-kapal milik misionaris AS dan pihak asing lainnya.
Nasionalisme telah mengalahkan kombinasi dari diplomasi, hibriditas, perdagangan, modernitas dan kesenangan kota Smyrna. Nasionalisme telah merusak segalanya. Smyrna menjadi kota yang pertama mati di abad 20. Januari 1923, seorang Yahudi yang dipanggil E Benaroya meratap, “Hidup di Smyrna menjadi menjadi lebih buruk dibandingkan hidup di Maroko sebelum pendudukan Perancis. Kehidupan yang membosankan dan monoton. Bioskop, kafe, klub, surat kabar dari seluruh dunia yang dulu tersedia, kini telah musnah dilalap api. Kehidupan kami disini seperti pertapa.”
Smyrna telah mengalami pembersihan etnis yang brutal, sebagaimana yang terjadi pada negara-negara nasionalis lainnya yang sekterian. Di abad 20, menjadi masa yang menyedihkan. Salonica menjadi neraka pada tahun 1912, Odessa dan Saint Petersburg di-Rusia-kan pada 1917, Treiste di-Italia-kan setelah 1918, Istanbul di-Turki-kan setelah 1923, Wina di-Jerman-kan setelah 1938, Alexandria di-Mesir-kan setelah 1956, Sarajevo dibagi menjadi Bosnia, Serbia dan Kroasia setelah 1993.
Nasser, meskipun lahir dan dididik di Alexandria, ia mendorong orang Eropa untuk meninggalkan Alexandria. Sekarang Alexandria lebih Islami daripada Kairo, dengan paham Salafi yang kuat. Selama 15 tahun perang saudara setelah tahun 1975, Beirut beralih dari kota yang tempat mengejar keuntungan dan kesenangan menjadi kota tempat pembunuhan. Tentara melemah oleh sektarianisme. Orang-orang bisa saja dibunuh karena agama yang tercantum pada kartu identitas mereka. Hari ini, sekali lagi, Beirut terancam akibat bencana Suriah dan kelemahan Tentara Lebanon. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Universitas AS, satu dari tiga penduduk Lebanon usia 18-25 tahun mengaku membenci kaum muda dari masyarakat/ komunitas yang berbeda, dan menolak untuk menikah dengan mereka.
Kesimpulan
9. Masa Lalu untuk Masa Depan?
Di Levant, sebagaimana Eropa, kota memiliki peran yang penting sebagaimana negara dalam membentuk manusia ataupun peristiwa. Di era global yang baru, sejarah kembali terulang: kota kembali kontra dengan negara.
Kosmopolitanisme muncul lagi dalam bentuk-bentuk baru di berbagai kota lainnya, atau dalam kota yang sama. Sebagaimana Wina, Berlin, Odessa, St Petersburg, Istanbul, dan Shanghai. Kini Beirut, Alexandria dan Smyrna mencoba menghidupkan kembali identitas pra-1914 yang merupakan kota kosmopolitan dan terbuka menyambut orang asing. Cavafy menulis, “Kota ini akan selalu mengejar Anda. Anda akan berjalan di jalan-jalan yang sama, menjadi tua di lingkungan yang sama. Akan berubah menjadi abu-abu di rumah-rumah yang sama. Anda akan selalu berakhir di kota ini.”
Atau seperti yang dikatakan Maria Iliou pada tahun 2012 dalam filmnya Smyrna the Destruction of a Cosmopolitan City 1900–192, “Kota kosmopolitan tidak akan pernah punah, bahkan jika mereka harus berpindah ke tempat lain. Anda membawa Smyrna kemanapun Anda pergi. Karena Smyrna adalah sebuah perspektif.”
Istanbul sendiri, hampir seluruhnya dihuni oleh orang Turki di tahun 1975 ketika orang-orang Yunani, hampir seluruhnya diusir. Dan sebagaimana sebelum 1914, Istanbul menjadi sebuah kota bisnis global. Setelah sempat dilarang pada tahun 1943, kini karnaval kembali diadakan untuk bersuka ria di jalan-jalan.
Izmir dan pantai Turki adalah benteng dari Partai CHP sekuler yang menjadi oposisi pemerintahan Islam yang semakin diktator. Perdana Menteri Tayyip Erdogan menyebutnya sebagai Gavur Izmir atau kafir Izmir. Di kota-kota lain muazin mengumandangkan adzan hampir memekakkan telinga, namun di pusat kota Izmir hampir tak terdengar – setidaknya untuk saat ini. Pada sebuah konferensi tentang Levant yang diselenggarakan oleh Izmir Chamber of Commerce (Kamar Dangang Izmir) pada bulan Oktober 2010, saya diberitahu oleh Ekrem Dermirtas, “Setiap hari kami merasakan tekanan. Aku takut terhadap masa depan putriku. Izmir adalah kota toleransi. Kami berusaha membuat kebijakan di Kamar Dagang untuk melestarikan budaya Levant. Saya ingin hidup sebagaimana seorang penduduk Levant.” Sebuah klub sepakbola Levant telah dibentuk. Sebuah website Levant, dan sebuah buku masakan Levant juga telah diterbitkan. Baru-baru ini di Athena, London dan Izmir, digelar pameran yang bertajuk Levant kosmopolitan di masa silam.
Mersin, yang berada di ujung timur Turki, didominasi oleh penduduk Kristen. Di kota pelabuhan ini terdapat 8 gereja, 5 masjid, dan sebuah sinagog sebelum 1922. Mereka juga menegaskan ingin kembali kepada identitas kosmopolitan. Sebuah pelabuhan yang bebas dinamis, kurang Islami dibanding Istanbul, dan pada tahun 2011, kondisi ini tampak seperti kembaran Alexandria.
Dengan berlanjutnya hibriditas, multi-bahasa, modernitas dan kerentanan, ditambah dengan semakin menguatnya pengaruh pihak asing dalam urusan dalam negeri – yang terlihat dalam pengadilan internasional untuk menyelidiki pembunuhan Hariri, Beirut manjadi kota besar terakhir di Levant yang menghirup udara kebabasan. Di sana terdapat 37 universitas, yang mayoritas merupakan universitas asing. Masih ada surat kabar Perancis, L’Orient Le Jour, dan banyak warga Lebanon yang berbicara dan menulis dengan Bahasa Perancis di rumahnya. Beirut menjadi kota yang lebih internasional, karena menerima pengungsi dari Suriah, Armenia, Irak dan Palestina. India dan Filipina sekarang juga berkontribusi dengan mengirim ribuan pekerja. Di dalam ekonomi global, karakteristik Beirut seperti ini dianggap bukan sebagai sebuah kelemahan, melainkan sebagai aset.
Beirut lebih bersinar dibandingkan dengan Aleppo, Damaskus dan Baghdad. Wisatawan dan penduduk mengagumi Beirut dan menyebutnya sebagai ferocious edge, yang telah mampu menggabungkan berbagai visi berbeda dalam kehidupan. Sebuah keseimbangan dalam kekuasaan dan jumlah antara masyarakat menjadikan Beirut layaknya laboratorium eksperimental untuk masa depan Timur Tengah.
Levant tidak lagi terbatas pada Mediterania timur. Dengan menilik kota global saat ini, maka London, Paris, New York, Dubai, merupakan ‘kota Levant yang baru’. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, mereka telah menerima ribuan orang-orang dari Smyrna, Beirut dan Alexandria. Mereka termasuk Mohammed al Fayed, Alain de Botton, Omar Sharif dan Sir Ronald Cohen, pendiri AIPAX, dari Alexandria; Alec Issigonis (desainer dari Mini) dan Edouard Balladur, dari Smyrna; banyak penduduk Beirut yang telah menetap di Paris, seperti penyair Adonis, dan keluarga Hariri. “Ketika ruang untuk keragaman dan peluang karir bagi kaum liberal-berpendidikan di Timur Tengah menyusut, mereka pun ‘membuka Levant’ di London dan kota-kota Barat lainnya,” tulis Sami Zubaida, seorang pengungsi Yahudi dari Baghdad.
Kedua, kota-kota seperti London, Paris, New York, Hong Kong kota global lainnya merupakan pengulangan pola masa lalu. Seperti Levant, kota-kota ini tampak semakin berbeda dengan wilayah di pedalaman. Kota ini juga menyediakan para pendidik, pembebas, dan pe-modernisasi. Mereka mengutamakan kesepakatan diatas idealisme. Terdapat masjid, gereja dan sinagog, juga lembaga-lembaga internasional yang dikhususkan untuk hibriditas, perdagangan, ataupun sekedar bersenang-senang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa internasional. New York adalah markas besar PBB. Sedangkan di Paris, berbagai pengumuman untuk masyarakat disampaikan dalam bahasa Perancis, Spanyol dan Inggris.
London setelah tahun 1945 tampaknya menjadi kota mati. Namun sekarang berubah menjadi Babylondon. Kota ini menggunakan sekitr 350 bahasa (mungkin lebih banyak daripada New York yang diperkirakan menggunakan 170 bahasa). Perdana Menteri membanggakan London, menyebutnya sebagai kota yang paling beragam di dunia. Menurut angka terbaru, dari total populasi 8,2 juta di London, 45% adalah warga Inggris kulit putih, 18% Asia, 13% kulit hitam, 13% Eropa, dan lainnya sebanyak 9%. London juga memiliki pengadilan untuk orang Rusia, sebagaimana yang dulu terjadi di Levant, pengadilan asing jauh lebih murah dan lebih baik dibandingkan pengadilan kota itu sendiri. Walikota Boris Johnson yang ambisius sebagaimana walikota untuk kota global lainnya, ingin mengontrol stempel, tugas, tarif bisnis, dewan pajak, bahkan visa secara mutlak.
‘Kota-kota Levant yang baru’ juga memiliki penduduk hibrida, sebagaimana Levant di masa lalu. Nedim Gursel, seorang penulis berbahasa Perancis dari Turki, berpikir bahwa dirinya tengah hidup di ‘Paristanbul’. Amin Maalouf dari Lebanon juga tinggal di Paris dan menulis dalam bahasa Perancis. Bukunya yang berjudul Identites HisDes meurtrieres, diterbitkan di Paris pada 1998, mengecam nasionalisme dan menyerukan diberlakukannya trilingualisme, merupakan manifesto dari Levant. Hanif Kureishi, yang ayahnya berasal dari Pakistan, menyebut London sebagai sebuah kota semi-independen yang bukan lagi menjadi bagian dari Inggris. Saat ini, kami semua adalah Levant.
Berkat kebebasan kreativitas, perspektif yang luas, dan universitas yang relatif independen, sistem hukum dan standar bisnis, Hongkong menyajikan kondisi sebagai tempat dimana China bertemu dunia. Hongkong tetaplah bagian dari China secara administrasi, namun dibandingkan dengan China pedalaman, maka kota ini tampak sangat berbeda. Sebuah oase kebebasan akademik, dan memimpin dunia di bidang pendidikan (seperti Shanghai dan Singapura), dan menghargai kolonial di masa lalu. Hongkong yang merupakan bekas koloni Inggris, telah memberikan kebebasan dan martabat yang lebih besar kepada penghuninya. Bendera di era kolonial, kadang-kadang masih berkibar jika ada protes anti-Peking.
Hanya ada sekitar 10% penduduk lokal yang menghuni Dubai. Kota ini memiliki pelabuhan terbesar dan terefisien di dunia, dan juga merupakan pusat finansial di kawasan. Namun berkat Art Dunbai fair yang dibentuk pada tahun 2006, kota ini juga memberikan kebabasan artistik. Dubai menampilkan karakteristik Levant yang identik dengan hibriditas, modernitas dan kebebasan. Kita telah mendekati ‘eksistensi kosmopolitan universal’ sebagaimana yang diungkapkan oleh Kant pada tahun 1784.
Mudah-mudahan kota global kita sekarang tidak serentan pendahulunya di Levant. Semua ini tergantung pada kekuasaan negara. Jika keberadaan kota global masih mendapat dukungan dari negara, jika para politisi dan tentara menjaga kelangsungan kota, maka untuk masa mendatang, kota global akan tetap memiliki energi kebebasan dan kosmopolitanisme, dan bukan menjadi kota yang didominasi oleh militer. Beirut, bukan Damaskus. Istanbul, bukan Ankara. Dubai, bukan Riyadh. New York, bukan Washington. Hongkong, bukan Beijing.
Saya ingin menyimpulkan tulisan ini dengan sebuah petuah dari sejarawan kuno Gaul dan Bordeaux, Camille Jullian. Inilah kondisi ketika orang di abad 19 berbicara kepada orang-orang di abad 21. Bordeaux menampilkan banyak karakteristik kota Levant, termasuk kekuatan pedagang asing, kesukaan bersenang-senang, perbedaan wajah dengan kota pedalaman, preferensi untuk perdagangan yang lebih patriotisme, dan jelas dinyatakan pada tanggal 12 Maret 1814 ketika muncul perlawanan terhadap Napoleon, dan Tentara Anglo-Portugis disebut sebagai pembebas. Dalam sejarah tentang Bordeaux yang diterbitkan pada tahun 1899, Jullian menulis, “Hari ini wajah sebuah negara terlihat mutlak dan monoton, yang dingin ketika menghadapi ide-ide internasional. Sebaliknya, semangat sebuah kota sesuai dengan dengan kehidupan para keluarga, cinta, perlindungan kebebasan dan martabat manusia.”
Kita tidak cukup hanya sekedar mengolah kebun. Namun kita juga harus menumbuhkan sebuah kota.
_________
[1] Philip Mansel adalah sejarawan Perancis dan Timur Tengah. Buku terakhirnya adalah Levant: Splendour and Catastrophe on the Mediterranean (John Murray, UK 2010, Yale, US and Everest, Turkey 2011, Oceanida, Greece 2012), yang mencatatkan sejarah Smryna, Alexandria and Beirut. Sebelumnya, ia juga menulis Constantinople City of the World’s Desire(1995) and Paris between Empires (2001). Ia juga membiayai Trustee of the Levantine Heritage Foundation, yang mengoleksi dokumen, gambar, dan konferensi terkait Levant (www.levantineheritage.com), dan menjadi editor The Court Historian, jurnal internasional Society for Court Studies (www.courtstudies.org). Tahun 2012, ia memenangkan Literature award dari London Library Life. Saat ini ia tengah menulis kehidupan Louis XIV. Email:philipmansel@gmail.com
Daftar Pustaka
1. Down There on a Visit,1962, p. 72.
2. Mohamed Afifi, La Méditerranée egyptienne, 2000, p. 3.
3. Daniel A. Bell and Avner de-Shalit,The Spirit of Cities, Princeton 2011, p. 58.
4. Philip Mansel,Levant: Splendour and Catastrophe on the Mediterranean, 2010, pp. 64–65.
5. Mansel,Levant, pp. 68–69.
6. Laurence Grafftey-Smith,Bright Levant. An autobiography, 1970, p. 46.
7. Gudrun Kramer, The Jews in Modern Egypt 1914–1952, 1989, p. 194. These sentiments have been repeated to me in interviews by Molly Tuby and Solomon Greene.
8. Robert Ilbert,Alexandrie 1830–1930, 2 vols Cairo 1996, I, 361.
9. Nathan J. Brown,‘The Precarious Life and Slow Death of the Mixed Courts of
Egypt’, International Journal of Middle Eastern History, 25, 1993, p. 46.
10. Mediterraneans, 1996, pp. 128–129, interview of 1996.
11. Daniel Rondeau,Alexandrie, 1997, p. 29.
12. Mansel,Levant, p. 91.
13. Charles Royle, TheEgyptian Campaigns 1882–1885, 1900 ed. pp. 95–97.
14. A. Hulme-Beaman,Twenty Years in the Near East(London, 1898), p. 46.
15. Ilbert,Alexandrie, I, 469n.
16. See Philip Mansel,Aleppo: from World City to Battle-field, forthcoming.
17. Mansel,Levant, pp. 355–356.
18. Sami Zubaida,‘Middle Eastern Jews in London’, The Middle East in London, June 2013, p. 20.
19. Evening Standard, 11 December 2012, p. 10.
20. Evening Standard, 15 May 2013, p. 5.
21. International herald Tribune, 29 September 2013, p. 7.
22. Tom Phillips,‘Why Shanghai is so special’, The Telegraph, 5 December 2013, p. 27.
23. International Herald Tribune, 6 December 2012, 22 April 2013.
24. Financial Times, 23 March 2013, p. 15.
25. Camille Jullian,Histoire de Bordeaux, 2 vols 1899, II, 78.