Tidak Ada Tuhan Dalam Konflik Suriah

Oleh: Khairun Fajri Arief*

Konflik Suriah memasuki babak baru seiring dengan pecahnya persekutuan Arab Saudi dan Qatar. Kedua negara monarkhi ini merupakan donatur bagi milisi-milisi jihad yang berperang melawan pemerintah Suriah. Pemimpin di kedua negeri ini sama-sama masih muda dan sama-sama meraih kekuasaan melalui intrik politik. Kedua negara telah berseteru sejak lama, sejak era Syekh Hammad al-Thani, yang penyebab utamanya adalah perebutan power di kawasan. Pada 2013, Hammad dikudeta anaknya sendiri, Tamim al-Thani, yang baru berusia 33 tahun.

tamim-bin salman

kiri: Muhammad bin Salman (Saudi), kanan: Tamim Al Thani (Qatar)

Tingkah Tamim yang mendukung Ikhwanul Muslimin, organisasi yang dianggap teroris oleh Saudi, membuat mendiang Raja Abdullah marah. Tamim dipanggil ke Riyadh dan diberi ultimatum agar politik Qatar dijalankan sesuia dengan kebijakan GCC (Dewan Kerjasama Teluk, beranggotakan Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan UAE). Tamim juga dipaksa menandatangani perjanjian tidak akan mencampuri urusan sesama negara GCC.

Namun Tamim tetap mbalelo. Dukungannya pada IM tak pernah berhenti. Pada awal tahun ini ada upaya kudeta yang disponsori oleh Mohammed bin Zayed, putra mahkota Abu Dhabi, yang dibantu Black Water. Mohammad bin Zayed adalah mentor terdekat dari Pangeran Muhammad bin Salman (putra Raja Salman, penerus Raja Abdullah) yang baru berusia 31 tahun.

Karena disponsori Black Water dan Abu Dhabi, tidak sulit untuk menduga bahwa kudeta di Qatar itu disponsori juga oleh Arab Saudi. Kudeta ini gagal karena dihalangi oleh CIA yang lebih menyukai Tamim. Langkah CIA membuat Saudi khawatir bahwa CIA akan bergerak lebih jauh, menggerakkan kudeta terhadap Raja Salman. Raja Salman pun segera mengambil langkah drastis, yaitu mengganti posisi Putra Mahkota, semula dijabat oleh adiknya, Muhammad bin Nayef, digantikan oleh Muhammad bin Salman yang tak lain putra kandungnya sendiri.

Banyak analis yang mengatakan bahwa Muhammad bin Nayef-lah yang direstui CIA. Bukan karena sikapnya yang lebih kooperatif dengan Amerika -karena semua pangeran Bani Saud pasti kooperatif dengan Amerika- tapi karena ia figur yang lebih moderat dan tidak tertarik dengan petualangan khas Napoleon muda yang sedang bersemangat. Sebaliknya, sang Napoleon muda dari Arabia, Muhammad bin Salman sedemikian brutal dan ceroboh dalam mengambil keputusan perang. Krisis di Yaman adalah salah satu buah tangan Pangeran Muhammad bin Salman yang blunder. Selain menguras anggaran Saudi, perang Yaman sangat mempermalukan Saudi karena meski sudah berlangsung hampir tiga tahun, Saudi tak jua mampu menaklukkan salah satu negeri termiskin di dunia itu.

Keputusan untuk menyerbu Yaman diambil Muhammad bin Salman tanpa persetujuan pamannya, Pangeran Muhammad bin Nayef, yang sebenarnya punya wewenang.

Singkat cerita, Raja Salman berupaya ‘melawan’ CIA yang dengan mengangkat anaknya sendiri sebagai putra mahkota pada 21 Juni 2017. Beberapa pekan sebelumnya, tepatnya 5 Juni 2017, Saudi bersama Bahrain, UAE, Mesir, Libya, dan Yaman (versi pemerintahan pro-Mansour Hadi yang sedang mengungsi ke Saudi) memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar dengan alasan: Qatar mendukung terorisme.

Alasan ini tentu saja absurd karena Saudi sendiri juga sejak awal konflik Suriah merupakan penyandang dana milisi-milisi teror, awalnya Al Nusra, lalu ISIS. Tentu saja bantuan ini tidak terang-terangan karena secara resmi pemerintah Saudi menyatakan kedua kelompok itu sebagai teroris. Bantuan itu diberikan Saudi melalui channel-channel individu. Meskipun akhirnya, dalam email Hillary Clinton yang bocor, Clinton menyatakan bahwa pemerintah Saudi-lah yang mendanai ISIS bersama Qatar.

Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kedua negara penyuplai kelompok-kelompok teror anti Assad ini tiba-tiba pecah kongsi? Apakah benar dukungan pada Qatar pada IM (artinya, ada faktor ‘relijius’ yang melibatkan Tuhan) yang menjadi penyebabnya?

***

Dahulu, primadona jualan negara-negara Arab adalah minyak bumi, sedang gas cair (LNG) sama sekali bukan sesuatu yang menarik. Arab Saudi adalah pemain terbesar di kawasan bersama Amerika yang membangun Aramco dengan kapitalisasi pasar konon bernilai 2 trilyunan dollar. Karena skalanya yang raksasa itu, Arab Saudi memiliki kemampuan ekstraksi paling efisien atas minyak mentah.

Masalahnya, LNG yang dahulu diabaikan oleh Arab Saudi, kini menjadi primadona dunia dan Qatar adalah pemain terbesar di kawasan dengan efisiensi paling baik. Qatar pun berdiri sanding sama tinggi dengan Arab Saudi yang mengelola minyak. Parahnya, di saat Qatar membangun imperium gas-nya itu, Qatar sama sekali tidak membangun ‘back bone infrastructure’ ke negara-negara Teluk (sebuah thesis mengatakan bahwa kerjasama dengan negara Teluk di mata Qatar tidak menarik, namun mungkin juga karena negara-negara Teluk yang memang menolak kerjasama tersebut).  Satu-satunya jaringan gas yang dibuat Qatar adalah ladang gas di utara Qatar ke Uni Emirat Arab, dan ke Oman di tenggara melalui ladang gas Dukhan. (Ladang gas di utara itulah yang kelak pada tahun 2005 ditutup sementara untuk membantu Iran mencapai skala efisiensi yang sama dengan Qatar.)

Menariknya, ketika Qatar sama sekali tidak berusaha membangun jaringan ke negara-negara Arab, ia justru membangun kerjasama erat dengan Iran dan Turki untuk membangun jaringan pipa sendiri yang menghubungkan langsung Eropa dengan cadangan gas alamnya yang besar di Teluk Persia. Rute yang akan dilalui jaringan ‘Qatar-Turkey Pipeline’ tersebut adalah Qatar ke Saudi, Yordania, Suriah, Turki, hingga berakhir di Bulgaria. Tebak siapakah yang selama ini memonopoli pipanisasi minyak di jalur itu? Yap. Rusia melalui perusahaannya, Gazprom. Rusia tentu tidak akan mudah menerima kenyataan untuk kehilangan statusnya yang dominan karena kedatanģan pemain baru.

Di tengah hambatan Rusia atas rencana pipanisasi gas Turki itulah, pada tahun 2010, di daerah yang disebut “Levant Basin” yaitu sebuah daerah yang berada di antara Mesir, Libanon, Suriah, Palestina dan Israel, ditemukan cadangan gas sebesar 450 milyar meter kubik gas yang sangat cukup untuk mengamankan pasokan gas ke Israel dan tentu saja Eropa. Di tengah hingar bingar temuan ini, pemain gas terbesar di kawasan, yaitu Qatar, hanya bisa gigit jari karena secara hukum internasional, 4 negara yang berada di Levant Basin ini sah untuk melakukan eksplorasi gas. Tebak siapakah yang justru mendapat konsesi cukup besar dalam urusan itu? Yap. Iran, yang pada tahun itu telah mencapai skala efisiensi eksplorasi yang setara dengan Qatar.

sumber gas Levantine - Suriah

Kebuntuan Turki atas perundingan dengan Rusia, tidak adanya gambaran apapun terkait kue untuk Qatar, hasrat Arab Saudi untuk terlibat dalam permainan gas, Suriah sebagai daerah yang akan menjadi pusat eksplorasi gas Levant Basin, dan Iran yang berprospek menjadi pemain gas paling handal di kawasan menggantikan Qatar, menjadi awal malapetaka yang menimpa Suriah hari ini.

Lewat sebuah kejadian demonstrasi yang meletus di kota kecil Daraa, pinggiran Suriah, pada bulan Maret 2011, seorang korban tewas dan dipanasi oleh fatwa susul-menyusul tentang pembantaian berbau konflik sektarian Sunni-Syiah, puluhan ribu militan dari berbagai negara membanjiri Suriah. Mereka awalnya dilatih di Yordania. Sebagian lagi masuk ke Suriah melalui Turki. Semboyan utama para pemain perang ini adalah “Assad Must Go”, konflik Sunni-Syiah sebagai bahan bakarnya, dan channel berita paling ngetop di Timteng, Aljazeera, sebagai provokatornya. Aljazeera dengan senang hati menyebut China, Suriah dan Rusia sebagai “Setan” dan Iran sebagai “negara para penyembah berhala”.

***

Perkembangan selanjutnya rupanya tak menyenangkan buat Saudi. Pada tahun 2016, perusahaan Total Gas (Perancis) telah menandatangani kontrak bernilai hampir $5 miliar untuk membangun fasilitas pengeboran gas di lepas pantai di kawasan Teluk bersama Iran. Bisakah Anda tebak siapa salah satu pemilik saham di Total? Yap. Qatar Petroleum Internasional.  Pada awal tahun 2016 itu pula, Aljazeera berubah arah. Channel berita provokator perang Suriah itu mulai memberikan pemberitaan berimbang atas Iran. Bahkan elit kerajaan, seorang Syaikh Qatar dengan terbuka mulai memuji-muji Iran.

Dilanjutkan pada pertengahan tahun 2016, Turki menandatangani persetujuan untuk membangun pipa minyak ke Laut Hitam dengan Rusia. Putin pun mendadak mengatakan, “Rusia sejak lama ingin membuat rute alternatif lewat Turki menggantikan Ukraina untuk penjualan gas Rusia ke Eropa”. Dan setelah perundingan berbulan-bulan, pada awal tahun 2017 ini Qatar Petroleum telah melakukan akuisisi Rosneft dari Rusia via Glencore Plc senilai 20% sahamnya atau 18 Milyar Dollar dan karenanya telah memiliki akses lebih besar lagi terhadap ladang gas North Dome/South Pars bersama dengan Iran yang memiliki cadangan 51 trilyun meter kubik gas, terbesar dunia.

ladang gas Qatar

Kombinasi antara persetujuan eksplorasi gas antara Qatar dengan Iran, Qatar dengan Prancis dan Turki dengan Rusia, maka Arab Saudi seketika mendapati kenyataan bahwa petualangannya selama 6 tahun ini di Suriah sudah gagal total. Saudi pun menemukan fakta bahwa ia ditinggalkan oleh sekutu terdekatnya.

Pada periode inilah, satu persatu kawasan di Suriah berhasil direbut kembali oleh tentara Suriah hingga puncaknya, para teroris berhasil diusir dari Aleppo pada Desember 2016. Selanjutnya, cengkeraman ISIS di kota Mosul di Irak juga berhasil dienyahkan. Di titik ini Syaikh Qatar dengan tidak tahu malu secara terbuka memuji-muji Iran dalam segala segi, mulai dari demokrasi hingga kebudayaannya, dan Al Jazeera secara jelas menggambarkan Iran dengan cara yang sangat bersahabat.

Yang dibaca oleh publik di media adalah kekalahan para ekstremis karena serangan yang intensif. Namun yang terjadi di balik layar adalah logistik yang mulai terputus dan para “mujahidin” itu dianggap tidak diperlukan lagi. Yang tersisa memang mata dunia yang menelanjangi Arab Saudi sebagai donatur terorisme. Namun yang membuat situasi ini semakin pahit buat Saudi adalah fakta bahwa Saudi sama sekali tidak mendapat apapun dalam keseluruhan banjir darah 6 tahun yang dibiayainya. Sebaliknya, sekutunya, Qatar dan Turki, dengan kelicinan mereka, tetap bisa meraup untung.

Dalam bayang-bayang ketiadaan hasil, menurunnya prospek eksplorasi minyak, defisit anggaran pertama dalam sejarah Bani Saud dan hilangnya prospek atas eksplorasi gas bersama Qatar dan Turki itulah, maka hubungan Arab Saudi, Turki dan Qatar menjadi konflik yang mirip dengan kisah cinta yang berakhir frustasi.

Sama sekali tidak ada Tuhan dalam konflik ini.

Lalu, apa yang dilakukan Muhammad Bin Salman dalam situasi krisis baik luar maupun dalam negerinya ini? Setelah melewatkan KTT G20 di Hamburg dan posisinya yang semakin terjepit, serta kehilangan kredibilitas di hadapan para investor Eropa, terutama jika dibandingkan dengan Qatar, maka satu-satunya yang masih bisa dimainkan oleh Muhammad bin Salman adalah kembali membawa-bawa Tuhan. Kartu trufnya adalah semakin menggencarkan konflik Sunni-Syiah. Kita tunggu saja, kaki-tangan Saudi di berbagai penjuru dunia akan semakin militan bagaikan zombie, menggerakkan perpecahan dan perang atas nama Tuhan.[]

*peneliti ICMES

 

Referensi:

https://www.strategic-culture.org/news/2017/07/21/coup-house-saud.html

https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/06/qatar-gcc-saudi-arabia-yemen-bahrain/529227/

http://www.zerohedge.com/news/2016-10-11/hillary-confirms-saudi-arabia-qatar-are-funding-isis-leaked-email

https://www.ft.com/content/3b530f02-5f1d-11e7-8814-0ac7eb84e5f1

http://www.reuters.com/article/us-energy-summit-turkey-russia-idUSKCN12A244

https://www.bloomberg.com/news/articles/2016-12-10/glencore-qatar-commit-3-billion-in-equity-to-rosneft-stake

http://www.atimes.com/article/coup-house-saud//

http://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2017/06/qatar-north-dome-iran-south-pars-glance-lng-gas-field-170614131849685.html

http://www.dw.com/en/russias-gazprom-starts-building-turkstream-gas-pipeline-under-black-sea/a-38746809

https://www.ft.com/content/52c05b6e-8f1f-11e6-a72e-b428cb934b78

https://www.forbes.com/sites/kenrapoza/2016/10/24/who-suffers-from-russia-turkey-pipeline-deal/#164bf1de6afc

http://www.voltairenet.org/article172827.html

https://www.wsj.com/articles/SB10001424052970204204004576049842786766586#printMode

https://www.ft.com/content/9ed46d4c-a509-11e6-8b69-02899e8bd9d1