Berikut ini makalah yang dipresentasikan oleh Purkon Hidayat, researcher ICMES dalam seminar “Dari Filsafat ke Ilmu-Ilmu Manusia” yang diselenggarakan IC-Thusi bekerjasama dengan ICMES, 30 Mei 2016.
Meneroka Masa Depan Ilmu Ekonomi: Dari Positivisme Menuju Realisme
Oleh: Purkon Hidayat [1]
“Ma Eghteshad Danim, Lotfan Harfi az Vagheat Nazanid! [Kamilah Para Ekonom,Anda dimohon Jangan Bicara Realitas!]”, demikian bunyi sebuah judul film dokumenter berdurasi 47 menit. Pertama kalipenulismenyaksikannya di sebuah festival film rakyat Iran, Amr, tahun lalu atas undangan aktivis mahasiswa di negeri Mullah ini. Film amatiran yang menyabet penghargaan kategori ekonomi itu diawali sekuel aksi protes mahasiswa di AS lima tahun silam.
Pada 2 November 2011, sejumlah mahasiswa Harvard memboikot kelas yang diampu ekonom kawakan N. Gregory Mankiw. Profesor yang dijuluki tokoh utama New Keynesian Economics ini pernah menjabat sebagai ketua dewan penasehat ekonomi presiden George W. Bush.
Protes tersebut tidak ujug-ujug muncul.Tapi dipengaruhi dinamika kemelut ekonomi yang menimpa negeri Paman Sam dan berdampak global. Krisis finansial yang melanda AS tahun 2008 menunjukkan adanya masalah besar dalam sistem pengajaran ilmu ekonomi yang berpijak pada ideologi Kapitalisme.
Para pengambil kebijakan ekonomi publik, dan pengelola institusi keuangan adalah lulusan perguruan tinggi ekonomi yang memberi kontribusi besarterhadap munculnya krisis ekonomi. Teori ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi menyumbangkan wacana ketidakadilan ekonomi hingga menyulut gerakan Occupy Wall Streetyang mengusung slogan “We Are The 99 %” tepat di jantung kapitalisme dunia, Wall Street.
Selain ekonom, berbagai kalangan merespon krisis ini, termasuk yang paling santer dilakukan para sosiolog dunia. Salah satunya adalah konferensi yang diadakan Academia Sinica, pusat ilmu pengetahuan prestisius Taiwan yang dihadiri sosiolog dari 50 negara dunia.Dalam pertemuan tersebut, Michel Wieviorka menilai krisisfinansial 2008 disebabkan kerusakan sistem Kapitalisme dunia yang berkembang ke tingkat superkapitalisme di abad 21.
Menurut sosiolog Prancis yang pernah memimpin International Sociological Association (ISA) periode 2006-2010 ini, apabila di masa lalu perusahaan keuangan berfungsi sebagai penghubung antara pengusaha dan konsumen, pada masa kini mereka mengontrol hampir semua sektor ekonomi dunia.Sistem ini juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara pemerintah, pemilik saham, serikat pekerja, dan masyarakat konsumen. Mekanisme mengatur diri sendiri telah menjadi ”tulang sumsum” di tubuh superkapitalisme. Mekanisme ini, yang dalam ilmu ekonomidiyakini dapat meningkatkan efisiensi dan telah menjelma menjadi binatang buas tak terkendali. (Achman, Kompas, Kamis, 2 April 2009).
Michael Burawoy menilai krisis global ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosiologi dan ilmu sosial di seluruh dunia. Di era kapitalisme pemegang saham, kita menyaksikan dominasi sosiologi Amerika di seluruh penjuru dunia. Jenis sosiologi ini, meskipun tidak semua, telah lama meninggalkan pemikiran sosiologi klasik yang telah mengilhami pemimpin politik di Barat membangun kapitalisme berwajah kemanusiaan.Burawoy menawarkan perlunya mengembangkan sosiologi alternatif sebagai jalan keluar menghadapi dominasi tersebut. Dengan kemunculan sosiologi alternatif ini, sosiologi di tingkat global menjadi bersifat multipolar. Sosiolog dari luar Amerika dan Eropa perlu mengontekstualkan konsep dan teori Barat dengan mengkritik, memperbaiki, dan memperkaya ilmu sosial Barat, dan bukan sebaliknya: menelan mentah-mentah.(Achman, ibid)
Beberapa tahun sebelum protes mahasiswa Harvard mengemuka,aksi serupa telah dikumandangkan mahasiswa dan dosen di Prancis melalui “Gerakan Pos-Autistik Ekonomi”.Merekamengkritik tatanan ekonomi global, termasuk kurikulum ekonomi di perguruan tinggi Prancis. Edward Fullbrookmerekamnya dalam bukuThe Crisis in Economics, The Post-autistic Economics Movement: The First 600 Days (2003). Ia menjelaskan setidaknya tiga tuntutan para mahasiswa dalam bentuk petisi berisi penolakan terhadap dominasi ekonomi Mainstream, penolakan penggunaan matematika secara berlebihan dalam ilmu ekonomi, dan menuntut keragaman model dan bentuk ekonomi. Meski gaungnya sayup-sayup di Tanah Air, bahkan nyaris tidak terdengar, tapi gerakan ini berhasil mendorong kelahiran aliran ekonomi heterodoks.
Barangkali, sebagian orang menganggap protes tersebut berlebihan. Tapi penulis memandang sebaliknya. Mengamini pandangan filsuf ekonomi semacam Alexander Rosenberg, ilmu sosial saat ini tidak menunjukkan perkembangan progresif. Profesor filsafat ekonomi Universitas Duke, AS ini menunjukkan gunung es masalah ilmu ekonomi yang dipicu kian menjauhnya ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Padahal sebagian karakteristik ilmu ekonom relatif tidak cocok dengan ilmu alam yang cenderung statis dalam menjelaskan sebuah fenomena.
Pandangan Rosenberg didukung oleh studi Mirowski dalam More Hit Than Light; Economics as Social Physics: Physics as Nature Economics (1989) mengenai jejak historis ekonomi meniru fisika, khususnya yang berkaitan dengan teori nilai. Dia melacak perkembangan dari konsep energi dalam fisika Modern dan efek selanjutnya terhadap kemunculan teori ekonomi neoklasik hingga modern.
Lebih menukik, Mirowski dalam Never Let a Serious Crisis Go to Waste: How Neoliberalism Survived the Financial Meltdown(2013) menyimpulkan bahwa pemikiran Neoliberal telah begitu menggurita dalam ilmu ekonomi. Bahkan Neoliberalisme menjadi “Teori Segalanya” yang menyediakan rekening evaluasi, pengetahuan, informasi, pasar, dan pemerintah, serta seluruh data ekonomi. Dengan intonasi dan ritme berbeda, penjelasan Mirowskimenguatkan temuan Foucault dalam The Birth of Biopolitics: Lectures at the College De France, 1978-1979 (1988) yang melihat kelahiran teori “Manusia Ekonomi” atau Homo Economicusberkaitan perkembangan Liberalisme dan Neoliberalisme sebagai rezim kebenaran ilmu ekonomi.
Menyikapi masalah tersebut,Bruno S. Frey dalamInspiring Economics Human Motivation in Political Economy (2001:10-20,) menekankan urgensi pergeseran paradigma ekonomi menjadi lebih aspiratif dengan menyerap berbagai disiplin ilmu sosial. Profesor ekonomi Universitas Zurich, Switzerland ini memberikan contoh perbandingan antara ekonom, psikolog dan sosiolog tentang motivasi ekonomi. Menurut Frey (2001:14) psikolog dan sosiolog membedakan antara dua jenis motivasi ekonomi: motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.Sedangkan ekonom masih tetap berpendapat bahwa motivasi intrinsik bersifat konstan, padahal dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang dinamis.
Gelombang protes mahasiswa ekonomi yang merentang dari Paris hingga Harvard hingga kini tidak terdengar gemanya di Tanah Air akibat beberapa faktor.Pertama, kurikulum ekonomi yang diajarkan sebagian besar adalah terjemah dari pola yang sama di Eropa atau AS. Kedua, relatifminimnya daya kritis para sarjana di negara-negara Timur dan dunia ketiga terhadap teori yang datang dari negara-negara Barat. Ketiga, terjadi hegemoni intelektual dalam ilmu ekonomi. Negara-negara Barat menjadi produsen teori, sementara sarjana di negara-negara dunia ketiga menjadi konsumennya.[2]Porsi penghargaan terhadap teori-teori lokal di ranah ilmu sosial dunia ketiga juga masih relatif kecil dan tidak banyak yang menggali karakteristik teori yang tepat sesuai konteks budaya dan sosialnya. Keempat,integrasi disiplin ilmu masih minim perhatian di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Ekonomi di Pusaran Arus Positivisme
Pada saat yang sama di Barat sudah muncul studi yang sangat serius membahas masalah ekonomi dari berbagai disiplin ilmu terutama selama tiga dekade terakhir.
Pertama, meskipun belum marak tapi dewasa ini muncultrend perkawinan antardisiplin ilmu yang melahirkan ilmu baru. Misalnya, bidang studi sosiologi ekonomi yang lahir dari saling sapa dan perkawinan disiplin ilmu sosiologi dan ekonomi.
Latarnya, di ranah ekonomi banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh disiplin ilmu ekonomi tersebut. Joseph Shumpeter dalam bukunya History of Economic Analysis menjelaskan berbagai keterbatasan dan peluang saling sapa antardisiplin ilmu yang membahas masalah ekonomi.
Menurut Shumpeter, analisis ekonomi untuk mempelajari bagaimana orang bertingkah laku pada waktu tertentu dan apa pengaruh dari tingkah laku ekonomi tersebut. Adapun sosiologi ekonomi mempelajari mengapa mereka melakukan tingkah laku tersebut dalam konteks institusional di mana aktivitas ekonomi dilakukan.
Analisis sosiologis juga memfokuskan kajiannya terhadap analisis hubungan dan interaksi antara ekonomi dengan institusi lain, misalnya hubungan ekonomi dan agama. Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethics memperlihatkan analisis tentang apa yang membuat orang mengubah perilaku mereka secara mendasar, sehingga menciptakan suatu mentalitas rasionalistik baru. Gagasan ini menjadi dasar bagi Edward Swedberg untuk mengembangkan konsep sosiologi kepentingan dalam tindakan ekonomi.
Kedua, masih dominannya paradigma positivisme dalam disiplin non-eksakta membuat perkembangan ilmu sosial hingga kini relatif belum menemukan dirinya sendiri. Hingga kini, ilmu sosial belum menunjukkan perkembangan progresif dibandingkan ilmu alam. Contohnya, ilmu ekonomi relatif lebih dekat dengan ilmu alam dari pada ilmu sosial. Padahal karakter ilmu ekonomi banyak yang tidak cocok dengan ilmu alam, yang cenderung statis dalam menjelaskan sebuah fenomena.
Tampaknya, dominasi positivisme begitu menancap kuat dalam kurikulum ilmu ekonomi. Hingga kini dari sekian banyak buku teks ilmu ekonomi sangat jarang yang membahas tentang uji filosofis teori-teori ekonomi semacam Invisible Hand yang dicanangkan oleh Adam Smith. Sebaliknya, yang terjadi adalah dominasi penjabaran untuk menguatkan teori tersebut melalui berbagai cara, terutama meminjam permodelan matematika dan statistik.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh positivisme dalam ekonomi. Terkait hal ini, Michael Polanyi (1891 –1976) berteriak keras, “Positivisme memasok rekening palsu tentang pengetahuan. Apabila diambil secara saklek, maka akan merusak prestasi tertinggi kita sebagai manusia”.
Melacak SumbangsihFilsafat
Menyikapi kondisi demikian, sebenarnya Ilmu filsafat bisa memberikan kontribusi penting setidaknya dalam dua hal. Pertama, memberikan peta besar di mana letak sebuah teori berada. Jika filsafat adalah perpustakaan besar, ilmu ekonomi dan disiplin ilmu lainnya adalah deretan buku yang berjejer dan bertumpul di rak-rak buku yang perlu ditata dan disistematisasi dengan coraknya yang sistematis, holistik, komprehensif dan universal. Kedua, menguji hasil-hasil ilmu pengetahuan dan kelemahannya bukan dari ilmu itu, tapi dari posisinya sebagai bagian dari rangkaian keseluruhan.
Contohnya, trickle-down economics yang mengibaratkan pertumbuhan ekonomi seperti tetesan air dari atas ke bawah. Asumsi besar teori ini, semakin besar jumlah orang kaya, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara, dan kesejahteraan orang miskin pun semakin tinggi.Tapi faktanya teori ini keliru,sebab tidak memperhitungkan dampak makro kesenjangan sosial. Studi Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013) menunjukkan sebaliknya.Kesenjangan ekonomi tidak hanya memperparah kemiskinan maupun menyulutketidakpuasan sosial dan gejolak politik, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghalangi tercapainya kemakmuran bersama.
Epilog: Mencari Pijakan Baru
Futurolog dari Oxford University, James Martin mengungkapkan 17 tantangan besar di Abad 21.Salah satunya adalah masalah serius bagaimana mengatasi kesenjangan antara keterampilan dan kebijaksanaan. Sebab faktanya, dewasa ini sains dan teknologi telah melesat begitu cepat, tapi tidak diimbangi dengan kebijaksanaan. Martin (2007) menulis, “A Serious Problem right now is the gap between our skill and our wisdom. Science and Technology are accelerating furiously, but wisdom is not. Today, deep reflection about our future circumstances is eclipsed by the rush to build faster, cheaper, smarter, more-efficient gadgets that will increase corporate profits…”
Tantangan gap yang menganga antara keterampilan dan pengetahuan ini telah menjadi perhatian serius para sarjana sebelum James Martin. Misalnya, C. P. Snow menyebut adanya kesenjangan dua dunia mengenai pengkotak-kotakan disiplin ilmu yang lahir dari dominasi positivisme dalam sains modern, dan kebutuhan saling sapa antardisiplin ilmu.
Muhadjir (1998:55-56) menyoroti pengaruh dominan positivisme dalam ilmu sosial. Di satu sisi, positivisme telah memberikan kontribusi penting bagi landasan kemajuan sains dan teknologi yang begitu cepat. Tapi di sisi lain menimbulkan masalah, terutama bagi ilmu sosial dan humaniora yang membuatnya cenderung stagnan, karena membatasi pada parameter positivistik: emperi yang diakui benar hanya emperi yang indrawi atau sensual.
Persoalannya, pertama, pengetahuan yang dihasilkan acapkali kehilangan makna. Positivisme lebih mementingkan emperi indrawi dan mengabaikan makna di balik yang indrawi, akibatnya hasil-hasil penelitian ilmu sosial menjadi kehilangan makna.
Kedua, fakta sebagai fakta menjadi tidak ada artinya dan tidak terpahami manusia, kecuali diberikan pemaknaan berdasarkan teori tertentu. Positivisme mengunggulkan fakta fragmentaris, yang berakibat terjadinya reduksi pemahaman terhadap realitas. Dari sini saja sebetulnya sudah bisa diperoleh urgensi pemahaman terhadap realitas bukan hanya dengan postivisme tapi lebih luas dari itu.
Selama ini terjadi identifikasi keliru bahwa postivisme, (dan juga saintisme)dianggap sebagai realisme.Roger Trigg (1999:34) menyebutnya sebagai misidentifikasi realisme, sehingga metafisika dinilsi subjektif dan tidak realis, sebab kerangka realisme dipahami hanya dalam patok-patok yang telah ditandai titik-titiknya oleh aturan positivisme.
Menurut Heriyanto (2013:25-26) setidaknya terjadi tiga tahapan ketika realisme direduksi oleh positivisme. Pertama, realisme dipersempit menjadi pengertian pengakuan kepada realitas yang independen dari pikiran (mind-independent reality) sebagaimana dipahami dalam realisme modern. Kedua, realitas eksternal yang independen dipersempit lagi menjadi realitas empiris, sehingga penolakan terhadap empirisme diidentifikasi sebagai idealismeatau anti-realisme. Padahal, penolakan terhadap empirisme tidak identik dengan subyektivisme atau anti-realisme. Ketiga, realisme empiris dipertegas dengan realitas solid yang terdiri dari atom-atom yang tidak lain dari materialisme.
Riset Heriyanto (2013) tentang pembagian realisme esensialis, termasuk di dalamnya Realisme Modern (dan juga positivisme) dan realisme eksistensialis memberikan sumbangan penting terhadap peta besar kontribusi filsafat Islam, dengan mengelaborasi teori persepsi Mulla Sadra terhadap permasalah ekologis dan ilmu sosial.Bagi penulis, Heriyanto memberi rekening baru untuk pengembangan batu bata pemikiran ilmu ekonomi. Pertama, memberi pijakan baru basis epistemik untuk ilmu ekonomi, yang selama ini cenderung positivistik.
Paradigma positivisme yang telah mengakar dalam sains modern membuat manusia cenderung gagal memahami sebagian pengetahuanya sendiri. Dalam bukuPersonal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (1958), Polanyi menjelaskan adanya pengetahuan personal yang sulit dijelaskan, tapi hadir dalam diri manusia. Menurut Polanyi, manusia bisa mengetahui melebihi yang dapat diungkapkannya. “We can know more than we can tell,” ujarnya. Ia mempopulerkan konsep “tacit knowledge” yang belakangan menjadi kajian menarik dalam disiplin ilmu manajemen, terutama manajemen pengetahuan. Kemampuan mengendarai mobil, memimpin organisasi dan lainnya merupakan contoh pengetahuan tacit.
Pengetahuan ini sulit diartikulasikan cara verbal. Meskipun demikian, ada jalan transfer efektif pengetahuan tacit melalui kontak pribadi yang luas, interaksi reguler dan kepercayaan. Jenis pengetahuan ini dapat terungkap melalui praktek dalam konteks tertentu dan ditransmisikan melalui jaringan sosial atau komunitas praktis.
Konsep ini memberikan kontribusi besar terhadap disiplin ilmu manajemen. Para pakar seperti Jay Leibowitz, Van Der Spek, Spijkervet, Nonaka, dan Takeuchi serta Grof dan Jones menempatkan pengetahuan tacit berdiri sejajar di samping pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), sebagai bagian utama dalam studi manajemen pengetahuan. Bahkan sebagian pakar meyakini pengetahuan eksplisit sendiri berasal dari pengetahuan tacit.
Barangkali, itulah mengapa disiplin ilmu manajemen hingga kini masih dinilai sebagian kalangan sebagai kombinasi antara ilmu atau seni. Misalnya, Mary parker Follet memandang manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi tersebut menunjukkan bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
Selain itu, pandangan lain yang mendefinisikan manajemen sebagai ilmu, juga tidak melepaskan peran penting pengetahuan tacit. Ricky W. Griffin misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Empat proses manajemen tersebut tetap bertumpu pada kecakapan manajerial yang disebut oleh sebagian pakar sebagai seni memenej, terutama aspek kepemimpinan dalam organisasi yang menjadi jantungnya.
Jauh sebelum Michael Polanyi menjelaskan teori pengetahuan tacit, persolan tersebut telah dibahas dalam filsafat, terutama ranah epistemologi tentang adanya ilmu hudhuri dan ilmu Husuli. Ilmu Hudhuri sering disebut sebagai pengetahuan dengan kehadiran, kesadaran swa-obyek, pengetahuan swa-obyektif, dan pengetahuan non-representasional. Menurut Mehdi Hairi Yazdi, ilmu hudhuri adalah pengetahuan yang berhubungan langsung dengan hakikat sesuatu dan bukan gambaran atau bentuk sesuatu itu. Pengetahuan jenis ini hadir secara langsung dalam jiwa manusia dan tidak dihasilkan melalui pemahaman, pemikiran, dan abstraksi akal terhadap objek-objek eksternal.
Kedua, Realisme Eksistensialis Shadrian memberi alternatif terhadap pondasi epistemologis ilmu ekonomi, terutama ekonomi Islam, di luar positivisme dan kategorisasi realisme modern. Sebab di tengah menjamurnya kajian tentang ekonomi Islam termasuk di Tanah Air, karya-karya yang beredar selama ini termasuk risetnya, cenderung mengarah kepada model praktis yang jarang menyentuh kajian epistemologisnya.
Menurut Muhammad (2008:33-34) saat ini kira-kira lebih dari 30 universitas di negara Muslim dan non Muslim telah menawarkan kajian ekonomi Islam hingga tingkat Ph.D.Tapi, dari sekian karya tersebut jarang yang melakukan pendekatan filsafat ekonomi. Penulis amatimetodologi ekonomi Islam cenderung didominasi tiga model. Pertama, model etis, misalnya karya Haider Naqvi, Ethic and Economics:An Islamic Synthesis (1981) yang menyajikan konsep ekonomi Islam bertolak dari aksioma etika Islam. Kedua, model historis-teologis-Fiqhi yang menampilkan konsepsi ekonomi Islam yang ditarik dari sejarah Islam dan muatan teologisnya. Salah satu model terbaik yang menggunakan pendepakan ini adalah disertasi Zohreh Ahghari (1991) The Origin Evaluation of Islamic Thought yang berisi uraian historis deskriptif-analitik tentang pemikiran ekonomi para sarjana Muslim dari Abu Yusuf, Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Taimiyah, Ibnu Khaldun hingga al-Maqrizi.
Hampir tidak jauh berbeda, Abdelhafed Belarbi (1992) dalam disertasinyaToward An Islamic Economic System melakukan pelacakan pondasi ekonomi Islam dengan menggali pemikiran para sarjana muslim terkemuka tempo dulu seperti Ibnu Khaldun untuk menemukan prinsip dan nilai dasar ekonomi Islam seperti zakat dan implikasi ekonomisnya.
Ketiga model elektik dengan mengintegrasikan ilmu ekonomi dan nilai-nilai Islam sebagaimana yang dilakukan Muhammad Anwar (1985) dalam disertasinya A Macroeconomic Model for Interest-Free Economies: An Integrative Study of Western And Islamic Economic System. Sebenarnya ada sejumlah riset di luar tiga model ini tapi relatif kecil jumlahnya seperti disertasi Iwan Triyuwono, tentang Akuntasi Syariah yang menggunakan pendekatan psikologis sosial. Tapi tetap saja belum menyentuh masalah filosofis ekonomi dalam kajiannya. Ada juga Baqir Shadr dengan Iqtishaduna, tapi pola fiqhnya kental, dan sekitar 60 persen karya ini sebagi reaksi terhadap Kapitalisme dan Sosialisme.
Padahal hingga kini ada sejumlah masalah krusial yang masih dihadapi dalam ilmu ekonomi. Studi yang dilakukan Sobhani, Mahdavi dan Padash (1392 Hs:92-93) menunjukkan beberapa persoalan filsafat dalam ilmu ekonomi yang membantu melakukan pemetaan ulang untuk membongkar kembali teori ekonomi.
Pertama, pertanyaan “Apakah ilmu ekonomi sebuah masalah yangobjektif ? Para ekonom tidak menjelaskan secara benderang mengenai basis metodologis saintifiknya. Kedua, meskipun terdapat proposisi sebab akibat dalam ilmu ekonomi, tapi apakah bersandar pada ceteris paribus merupakan bagian dari kausalitas dalam ilmu ekonomi ? Lalu, apa maksud ekonom mengenai kausalitas? Demikian juga bagaimana masalah kausalitas bisa dijustifikasi dalam ilmu ekonomi ?
Ketiga, masalah metodologi ilmu ekonomi yang menggunakan metode deduksi berujung sebuah masalah yang menggabungkan kategori khusus dengan umum. Apakah semua manusia sama? Apakah karakteristik sebuah sistem ekonomi ekonomi tertentu tidak lain dari karakteristik historis semua sistem? Apakah reaksi sebuah faktor ekonomi tertentu dalam sebuah kondisi khusus bisa mewakili reaksi semua faktor ekonomi dalam berbagai kondisi? Apakah seluruh realitas bisa dijelaskan melalui preferensi individu?
Hingga kini positivisme berhenti setengah jalan menghadapi berbagai pertanyaan tersebut. Tampaknya, ke depan ilmu sosial, terutama ilmu ekonomi harus semakin terbuka dan mencerap pengetahuan dari disiplin ilmu lain dengan menjauhi dominasi positivisme. Sampai di sini saya sepakat dengan Michael Polanyi, “Positivism supplies a false account of knowing, which if taken seriously undermines our highest achievements as human beings”
Daftar Pustaka
Addas, Waleed A.J. Methodology of Economics: A Comparative Study of Economics: From Self-Interest to ‘God’s Interest. Malaysia:International Islamic University Malaysia Press, 2008.
Addleson, Mark.Equilibrium Versus Understanding: Towards the Restoration of Economics as Social Theory, New York:Routledge, 2003.
Ahghari, Zohreh. The Origin and Evalution of Islamic Thought. A Dissertation Submitted to the Departement of Economics in Partial Fulfillment of The Requirement for The Degree of Doctor of Philosophy, The Florida State University, College of Social Science. Fall 1991.
Ahmed A.F El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economics: A Short History. Leiden & Boston: Brill, 2006.
Ali, Zulfiqar. Implications of the Foucauldian Decentralization of Economics, The Journal of Philosophical Economics, 2001, V:1, 148-167.
Backhouse, Roger E. Explorations in Economic Methodology: From Lakatos to Empirical Philosophy of Science, New York: Routledge, 2001.
Anwar, Muhammad. A Macroeconomic Model for Interest-Free Economies: An Integrative Study of Western and Islamic Systems. A Dissertation Submitted to the Departement of Economics in Partial Fulfillment of The Requirement for The Degree of Doctor of Philosophy in Economics, The University of New Hampshire, December, 1985.
Belarbi, Abdelhafid.,Towards An Islamic Economic System. A Dissertation Submitted to the Departement of Economics in Partial Fulfillment of The Requirement for The Degree of Doctor of Philosophy, University of Cincinnati, College of Art and Sciences. 1992.
Blaug, Mark. The Methodology of Economics or How Economists Explain. Second Edition, UK: Cambridge University Press, 2006.
Boland, Lawrence. The Foundations of Economic Method, London: George Allen & Unwim, 1998.
Carrier, James G. A.Handbook of Economic Anthropology, Cheltenham, Edward Elgar Publ.: 2005.
Chakravartty, Anjan., A Metaphysics for Scientific Realism: Knowing the Unobservable, New York: Cambridge University Press, 2007.
Choudhury, Masudul Alam. Islamic Economics and Finance: An Epistemological Inquiry. UK: Emerald, 2011.
Comor, Edward A. Consumption and the Globalization Project International Hegemony and the Annihilation of Time. New York: Palgrave Macmillan, 2008.
Delanty, Gerard. Social Science: Beyond Contructivism and Realism (Terjemah Farsi), Tehran: Moasasah Farhanggi Danesh va Andisheh Moaser, 2005.
Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press, 1982.
Fennell, Damien James.A Philosophical Analysis of Causality in Econometrics.Thesis submitted to the University of Londonfor the Completion of the Degreeof a Doctor of Philosophy, August 2005.
Fleetwood, Steve., (ed). Critical Realism in Economics: Development and Debate, London and New York, Routledge, 2004.
Frey. Bruno S. Inspiring Economics: Human Motivation in Political Economy. Cheltenham:Edward Elgar Publ, 2001.
Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the College De France, 1978-1979. New York: Palgrave Macmillan, 2008.
Fullbrook, Edward. Intersubjectivity in Economics: Agents and structures. London& New York:Routledge, 2002.
………………….. Pluralist Economics.London & New York: Zed Books, 2008.
………………….. Ontology and Economics: Tony Lawson and his critics,New York:Routledge, 2009.
…………………… The Crisis in Economics: The Post-Autistic Economics Movement, The First 600 Days,London& New York:Routledge, 2003.
Gorz, Andre. Critique of Economic Reason, London: Verso, 1989.
Ha’iri Yazdi, M.,The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, New York: SUNY Press,1992.
Hausman, Daniel M. Essays on Philosophy and Economic Methodology, Cambridge. Cambridge University Press, 1992.
Heriyanto, Husain. Menuju Realisme Eksistensial Ekologis Berdasarkan Teori Persepsi Mulla Sadra, Disertasi, Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2013.
Judd, Donald.,Critical Realism and Composition Theory, London & New York: Routledge,2005.
Kiyimba, Kizito. Michael Polanyi’s Theory of Tacit Knowledge: An Epistemology of Skill in Science, Thesis Submitted to the Department of Philosophy, Logic and Scientific Method of the London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London: October 2009.
Kologlugil, Serhat. Michel Foucault’s Archaeology of Knowledge and Economic Discourse. Erasmus Journal for Philosophy and Economics, Volume 3, Issue 2, Autumn 2010, pp. 1-25.
Machlup, Fritz. Methodology of Economics and Other Social Sciences. New York: Academic Press, 1978.
Mises, Ludwig von. Epistemological Problem of Economics. Third Edition, Ludwig von Mises Institute, tt.
Mankiw, N. Gregory .& Mark P. Taylor. Economics. UK: Cengage Learning EMEA,2011.
Mirowski, Philip.More Hit Than Light; Economics as Social Physics: Physics as Nature Economics.Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
………………… Never Let a Serious Crisis Go to Waste: How Neoliberalism Survived the Financial Meltdown. London: Verso, 2013.
………………Natural Images in Economic Thought: Markets Read in Tooth and Claw, Cambridge: Cambridge University Press.1994.
Martin, James.,The 17 Great Challenges of The Twenty-First Century, Oxford University, 2007.
Muhammad, On Islamic Economic, Yogyakarta:Syirkah,2008.
Muhadjir, Noeng., Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III, Yogyakarta: Rakesarasin,1998.
Neil J. Smelser & Richard Swedberg. The Handbook of Economic Sociology. New Jersey: Princeton University Press, 2005.
Perelman, Michael. The End of Economics, New York: Routledge, 1996.
Piketty, Thomas, Capital in the Twenty-First Century, Cambridge: Harvard University Press, 2014.
Polanyi, Michael. Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy, London: Routledge, 2005.
Popper, Karl R., Realism and The Aim of Science, New Jersey: Rowman and Littlefield, 1983.
Putnam, H., Realism and Reason. Cambridge:Cambridge University Press, 1983.
Richard Schmitt dalam Edward, P., (ed) The Encyclopedia of Philosophy, New York, New York: Macmillan,1967.
Reardon, Jack. The Handbook of Pluralist Economics Education, New York: Routledge, 2009.
Rosenberg, Alexander. Mathematical Politics or Science of Diminishing Return. Chicago:The University of Chicago Press, 1994.
………………………. Microeconomics Laws: A Philosophical Analysis. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1976.
……………………….. Philosophy of Social Science. Third edition, Philadelphia: Westview Press,2008.
Schumpeter Joseph A. History of Economic Analysis. London: Routledge,2006.
Snow, Charles Percy.The Two Cultures, Cambridge: Cambridge University Press, 2012.
Sobhani, Hassan dkk, Tabyini az Chand Masaleh Falsafi dar Elm Eghtesad, Journal Barnamehriji va Bujeh (Farsi), Vol.17, Issue 1, Bahar 1392 Hs.
Swedberg, Richard. Principles of Economic Sociology. New Jersey: Princeton University Press, 2003.
Weber, Max. Economy and Society. California: University of California Press, 1978.
Situs internet
Achman, Rochman. Sosiologi dan Krisis Keuangan Global. http://edukasi.kompas.com/read/2009/04/02/03095062/Sosiologi.dan.Krisis.Keuangan.Global diakses Minggu, 8/5/2016.
[1] Peneliti Indonesia Center for Middle East Studies(ICMES)
[2] Di bidang disiplin ilmu hubungan internasional Jörg Friedrichs dalam “European Approaches to International Relations Theory: A House with Many Mansions” (2004:1-28) mengajukan gugatan menohok mengenai dominasi intelektual AS dalam disiplin ilmu hubungan internasional, yang disebutnya sebagai bias struktural.
Friedrichs mendeteksi terjadinya pola produksi wacana akademis di Amerika Serikat, dan konsumsi di negara lain. Riset Friedrichs ini mempertegas temuan sarjana Kanada, Kalevi Holsti pada pertengahan 1980-an yang mengandalkan fakta statistik mengenai hegemoni intelektual di bidang hubungan internasional AS (dan juga Inggris) di seluruh dunia.
Holsti dalam “The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory” (1985:103) menunjukkan masalah hirarki disiplin ilmu yang menjadi salah satu ciri khas dari teori politik internasional. Literatur yang memproduksi teori hubungan internasional dari sekitar 155 negara dunia ternyata didominasi oleh dua negara yaitu: Amerika Serikat dan Inggris. Menurut Holsti, kedua negara ini membentuk kondominium intelektual di ranah hubungan internasional. Lebih jauh lihat, Purkon Hidayat, Jamur, Teori dan Hegemoni Intelektual http://ic-mes.org/politics/jamur-teori-dan-hegemoni-intelektual/