Artikel ini adalah intisari dari jurnal Israel Affairs yang berjudul Israel’s energy security: the Caspian Sea and the Middle East, yang dipublikasikan secara online pada 23 Juni 2010, di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13537121.2010.487729. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.
Ketahanan Energi Israel, Laut Kaspia dan Timur Tengah
Gawdat Bahgat [1]
Israel merupakan salah satu negara dengan perekonomian yang paling maju di Timur Tengah, dan karenanya, butuh sumber daya energi yang berkelanjutan dan terjangkau untuk mempertahankan standar hidup yang tinggi. Namun karena hambatan geologi dan geopolitik, mencapai keamanan energi Israel adalah hal yang penuh tantangan. Sumber daya alam yang terbatas memaksa Israel untuk tergantung pada pasokan luar.
Israel berada di samping negara yang memiliki minyak dan gas terkaya di dunia. Namun konflik Israel-Arab telah menghalangi Israel melakukan kerjasama energi secara alamiah. Sejak negara ini berdiri pada tahun 1948, ada sedikit kerjasama energi dengan negara di kawasan, terutama Iran dan Mesir. Israel juga mengimpor energi dari Rusia, Meksiko, Afrika. Dalam dua dekade, Azerbaijan dan Kazakhstan juga menjadi pemasok utama energi Israel.
Mengapa kerjasama energi menjadi hal yang sangat krusial?Pertama, energi, dan kerjasama energi mencerminkan hubungan strategis yang kuat. Perdagangan energi tidak dapat dipisahkan dari konteks geopolitik yang luas. Kedua, perang selama ini diartikan dari segi zero-zum, yaitu adanya kemenangan di pihak yang satu, dan kekalahan di pihak yang lain. Namun tidak demikian dengan energi, yang mengutamakan win-win solution. Karena itu, kemitraan dalam kerjasama energi seharusnya tidak dilihat sebagai pengganti yang lain. Dalam konteks Israel, kerjasama dengan Azerbaijan dan Kazakhstan kemungkinan untuk lebih meningkatkan keamanan energi, namun Israel harus mengeksplorasi cara-cara untuk memulai dan memperluas kemitraan energi dengan tetangganya dengan situasi politik yang tepat.
Memetakan Energi Israel
Pada Januari 2009, cadangan minyak terbukti Israel diperkirakan mencapai 1.940 miliar barel dan gas alam sekitar 1.075 miliar kaki kubik (bcf). Cadangan ini sangatlah rendah dan berarti Israel harus bergantung pada pasokan asing. Di lain sisi, Israel berupaya untuk melakukan diversifikasi energi. Menurut Menteri Kementrian Lingkungan Hidup Israel, hampir seluruh sendi perekonomian didasarkan pada bahan bakar impor, terutama batubara dan minyak mentah. Namun Israel telah mengalami perubahan besar, dengan menggunakan energi alternatif seperti energi terbarukan, khususnya solar.
Semua persediaan batubara yang diimpor dari negara-negara asing (Afrika Selatan, Kolombia, Australia, Indonesia, Polandia, Cina, dan lain-lain). Seperti batubara, produksi minyak Israel sangat terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia, negara pesisir Laut Kaspia, dan Afrika telah muncul sebagai daerah pengekspor utama ke Israel.
Upaya eksplorasi minyak telah dilakukan pada 1947 (sebelum negara secara resmi didirikan pada tahun 1948). Eksplorasi minyak bumi mulai tahun 1947 pada suatu permukaan di daerah Heletz, dan proyek rampung pada tahun 1955. Sejak itu, sumur minyak kecil ditemukan dan dikembangkan terutama di Kokhav, Brur, Ashdod, dan Zuk Tamrur.
Perang 1967 merupakan titik balik dalam sektor minyak Israel. Setelah mengalahkan Mesir, Israel menduduki Semenanjung Sinai dan mengendalikan ladang minyak selama hampir satu dekade.Dengan demikian, pada tahun 1971 Israel memproduksi 43,2 juta barel minyak, mendekati konsumsi domestik tahunan. Dengan kata lain, awal tahun 1970 Israel mampu swasembada produksi minyak berkat keuntungan yang didapat dengan menguasai Sinai.Namun swasembada ini tidak berlangsung lama.Sebagai buntut dari perang 1973 dan negosiasi panjang dan rumit dengan Mesir, Israel menarik diri dari Sinai dan kehilangan kontrol dari ladang minyak. Rezim Pahlevi di Iranmenjadi pemasok minyak utama ke Israel pada pertengahan 1970-an. Peran Iran ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1979 Ayatollah Khomeini memimpin revolusi di Iran dan menggulingkan Shah. Ekspor minyak Iran ke Israel terhenti.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah Israel melakukan analisis geologi komprehensif di seluruh negeri. Studi dilakukan untuk mengeksplorasi secara rinci data dan peta dari semua eksplorasi minyak bumi sebelumnya. Pertengahan 1990-an beberapa penemuan minyak sederhana telah dibuat sekitar Laut Mati dan lepas pantai Laut Mediterania. Singkatnya, beberapa karakteristik dari sektor minyak Israel dapat diidentifikasi.
Pertama, selama beberapa dekade upaya untuk menemukan ladang minyak pada tingkat komersial belum berhasil. Israel tetap sangat tergantung pada pasokan minyak asing.
Kedua, Israel memiliki cadangan minyak serpih dalam jumlah besar. Sumber non-konvensional ini adalah minyak bumi dalam batuan sedimen, yang mengandung bahan organik yang dapat diekstraksi. Cadangan minyak serpih diabaikan diseluruh dunia karena sangat sulit untuk memisahkan bahan bakar minyak dari batu. Mengingat kurangnya deposit minyak adat dan kerentanan negara gangguan pasokan minyak, Israel sedang mencoba untuk memanfaatkan sumber daya minyak serpih. Namun, pengolahan minyak serpih adalah proses yang memerlukan intensitas air. Israel sendiri masih menghadapi masalah kelangkaan air, sehingga upaya ini juga mengalami hambatan.
Ketiga, Israel memiliki dua kilang besar, salah satu yang terletak di Haifa dan yang lainnya di Ashdod. Selama beberapa dekade kilang ini dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan meningkatkan persaingan, sejak pertengahan 2000-an kedua kilang telah dijual ke pihak swasta.
Keempat, pemerintah Israel terus memainkan peran yang dominan dalam kepemilikan, operasi, dan regulasi sektor energi. Sejak awal 1990-an langkah-langkah untuk memprivatisasi sektor telah diperkenalkan dan perusahaan asing telah diundang untuk menggali dan mengembangkan deposit di Israel, khususnya gas bumi. Sejak pertengahan 1990-an para pejabat Israel telah menunjukkan minat yang besar dalam pengembangan eksplorasi gas alam. Menurut Kementerian Infrastruktur Nasional, Israel secara aktif berusaha untuk mendiversifikasi sumber energi dengan pengenalan gas alam sebagai engeri primer, ramah lingkungan, dan bahan bakar lebih murah dibandingkan energi lainnya.Sejalan dengan strategi ini, pada tahun 2007 Menteri Infrastruktur Nasional Benjamin Ben-Eliezer menegaskan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan pembangunan terminal gas alam cair pertama di negaranya.
Pencarian untuk deposit gas alam dimulai pada tahun 1950-an. Pada tahun 1958 ditemukan ladang gas alam di Zohar, Kidod (1960) dan Kanna’im (1961). Tiga ladang ini memiliki cadangan gas alam yang sederhana/ tidak terlalu bagus. Terbosan lainnya dilakukan pada akhir 1990-an dan 2000-an ketika volume yang signifikan dari gas alam ditemukan lepas pantai, yaitu Mari dan Noa dengan cadangan gabungan hampir 1,5 triliun kaki kubik (tcf). Cadangan ini telah dikembangkan oleh dua entitas: kelompok Yam Tetis, konsorsium Israel- AS, dan British Gas (BG) dalam kemitraan dengan perusahaan-perusahaan internasional lainnya. Otoritas Gas Alam didirikan pada tahun 2002, sebagai badan pengawas industri.
Gas alam substansial ditemukan di lepas pantai Gaza. November 1999 BG menandatandi gani perjanjian dengan almarhum Yasser Arafat, yang mengamankan lisensi eksplorasi pertama di Palestina. Tak lama setelah penandatanganan perjanjian, BG mengumumkan penemuan gas besar, di Marine-1, di wilayah perairan Palestina (sekitar 15 mil lepas pantai Gaza). Cadangan di lepas pantai Gaza itu diyakini cukup untuk memenuhi kebutuhan Palestina dan kelebihannya bisa diekspor. Sejak saat itu, Israel dan pejabat Palestina menegosiasikan penawaran gas alam. Kurangnya politik kepercayaan, bagaimanapun, telah membuat negosiasi tersebut menjadi rumit.
Dari pemaparan singkat ini bisa disimpulkan bahwa ilmuwan Israel telah mencapai kemajuan signifikan dalam diversifikasi energi dari bahan bahan bakar fosil menjadi sumber energi terbarukan. Namun sebagaimana negara-negara lainnya, minyak dan gas alam akan terus mendominasi sektor energi di masa depan. Kedua, meskipun penemuan gas baru yang signifikan, Israel tetap kekurangan sumber energi pribumi, dan akan tetap tergantung pada asing.
Laut Kaspia
Dalam dua dekade terakhir, produsen Kaspia (Azerbaijan dan Kazakhstan) telah muncul sebagai mitra energi utama Israel. Disintegrasi Uni Soviet di awal 1990-an melahirkan beberapa negara Azerbaijan dan Kazakhstan. Israel adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan keduanya dan membangun hubungan diplomatik dengan mereka. Dua bekas republik Soviet ini berpenduduk mayoritas Muslim tetapi telah mengadopsi sistem sekuler. Selain Turki, Azerbaijan dan Kazakhstan adalah negara non-Arab Muslim yang memiliki kerjasama yang erat dan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi. Kerjasama ini didasarkan pada kepentingan ekonomi strategis dan obligasi budaya.
Pertama, ada komunitas Yahudi yang besar baik di Azerbaijan dan Kazakhstan, dan sejumlah orang Yahudi Soviet yang berimigrasi ke Israel berasal dari dua negara Kaspia tersebut. Yahudi di Azerbaijan dan Kazakhstan menikmati kebebasan beragama, dan negara tersebut juga menjadi tempat yang aman bagi orang-orang Yahudi lainnya selama Perang Dunia II.
Kedua, tak lama setelah disintegrasi Uni Soviet, Azerbaijan dan Kazakhstan ingin mengkonsolidasikan kemandirian ekonomi dan politik mereka dari pengaruh Moskow. Pengalaman Israel di bidang pertanian, pengelolaan sumber daya air, pelatihan medis dan industri hi-tech tampak menarik. Selain itu, hubungan dekat dengan Israel dipandang sebagai pembuka mendekatkan kerjasama dengan Eropa dan Amerika Serikat.
Ketiga, pertimbangan keamanan telah memainkan peran utama dalam hubungan antara kedua belah pihak. Perusahaan Israel telah menyediakan senjata yang signifikan, sistem dan amunisi ke Azerbaijan dan Kazakhstan, yang tertarik untuk membangun dan memodernisasi angkatan bersenjata mereka. Namun, Israel juga khawatir tentang senjata nuklir yang diwarisi Kazakhstan dari Soviet. Akhirnya, Israel memihak Kazakhstan dalam sengketa dengan Armenia atas Nagorno-Karabakh di awal 1990-an.
Keempat, baik Kazakhstan dan Azerbaijan terletak di “halaman belakang” Iran. Meskipun secara kultur Ada kedekatan antara Teheran dan Baku, namun Azerbaijan memilih untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan Israel berbeda dengan Iran yang selalu membenci Israel.
Pertimbangan strategis semakin diperkuat oleh kebutuhan Israel untuk mengimpor minyak dan gas alam dan hidrokarbon Azerbaijan dan Kazakhstan. Sejak kemerdekaan, Azerbaijan telah mengambil lebih posisi pro-Barat. Dari tahun 1997 hingga 2007, produksi minyak Baku ini meningkat lebih dari empat kali lipat. Sebagian besar minyak ini berasal dari struktur Azeri-ChiragGuneshli, dikembangkan oleh Azerbaijan International Operating Company. Sebagian besar minyak Azeri diekspor melalui dua pipa utama: Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) pipa berjalan dari ibukota Azeri melalui Georgia ke pelabuhan Turki di
Mediterania; pipa Baku-Novorossiysk mengalir menuju pelabuhan Rusia pada Laut Hitam.
Azerbaijan juga sukses mengembangkan dengan gas alam. Negara ini memproduksi dua kali lipat gas alam dari tahun 1997 hingga 2007. Sebagian besar gas ini berasal dari tiga ladang gas alam di Azeri-Chirag-Guneshli, Bakhar dan Shah Deniz. Pada tahun 2007, Azerbaijan telah menjadi eksportir gas alam ke Turki, dan jumlah kecil ke Georgia dan Iran. Pipa gas Kaukasus Selatan, yang dikenal juga sebagai Baku-Tbilisi-Erzurum, mengalir sejajar dengan pipa BTC sebelum mencapai Turki.
Mengingat ukuran dan cadangan hidrokarbon yang besar, Kazakhstan memiliki potensi untuk menjadi eksportir energi utama di masa mendatang. Produksi minyak dan gas Kazakhstan telah tumbuh lebih dari tiga kali lipat selama dekade terakhir. Minyak di negara Kazakhstan berasal dari ladang di Tengiz dan Karachanganak. Pada da tahun 2000, ditemukan ladang minyak terbesar di luar Timur Tengah di Kashagan, yang dijadwalkan akan mulai beroperasi pada 2013. Namun, rintangan geologi dan lingkungan mungkin menunda proses produksi. Kazakhstan mengekspor sebagian besar minyaknya melalui tiga pipa utama: pipa Atyrau -Samara, saluran ke utara yang terhubung dengan distribusi Rusia; pipa Consortium Kaspia menghubungkan ladang minyak Kazakhstan di Laut Kaspia dengan pelabuhan Novorossiysk, Rusia di Laut Hitam; dan pipa Kazakhstan -Cina dari ladang minyak di Atasu yang menuju daerah Alashankou, Xinjiang, Tiongkok.
Israel mengimpor pasokan hidrokarbon dari negara pesisir Kaspia dalam jumlah 2 kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Para pejabat Israel menyarankan bahwa negara pesisir Kaspia (dan Rusia) yang menyalurkan minyak mentah dari pelabuhan Novorossiysk di Laut Hitam dapat dibongkar di pelabuhan Israel, Ashkelon, di Laut Mediterania. Setelah itu, minyak akan dikirim ke pelabuhan Eilat, pelabuhan Israel di Laut Merah untuk dimuat ulang ke kapal tanker dan dikirimkan ke Asia. Dinamika geopolitik mungkin memainkan peran yang yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan energi Israel. Bagaimanapun juga, Israel terus dan harus mengimpor minyak dan gas alam dari sumber lain.
Timur Tengah
Timur Tengah memiliki cadangan minyak dan gas terkaya di dunia, memiliki infrastruktur yang maju, dan menjadi eksportir teratas. Namun konflik panjang antara Arab-Israel telah menghalangi adanya kerjasama energi antara Israel dan negara-negara tetangganya. Mesir, adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1979. Pada 2009 Mesir tercatat memiliki cadangan minyak sebesar 3,7 miliar dan 5,58 bcf cadangan gas. Karena populasinya yang besar, hanya sedikit energi yang tersedia untuk ekspor. Untuk itulah, Kairo berusaha untuk menarik investasi asing. Perusahaan Minyak Internasional (IOC) seperti Ente Nazionale Idrocarburi (Eni), British Petroleum (BP), Dana Gas and Burren Energy memainkan peran penting dalam sektor hulu Mesir.
Produksi minyak Mesir berasal dari empat bidang utama: Teluk Suez, Gurun Barat, Gurun Timur, dan Semenanjung Sinai. Pada tahun 1976, Mesir menjadi eksportir minyak mentah untuk pertama kalinya. Namun, sebagian besar ladang minyak telah habis, dan pemerintah Mesir memusatkan perhatian pada kegiatan eksplorasi dan pengembangan gas alam.
Sejak awal 2000-an pemerintah Mesir telah mengadopsi pendekatan yang agresif mencari pasar ekspor. Dalam hal ini, Kairo dan Israel telah terlibat dalam negosiasi yang intens untuk mengekspor gas alam. Beberapa pertimbangan komersial dan strategis telah membentuk kecepatan dan hasil negosiasi Israel- Mesir. Pertama, kenaikan deposit gas alam telah mendorong produsen Israel untuk melobi pemasok asing, terutama orang-orang Arab. Kedua, dalam rangka untuk menghindari menipisnya sumber daya gas alam di Israel, maka permintaan gas harus dipenuhi oleh pasokan asing. Israel memutuskan bahwa mengimpor gas dari Mesir akan lebih baik dibandingkan dengan mengimpor dari Otoritas Palestin. Alasannya, bisa saja pendapatan dari ekspor gas alam akan digunakan untuk mendanai serangan teroris. Ketiga, keterkaitan konflik kekerasan antara Palestina-Israel dan laju perdamaian. Proses ini sangat mempengaruhi hasil negosiasi gas alam antara Kairo dan Tel Aviv. Secara umum, kenaikan kekerasan politik membuat negosiasi menjadi rumit dalam proses perdamaian yang telah difasilitasi. Keempat, beberapa pihak Israel berpendapat bahwa mendirikan saling ketergantungan energi antara Kairo dan Yerusalem akan membantu mengukuhkan ‘perdamaian yang rapuh’ antara kedua negara. Dengan kata lain, dengan menghasilkan tambahan pendapatan bagi Mesir, ekspor gas alam ke Israel, mungkin akan berperan dalam stabilitas hubungan Israel-Mesir.
Dengan berbagai latar belakang ini, pada tahun 2005 Mesir dan Israel menandatangani perjanjian 15-tahun yang menyatakan bahwa Mesir akan memasok 60 miliar kaki kubik gas alam tiap tahun ke Israel melalui pipa bawah laut dari El-Arish, Mesir, menuju pantai selatan Israel, Ashkelon, yang akan dimulai pada 2008. Menteri Infrastruktur Nasional Israel Benjamin Ben-Eliezer menyebut perjanjian ini sebagai perjanjian bersejarah dan pemerintah Mesir mengatakan bahwa kesepakatan ini sebagai bagian dari strategi untuk diversifikasi pasar dan meningkatkan ekspor gas. Keberhasilan negosiasi Israel-Mesir adalah pengecualian. Dalam sejarah panjang, upaya untuk menjalin kerjasama energi antara negara Yahudi dan tetangganya rata-rata tidak berakhir sesuai harapan.
Kesepakatan yang berumur pendek adalah kerjasama dengan Iran. Di bawah Pahlevi, kerjasama energi merupakan area yang sangat penting bagi kedua negara. Setelah negara Yahudi resmi berdiri pada 1948, pengiriman minyak dari Iran dimulai. Perang Arab-Israel 1967 telah menutup Terusan Suez dan membuat kerjasama energi iran-Israel semakin meluas. Iran dan Israel mendirikan Trans-Asiatic Oil Company bersama dengan untuk menyalurkan minyak Iran ke Eropa melalui Israel. Pada tahun 1968 Trans-Asiatic Oil Company memasang pipa ke Be’er Sheva yang dikenal sebagai Pipeline Trans-Israel, atau Tipline, dari Eilat ke pelabuhan Ashkelon. Terminal bongkar muat minyak dibangun, dan pipa ini menjadi sebagai rute utama untuk minyak Iran ke Eropa dan Israel. The Eilat-Ashkelon Pipeline Company (EAPC), anak perusahaan dari Trans-Asiatic diciptakan untuk mengoperasikan pipa dan terminal. Skema menguntungkan ini runtuh pada tahun 1979, bersamaan dengan jatuhnya Pahlevi. Ayatollah Khomeini menghentikan kerjasama dengan Israel.
Kesimpulan
Pemetaan energi Israel memberikan kasus yang menarik. Pertimbangan geopolitik ternyata berada di atas kepentingan komersial. Melihat peta geologi, kemitraan dengan Israel yang haus energi dan terletak di tengah-tengah daerah, harusnya menguntungkan semua pihak. Selanjutnya potensi pemanfaatan solar yang akan membantu seluruh masyarakat di kawasan itu secara finansial ataupun jika ditinjau dari faktor lingkungan hidup (mengingat Israel mampu mengolah gas alam yang ramah lingkungan). Namun permusuhan politik antara Israel dan tetangganya telah mencegah adanya kerjasama energi yang strategis. Negara-negara Arab dan Iran mengekspor minyak mereka jauh-jauh. Sementara Israel harus memenuhi kebutuhan hidrokarbon, dan mengimpornya dari daerah yang juga jauh. Namun bagaimanapun juga, negara pesisir Kaspia tidak bisa menggantikan Timur Tengah.
Pada tahun 2002, negara-negara Arab, yang dipimpin oleh Arab Saudi, mengusulkan Peace Initiative Arab (PIA), yang menyerukan normalisasi hubungan dengan Israel, penarikan penuh pasukan Israel dari tanah Arab, mendirikan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukota, juga mencari solusi untuk pengungsi Palestina. Pemerintahan Obama, Uni Eropa, dan kekuatan dunia lainnya telah mendukung rencana tersebut. Kebanyakan pemimpin Israel melihat PIA sebagai kerangka kerja untuk negosiasi tanpa menerima seluruh usulan.
Kerjasama energi dapat berfungsi sebagai ukuran membangun kepercayaan. Kerjasama tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak dan akan mempromosikan ketergantungan ekonomi dan strategis. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa kerjasama energi memainkan peran penting dalam mengatasi permusuhan di Eropa pasca Perang Dunia II. Namun pemimpin di Timur Tengah sepertinya belum menampilkan kebijakan strategis yang sama.
[1] Gawdat Bahgat is a Professor at the Near East South Asia Center for Strategic Studies,National Defense University, Washington, DC.
Catatan:
1. “Worldwide Look at Reserves and Production,”Oil and Gas Journal106, no. 48
(2008): 22.
2. Ministry of Environment, Israel’s Experience in Sustainable Energy, January 2006,
http://www.unep.org/GC/GCSS-ix/Documents/Israel-energy3.pdf (accessed June
24, 2007).
3. Energy Information Administration, Country Analysis Brief: Israel, April 2004,
http://www.eia.doe.gov/cabs/israel.html (accessed April 8, 2004).
4. S. Pierce, “Pace Speeds up in Exploration for Triassic Targets in Israel,”Oil and Gas
Journal102, no. 25 (July 2004): 41.
5. Zion Oil, Exploration History, http://www.zionoil.com/industry/exploration.html
(accessed June 23, 2007).
6. E.R. Rosen, “The Effect of the Relinquished Sinai Resources on Israel’s Energy
Situation and Policies,”Middle East Review14, no. 3 – 4 (Spring– Summer 1982): 7.
7. F. Kessler, “Planning Ahead: Anticipating Iranian Oil Cutoff, Israel Quietly Made
Deals for Supplies from other Sources,”Wall Street Journal, February 9, 1979.
8. Energy Information Administration, Country Analysis Briefs: Eastern Mediterranean, file://v:nPRJ/NewCABs/V6East_Med/Full.html (accessed October 4, 2006).
9. D. Coxon and A. Greenfield,Israel’s Energy: The Search for Alternate Energy
Resources in a Small Country(Jerusalem: Israel Science Publishers, 1985), 62.
10. In July 2006 the Ashdod refinery was sold to Israel’s largest fuel retailer, Paz Oil
Company. Shares in the Haifa refinery were sold on the Tel Aviv Stock Exchange in
the same year.
11. Ministry of National Infrastructures, Natural Gas, http://www.mni.gov.il/mni/en-US/
Energy/NaturalGas (accessed June 24, 2007).
12. “Israel Eyes Liquefied Natural Gas Tender to Diversify Energy Supply,”Ha’aretz,
May 6, 2007.
13. “Noble Says Tamar and Dalit Could Supply Two Decades of Projected Gas Needs,”
Zawya, http://www.zawya.com/printstory.cfm?storyid¼v52n28-3NC10&1¼
131800090713 (accessed July 13, 2009).
14. Rosen, “The Effect of the Relinquished Sinai Resources on Israel’s Energy Situation
and Politics,” 5.
15. Energy Information Administration, Country Analysis Briefs: Israel.
16. S. Even, “Israeli Natural Gas: The Economic and Strategic Significance,”Strategic
Assessment4, no. 3 (November 2001), http://www.tau.ac.il.jcss/sa/v4n3p5Eve.html
(accessed November 28, 2001).
17. “Gas and the Prospects for Middle East Peace,”Energy Economistno. 226 (August
2000): 4.
18. Sharon Wrobel, “Huge Gas Reserves Discovered Off Haifa,” Jerusalem Post,
January 18, 2009.
19. Avi Bar-Eli, “Israel’s Largest-ever Reserve of Natural Gas Discovered off Haifa
Coast,”Ha’aretz, January 18, 2009.
20. Energy Information Administration, Country Analysis Briefs: Azerbaijan, http://
www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Azerbaijan/Full.html (accessed May 6, 2009).
21. Energy Information Administration, Country Analysis Briefs: Kazakhstan, http://
www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Kazakhstan/Full.html (accessed May 6, 2009).
22. Bassam Fattouh,North African Oil and Foreign Investment in Changing Market
Conditions(London: Oxford Institute for Energy Studies, 2008), 12.
23. E. Groner, “Israel Freezes Gas Talks with Egypt,”Jerusalem Post, March 2, 2000.
24. A. Cohen, “PM Decides Israel Will Purchase Natural Gas from Egypt, Not PA,”
Ha’aretz, August 18, 2003.
25. S. Feldman, “Another Viewpoint,”Strategic Assessment4, no. 3 (November 2001),
file://c:nwindowsnTEMPntriJFAIJ.htm (accessed November 28, 2001).
26. “Egypt and Israel Sign 15-year Natural Gas Deal,”International Herald Tribune,
July 1, 2005.
27. Y. Melman, “How Israel Lost to the Iranians,”Washington Post, December 6, 2006.
28. More information is available on the company website at http://www.eapc.co.il.