Memasuki Era-Rivalitas Politik Global 2020

Penghancur rudal berpemandu Arleigh-Burke, USS Barry (DDG 52) beroperasi di Laut Cina Selatan (April 2020).

Penghancur rudal berpemandu Arleigh-Burke, USS Barry (DDG 52) beroperasi di Laut Cina Selatan (April 2020).

Oleh: Chairul Fajar [1]

Paruh pertama 2020 menjadi catatan penting bagi kontestasi perpolitikan global. Rangkaian turbulensi politik, ekonomi dan keamanan semakin memperlihatkan tanda-tanda shifting kekuatan peta politik di dalamnya yang dimaknai sebagai babakan rivalitas baru bagi para aktor yang terlibat. Diyakini hal tersebut telah menjadi katalisator bagi ketidakpastian tatanan politik global saat ini.

Gencarnya perang harga di antara negara-negara prosuden minyak dunia sejak Maret lalu hingga kini belum berakhir dan belum ada kesepakatan penuh untuk menjamin kepastian harga minyak. Hal ini terlihat dari penurunan ekstrem pada beberapa komoditas minyak pada beberapa waktu belakangan. Secara tidak langsung situasi tersebut memberi ‘pukulan’ signifikan bagi keuangan negara yang tengah berada di bawah tekanan sanksi internasional seperti Rusia, Venezuela, dan Iran.

Banyak pihak menilai bahwa skenario perang harga ini merupakan salah satu strategi Saudi guna menekan para rivalnya baik politik maupun ekonomi. Bagi Saudi, membanjiri pasar dunia lewat minyak menjadi kesempatan mempengaruhi ritme geopolitik di Timur Tengah untuk kembali memihak pada Saudi. Anjloknya harga tersebut akan memaksa rival produsen lain seperti Rusia, Iran, Venezuela hingga sekutu Saudi sendiri: AS dengan shale oil-nya memasuki pasar.

Bagi AS, situasi ini sangat tidak menguntungkan mengingat ketergantungan AS terhadap minyak Saudi sejak lama yang mengingatkan kembali pada skenario ‘krisis minyak 1971’ silam. Di bawah administrasi Trump, AS kemungkinan akan mengakhiri hal itu dengan menegaskan Saudi lewat ancamannya menarik pasukan AS di Saudi. Tentu hal ini menjadi pilihan berat sebab postur keamanan Saudi di kawasan masih bergantung dengan AS. Terlebih kini Saudi tengah disibukkan dengan kompetisi pengaruh dengan Iran dan rival-rival lain seperti UAE, Qatar, Turki.

Bagi Trump, opsi melepaskan diri dari ketergantungan minyak Saudi akan memberi daya tawar sendiri terhadap posisi geopolitik AS di panggung politik global sekaligus menguatkan kedaulatan ekonomi-energi AS yang kini telah meraih posisi sebagai produsen minyak lewat shale oil-nya. Secara tidak langsung berarti AS telah muncul sebagai rival baru di pasar energi global bagi negara-negara produsen minyak existing.

Di sisi lain, muncul tantangan berat bagi masyarakat dunia yaitu pandemi Covid-19. Masyarakat jatuh sakit, perlambatan perekonomian global dan ancaman kolapsnya rantai logistik dunia kini membayangi kita semua. Sulit bagi para ahli memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir dan secara umum belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Kondisi ini menciptakan kegagapan para pengambil kebijakan di berbagai negara yang diperparah oleh ketidaktransparansian informasi dari sejumlah negara maupun institusi internasional yang justru sangat diharapkan di masa-masa seperti ini. Faktanya pembatasan informasi itu justru semakin menunjukan ketidaksiapan kerjasama negara-negara dalam menghadapi ancaman pandemi global. Padahal keterbukaan merupakan prinsip penting yang dapat mendorong terciptanya peluang penyelesaian yang lebih komprehensif dan solutif berbasis kerjasama guna mempercepat proses penyembuhan dari pandemi Covid-19. Tentu ada negara yang patut diapresiasi, misalnya Taiwan yang bersikap transparan dan kooperatif serta membagikan kesuksesan strateginya menanggulangi pandemi tersebut.

Pandemi Covid-19 ini juga memperlihatkan skeptisme akan semangat kerjasama masyarakat global. Yang paling terlihat, negara-negara saling bersaing mendapatkan logistik medis esensial guna memprioritaskan warganya masing-masing dalam penanganan pandemi Covid-19. Kondisi ini secara tidak langsung turut menciptakan eskalasi politik global ketika sejumlah negara-negara yang dipimpin AS menunjukkan ketidakpuasan terhadap China. AS dan China melakukan blame game dengan saling menuduh, negara mana yang menjadi asal mula penyebaran virus ini, dan berlanjut di Laut China Selatan (LCS). Situasi ini menambah rangkaian panjang dari babakan rivalitas AS-China semenjak ‘Perang Dagang’ yang dimulai sejak 2017 lalu. Ditenggarai kondisi ini akan berpeluang mendorong kecenderungan peningkatan proyeksi kekuatan militer ke kawasan Indo-Pasifik, tepatnya di LCS.

AS sudah memindahkan aset strategisnya dari Arab Saudi di Timur Tengah yang diperkirakan akan ditempatkan di Indo-Pasifik guna mengimbangi eksistensi pembangunan kekuatan militer China di kawasan [2]. Hal ini tidak menutup kemungkinan munculnya dorongan agar China meningkatkan kapasitas senjata strategisnya dinilai semakin memperburuk situasi [3]. Patut diprediksi jika eskalasi semakin berlanjut AS akan mengikutsertakan China dalam perundingan persenjataan strategis (New START) AS-Rusia [4].

Dari beberapa gambaran di atas, setidaknya ada beberapa skenario langkah yang mungkin dapat dilakukan Indonesia guna menghadapi eskalasi rivalitas global ini. Pertama, Indonesia dapat memperkuat peranan kepemimpinanya dengan menghidupkan kembali Gerakan Non-Blok (GNB) sebagai kekuatan penyeimbang di tengah memanasnya AS-China. Bukan tidak mungkin ketidakpastian politik global saat ini berpeluang terkristalisasi menjadi ‘Perang Dingin 2.0’. Melalui skenario pertama ini Indonesia bisa merangkul negara-negara lain yang sepemikiran.

Kedua, sebagai kekuatan yang diperhitungkan di ASEAN, kepemimpinan Indonesia diharapkan mampu mensolidkan para anggota ASEAN dengan mengedepankan semangat multilateralisme guna memastikan kesadaran anggotanya dalam menyatukan persepsi akan potensi ancaman yang akan dihadapi ke depan.

Tetapi kedua skenario itu tidak akan terwujud tanpa komitmen penuh dari negara-negara mitra dan anggota lain yang terus menjadi tantangan dalam mewujudkan semangat multilateralisme.

—————–

[1] Penulis adalah sarjana Hubungan Internasional. Profil Linkedin: https://linkedin.com/in/chairulfajar

[2]       US pulling Patriot missiles from Saudi Arabia: report. Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/en/americas/us-pulling-patriot-missiles-from-saudi-arabia-report/1832903

[3]       China urged to expand nuclear arsenal to deter US warmongers. GlobalTimes. https://www.globaltimes.cn/content/1187775.shtml

[4]       China-Russia alliance on horizon as nuclear arms treaties crumble. Nikkei Asian Review. https://asia.nikkei.com/Spotlight/Asia-Insight/China-Russia-alliance-on-horizon-as-nuclear-arms-treaties-crumble