Pengakuan Baru dari Seorang Bandit Ekonomi

 

perkinsPengantar:

John Perkins adalah seorang yang berprofesi sebagai ‘Economic Hit Man’ [bandit ekonomi]. Dalam bukunya tahun 2004 berjudul “Confessions of an Economic Hit Man” Perkins bercerita bahwa dia tahun 1970-an ditugaskan ke Indonesia untuk menyusun data-data (yang direkayasa) rancangan proyek pembangunan listrik di Indonesia, memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia berapa banyak hutang yang meski diambil, dan memberikan angan-angan kosong kepada pemerintah bahwa proyek berbasis hutang ini sangat menguntungkan dan akan memakmurkan rakyat.

Perkins dan timnya memiliki misi, “Keberadaan kita di sini tak lain untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman komunisme. Kita tahu negara kita [Amerika Serikat] sangat tergantung pada minyak. Indonesia bisa menjadi sekutu yang andal dalam hal ini. Jadi sembari mengembangkan rencana pokok, lakukan apa saja semampu kalian untuk memastikan industri minyak dan segala industri lain pendukungnya tetap memperoleh aliran listrik sebanyak yang dibutuhkan selama rencana 25 yahun ke depan.” (hlm 7, edisi terjemahan.)

Jadi, ini bukan tentang ‘pembangunan listrik demi rakyat’, melainkan demi industri minyak. Hutang untuk proyek-proyek ‘pembangunan’ itu antara lain diberikan oleh Bank Dunia, dan inilah salah satu bukti peran Bank Dunia dalam kemunduran ekonomi Indonesia.

Berikut ini terjemahan artikel yang ditulis Perkins pada 21 Agustus 2016, dengan judul “The New Confessions of an Economic Hit Man” . Di dalamnya ia menawarkan saran solusi atas kekacauan ekonomi yang telah terjadi akibat ulah economic hit men.

=====

Pengakuan Baru dari Seorang Bandit Ekonomi [The New Confessions of an Economic Hit Man]

Oleh: John Perkins

Kesuksesan saya sebagai ekonom utama di firma konsultan internasional besar bukan karena pelajaran yang saya dapatkan di sekolah bisnis. Bukan karena kompetennya staf saya, para ahli ekonometrik dan finansial.

Semua ilmu itu terkadang sangat membantu, tapi ada hal lain yang membawa saya kepada kesuksesan. Hal yang sama yang membawa George Washington, Henry Ford, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Martin Luther King Jr, Steve Jobs, dan orang-orang sukses lainnya kepada kesuksesan mereka.

Hal lain itu bisa didapatkan oleh semua orang.

Hal itu adalah kemampuan untuk mengubah kenyataan obyektif dengan mengubah kenyataan perseptif, apa yang bisa kita sebut sebagai Jembatan Persepsi.

diagram perkins
Seperti yang saya jabarkan di buku saya The New Confession of an Economic Hit Man, tugas saya adalah meyakinkan pada pemimpin negara-negara yang memiliki sumber daya yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan kami, seperti minyak, untuk menerima pinjaman dalam jumlah besar dari Bank Dunia dan organisasi sayapnya. Syaratnya adalah uang pinjaman itu akan digunakan untuk menyewa perusahaan teknik dan konstruksi kami, seperti Bechtel, Halliburton, dan Stone and Bewster, untuk membangun sistem pembangkit listrik, pelabuhan, bandara, jalan tol dan proyek-proyek infrastruktur lainnya yang akan membawa keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan tersebut dan juga menguntungkan beberapa keluarga kaya di negara tersebut; keluarga yang memiliki perusahaan industrial dan komersial.

Semua orang lainnya di negara tersebut akan menderita karena dana untuk pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya akan digunakan untuk membayar bunga pinjaman. Pada akhirnya, ketika negara tersebut tidak mampu melakukan buy down (menurunkan suku bunga pinjaman pada beberapa tahun awal masa pinjaman) pokok [pinjaman], kami akan kembali dan, dengan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), “merestruktur” pinjaman. Juga, meminta negara tersebut menjual murah sumber dayanya kepada perusahaan kami dengan regulasi lingkungan dan sosial minimal dan memprivatisasi perusahaan utilitas dan layanan publik lainnya dan menawarkannya kepada perusahaan kami dengan potongan harga.

Tindakan tersebut merupakan strategi menggunakan realitas perseptif untuk mengubah kenyataan obyektif. Dalam kasus ini, Kenyataan Obyektif 1 adalah negara tersebut memiliki sumber daya. Kenyataan Perseptifnya adalah menggunakan sumber daya sebagai jaminan pinjaman untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi semua rakyatnya. Namun Kenyataan Obyektif 2 adalah pertumbuhan ekonomi terjadi hanya di kalangan superkaya. Karena statistik ekonomi (Produk Domestik Bruto, PDB) di negara-negara seperti itu cenderung menguntungkan masyarakat kaya, kenyataannya hanya perusahaan kami dan keluarga-keluarga kaya yang diuntungkan. Populasi sisanya dirugikan. Dalam banyak kasus hal ini mengarah kepada kekacauan politik, kebencian, dan timbulnya berbagai bentuk radikalisme dan terorisme.

“Kenyataan hanyalah sebuah ilusi.”

-Albert Einstein

Kita tahu dari fisika kuantum dan teori kekacauan bahwa kesadaran, pengamatan, dan perubahan dalam persepsi memiliki dampak pada kenyataan fisik yang dapat meluas secara berlipat ganda. Psikologi modern mengajarkan bahwa kenyataan perseptif mengatur banyak perilaku manusia. Agama, kebudayaan, sistem hukum dan ekonomi, perusahaan – pada kenyataannya, sebagian besar aktivitas manusia – ditentukan oleh kenyataan perseptif. Ketika cukup orang menerima persepsi ini atau ketika mereka dikodifikasikan ke dalam hukum, mereka memiliki dampak yang sangat besar terhadap kenyataan obyektif.

Aktivitas manusia – individual, komunal, dan global – didorong oleh proses perubahan persepsi kenyataan manusia ini dalam rangka untuk mengubah kenyataan obyektif. Dua kasus dari perusahaan AS mengilustrasikan hal ini.

Kasus #1: Perusahaan Ford Motor

Pada tahun 1914 Kenyataan Obyektif Ford Motor adalah: (a) Perusahaannya menjual mobil Model T yang diproduksi melalui proses jalur perakitan oleh pekerja yang dibayar dengan upah minimum standar; dan (b) Karena jalur perakitan monoton dan pekerja berada dalam tekanan berat untuk mengurangi lama waktu untuk membangun mobil dari 12,5 jam menjadi kurang dari 100 menit, angka pergantian pekerja Ford menjadi sangat tinggi.

Maka Ford mempersepsikan kenyataan baru. Dia menaikkan upah dari standar $2,34 untuk sembilan jam kerja per hari menjadi $5 untuk delapan jam – pada masa di mana pabrikan mobil lainnya berusaha untuk menurunkan upah. Sebagai tambahan dalam usahanya untuk mempertahankan pekerja dalam jalur perakitannya, Ford termotivasi oleh persepsi kedua. Dia paham kalau perusahaannya, pekerjanya, dan masyarakat pembeli semua berasal dari populasi yang sama dan dia berpendapat bahwa “kecuali sebuah industri dapat mengatur dirinya sendiri untuk menjaga upah tinggi dan harga rendah, perusahaan tersebut akan menghancurkan dirinya sendiri, karena akan membatasi jumlah pelanggannya sendiri. Para pekerja seharusnya menjadi pelanggan terbaik.” Ford mempersepsikan bahwa meningkatkan daya beli para pekerjanya akan menghasilkan efek ganda; daya beli masyarakat lain juga akan meningkat.

Kenyataan Obyektif 2: Ford menjual 308.000 Model T pada tahun 1914 – lebih banyak dibanding jumlah gabungan semua produsen mobil. Pada tahun 1915, penjualan melonjak sampai 501.000. Pada tahun 1920, Ford menjual satu juta mobil. Dalam perjalanannya, tindakan Ford membantu menstimulasi pertumbuhan di kelas menengah AS yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kasus #2: Nike, Adidas, dan Pengecer lainnya

Kenyataan Obyektif 1: Perusahaan-perusahaan ini merancang sepatu dan pakaian mutakhir yang diproduksi di pabrik-pabrik yang tidak dimiliki perusahaan tersebut di Cina, Vietnam, dan negara-negara “miskin” lainnya.

Kenyataan Perseptif manajemen perusahaan-perusahaan ini: (a) Produksi dengan sumber luar (outsource) membuat perusahaan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hak-hak pekerja dan meminimalkan upah; (b) Menyewa atlet dengan bayaran tinggi untuk mempromosikan produk-produk mereka menyeimbangkan publisitas negatif yang diserukan oleh aktivis yang meminta supaya para pekerja dari negara miskin dibayar lebih banyak; dan (c) Kebijakan-kebijakan ini, yang bertolak belakang dengan kebijakan Henry Ford, akan memaksimalkan keuntungan.

Kenyataan Obyektif 2: (a) Upah rendah yang tidak cukup untuk bertahan hidup dan kondisi kerja yang buruk di pabrik-pabrik luar menyebabkan angka pergantian pekerja yang tinggi, kesakitan, dan publisitas buruk; (b) Dengan memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi konsumen, kebijakan semacam itu menghancurkan kesempatan bagi pasar baru yang dapat muncul bila para pekerja dibayar cukup untuk membeli produk yang mereka buat dan pada saat yang sama menstimulasi efek ganda; dan (c) Keuntungan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi keseluruhan di negara-negara di mana pabrik-pabrik tersebut berlokasi tidak dimaksimalkan.

Saya berkesempatan untuk menyoroti perbedaan antara kedua kasus di atas ketika stasiun radio Portland Oregon (kantor pusat Nike) mewawancarai saya. Pembawa acara menanyakan “Kalau Anda dapat bertanya kepada pendiri Nike, Phil Knight, satu pertanyaan, apa yang akan Anda tanyakan?”

Saya tidak berpikir panjang. “Hai Phil, kenapa Anda tidak mengikuti nasehat Henry Ford?” Saya melanjutkan, “Bayangkan kalau sebagai bagian dari kampanye iklan internasional para atlet tersebut mengatakan sesuatu seperti, ‘Ketimbang $X juta, saya dan teman-teman saya lainnya – seleb Nike lainnya – sepakat supaya Nike memotong bayaran kami sebesar Y%. Manajer top Nike telah setuju dipotong sejumlah yang setara. Uang ekstra tersebut akan digunakan untuk menaikkan upah para pekerja yang membuat produk-produk Nike di seluruh dunia. Kami percaya dengan Just Doing It (melakukan hal tersebut) kita akan membuat dunia menjadi lebih baik, lebih damai.’” Saya berhenti sejenak.

“Ide yang sangat bagus,” ujar pembawa acara.

Saya tidak dapat menahan diri untuk tidak menambahkan, “Menurutmu apa yang terjadi pada penjualan Nike? Bagaimana hal itu akan berdampak pada industri lainnya?”

“Semuanya hanya di pikiranmu saja.”

-George Harrison

 

Di atas adalah dua contoh bagaimana Jembatan Persepsi berfungsi. Masih banyak contoh lain. Mulai dari perseorangan sampai perusahaan dan pemerintahan. Aktivitas manusia ditentukan oleh bagaimana persepsi memengaruhi kenyataan fisik – baik secara sadar mau pun tidak. Berikut adalah sebuah contoh kenyataan perseptif pada tahun 1950-an memberi dampak global kepada seluruh generasi di seluruh dunia.

Kasus #3: Kebijakan Pemerintahan AS di Iran

Kenyataan Obyektif 1: (a) Mohammad Mosaddegh merupakan Perdana Menteri Iran yang dipilih secara demokratis pada tahun 1951; (b) Dia memperkenalkan reformasi progresif termasuk keamanan sosial, kontrol penyewaan, dan reformasi tanah; (c) Dia memaksa perusahaan minyak asing memberikan sebagian pendapatan mereka dari minyak Iran kepada masyarakat Iran dalam jumlah wajar dan ketika salah satunya -sekarang dikenal sebagai BP/British Petroleum- menolak, dia berencana untuk menasionalisasi perusahaan tersebut.

Kenyataan Persepsi: Pemerintahan AS melabeli Mosaddegh sebagai Komunis, boneka Soviet, dan ancaman bagi demokrasi.

Kenyataan Obyektif 2: (a) CIA melengserkan Mosaddegh pada tahun 1953 dan menggantinya dengan seorang Syah, diktator pro-Barat brutal yang “melelang” Iran ke perusahaan minyak asing dan lain-lain; (b) Ketidakpuasan yang meluas menyebabkan Revolusi Iran pada tahun 1979; (c) Syah tersebut digulingkan, Ayatollah Khomeini mengambil alih kendali, 52 diplomat dan orang AS disandera selama 444 hari, AS dan negara-negara Eropa memutuskan hubungan dengan Iran dan menjatuhkan sanksi; (d) Militerisme Islamis meluas dengan cepat dalam beberapa dekade di seluruh Timur Tengah; dan (e) Seluruh kawasan terpecah belah oleh perang dan ketidakstabilan politik; hal ini memengaruhi hubungan antara negara-negara yang letaknya jauh dari Timur Tengah, termasuk AS, Cina, Rusia, sebagian besar Afrika dan Eropa.

Kita hanya bisa membayangkan betapa berbedanya situasi di Iran, Timur Tengah, AS, dan sebagian besar dunia jikalau kenyataan perseptif juga berbeda – seperti ini misalnya:

Kenyataan Perseptif: Pemerintahan AS mendukung kebijakan Mossadegh dan mengumumkan kalau mereka akan membeli minyak hanya dari perusahaan-perusahaan yang memberikan sebagian pendapatan mereka dalam jumlah wajar kepada masyarakat negara di mana mereka menambang minyak.

Tindakan AS melengserkan Mossadegh menyebabkan serangkaian peristiwa tragis yang dapat dianggap sebagai “hasil yang tidak diinginkan”  [dalam perspektif Barat –red]. Dalam pengalaman saya, hasil seperti ini terjadi karena orang-orang yang membuat keputusan tidak memahami penuh kekuatan Jembatan Persepsi.

Sebagai penasehat bagi perusahaan, pemerintahan, eksekutif dan sebagai pengajar di program MBA dan program-program lainnya saya menemukan bahwa memperhatikan dengan baik dan seksama dampak dari kenyataan perseptif terhadap kenyataan obyektif merupakan salah satu proses yang paling efisien yang bisa dilakukan oleh seseorang, perusahaan, dan institusi lainnya dalam rangka mencapai tujuan asli mereka. Saya terkejut melihat betapa banyaknya kenyataan perseptif dalam dunia bisnis telah berubah sejak saya sekolah pada akhir 1960-an.

Saya diajarkan kalau seorang CEO yang baik menghasilkan keuntungan yang baik bagi para investornya dan juga meyakinkan kalau perusahaannya berbuat baik, dalam hal ini melayani kepentingan publik. Kami diisntruksikan untuk mengurus para pekerja kami, memberikan mereka asuransi kesehatan dan dana pensiun, untuk memperlakukan para pemasok dan pelanggan kami dengan rasa hormat, dan untuk menghargai pemikiran bahwa bisnis yang bagus adalah menang-menang bagi semua pemangku kepentingan. Dalam banyak kasus, CEO meyakinkan kalau perusahaan mereka tidak hanya membayar pajak dengan benar tapi juga menyumbang uang untuk sekolah-sekolah lokal, fasilitas rekreasi dan layanan sejenis lainnya.

Semuanya berubah pada tahun 1976 ketika Milton Friedman menang Hadiah Nobel bidang Ekonomi dan mengatakan, di antaranya, bahwa satu-satunya kewajiban bisnis adalah memaksimalkan keuntungan, apa pun yang terjadi secara sosial dan pada lingkungan. Pernyataan ini adalah kenyataan perseptif yang menjadi tujuan utama bisnis. Membuat para eksekutif perusahaan percaya kalau mereka penya hak – beberapa bahkan menganggap sebagai mandat – untuk melakukan apa pun yang mereka pikir dapat menghasilkan keuntungan maksimal, termasuk menyuap penjabat publik dengan cara membiayai kampanye mereka, merusak lingkungan, dan menghancurkan sumber daya yang menjadi tumpuan perusahaan mereka.

Kenyataan perseptif itu menyebabkan kegagalan sistem ekonomi global, yang akan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam – apa yang disebut-sebut oleh beberapa ekonom sebagai Kapitalisme Predator.

Kini saatnya kita memutar balik semuanya. Bagaimana kalau:

Kenyataan Obyektif 1: Gletser mencair, permukaan laut naik, kurang dari 5% populasi dunia tinggal di AS dan kita mengonsumsi 30% sumber daya sementara setengah dari populasi dunia berada dalam kemiskinan, dan basis sumber daya yang memasok ekonomi menurun dengan cepat.

Kenyataan Perseptif: (a) Ketika Milton Friedman mendukung memaksimalkan keuntungan pada tahun 1976, modal finansial dianggap langka sementara alam dianggap berlimpah; kemampuan planet ini untuk menyerap polusi dan menyediakan sumber daya alam dianggap tidak terbatas; yang sekarang ternyata sudah berubah; (b) Kita bisa membangun ekonomi yang memberi imbalan bagi perusahaan yang membersihkan polusi, meregenerasi lingkungan yang hancur, dan mengembangkan teknologi baru untuk energi, transportasi, komunikasi, perdagangan, dan lain sebagainya – yang mendaur ulang ketimbang menghabiskan planet ini; dan (c) Tanggung jawab dari suatu perusahaan adalah untuk melayani kepentingan publik sambil menghasilkan keuntungan yang cukup bagi para investor yang mengembangkan [sistem] ekonomi yang dijabarkan pada poin (b) di atas.

Kenyataan Obyektif 2: Sebuah sistem ekonomi yang berjalan ke arah kekacauan diubah menjadi sistem yang menggunakan sumber daya terbarukan.

Kisah sukses manusia -perseorangan dan komunitas- berputar di sekitar hubungan kenyataan perseptif dengan kenyataan obyektif. Pada masa kritis dalam sejarah ini, penting bagi kita untuk berkomitmen untuk dengan sadar membangun Jembatan Persepsi yang akan membawa kita ke dunia yang diingin oleh generasi masa depan. Dengan memahami bahwa perubahan sederhana dari kenyataan perseptif dapat menghasilkan perubahan besar pada kenyataan obyektif, kita juga menyadari bahwa menciptakan dunia yang lebih baik tidak saja memungkinkan; tapi juga penuh inspirasi dan menyenangkan.

(Diterjemahkan oleh Theza EA)