Impact Investment di Timur Tengah dan Bahaya di Baliknya

Impact-Investment

Impact Investment di MENA

Impact investment merupakan model investasi baru, yang penekanannya tidak sekadar mencari keuntungan, tapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Jenis-jenis impact investment antara lain, investasi komunitas, penerbitan “obligasi hijau,” dan kesepakatan serupa ekuitas swasta. Meskipun impact investment pada awalnya hanya menarik sejumlah kecil filantropis dan investor, namun belakangan ini berkembang menjadi praktik investasi yang lebih umum.

Di Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa – MENA), impact investment masih belum banyak dikenal. Laporan terbaru oleh Global Impact Investing Network (GIIN) menemukan bahwa hanya 1% dari perusahaan yang mengelola aset impact investment memiliki kantor pusat di MENA. Angka-angka ini sangat kontras dengan kawasan lain, terutama AS dan Eropa, yang masing-masing mengelola 58% dan 21% dari aset impact investment di dunia.

Pada tahun 2016, Bank Nasional Abu Dhabi UEA meluncurkan obligasi hijau pertama di Timur Tengah, sementara Departemen Energi (DoE) Abu Dhabi mengumumkan inisiatif Akselerator Obligasi Hijau baru pada bulan Januari tahun ini. Beberapa bulan kemudian, pada bulan September, pemerintah Mesir meluncurkan penerbitan obligasi hijau pertamanya.

Menteri Keuangan Mesir, Mohamed Maait, menyatakan bahwa penawaran obligasi pemerintah hijau akan membantu menarik investor yang tertarik pada keuntungan finansial dan sosial-lingkungan.

Peningkatan minat investor terhadap impact investment telah diupayakan oleh regulator pasar saham (stock market regulators). Sebagian dari mereka telah menetapkan aturan baru, yaitu kewajiban melaporkan Environmental-Social-Governance (ESG) yang berisi laporan mengenai keuntungan yang diberikan perusahaan kepada sosial dan lingkungan.  Hingga kini, ada 24 pasar saham yang mewajibkan ESG reporting, antara lain Euronext London dan Singapore exchange.

Di MENA, Bursa Efek Abu Dhabi (ADX) meluncurkan laporan keberlanjutan pertamanya (sustainability report) pada Juni 2020. Laporan tersebut memperkuat prinsip-prinsip panduan keuangan berkelanjutan (sustainability finance) dan mendorong pertumbuhan peluang investasi berkelanjutan (sustainability finance) di UEA. Meskipun pedoman dan laporan tersebut belum memiliki kekuatan mengikat, langkah ini menggambarkan upaya ADX untuk menyelaraskan sistem keuangan UEA dengan praktik ‘keuangan hijau’ (green finance).

Tekanan juga diberikan oleh lembaga keuangan global agar negara-negara MENA bergabung dalam proyek “hijau” ini. Pada bulan Oktober, Arab Saudi dikeluarkan dari portofolio investasi perusahaan finansial top, Candrian, bersama dengan Rusia dan China. Alasannya, karena ketiga negara tersebut mendapat skor yang terlalu rendah dalam peringkat mereka untuk risiko ESG. Ini menunjukkan bahwa ada upaya menjadikan ESG sebagai persyaratan investasi internasional. Untuk mengejar ketertinggalan, bursa saham Arab Saudi, TADAWUL, pun berencana meluncurkan indeks ESG bekerja sama dengan penyedia indeks global MSCI pada tahun 2021.

Ada “Udang” di Balik Impact Investment

Sebenarnya, apakah benar green finance ini bertujuan mulia, atau ini sekedar upaya para investor untuk membuka pasar baru?

Menurut peneliti independen Alison McDowell, proyek ini merupakan penggabungan “negara korporat” dengan organisasi nirlaba dan agama.  Proyek ini beroperasi melalui apa yang disebut “korporasi tunjangan” (benefit corporation) sebuah struktur penggabungan baru yang aturannya dikembangkan dan didanai oleh Lab B (B Lab) Rockefeller Foundation.

Berdasarkan kerangka “tata kelola sosial lingkungan” atau ESG, eksekutif perusahaan-perusahaan yang  memiliki “sertifikat B” mendapatkan perlindungan dari pemegang saham mereka sehingga mereka diberikan kebebasan sangat luas yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan alasan (seolah-olah) bermanfaat secara sosial dan lingkungan.

Ini merupakan wajah baru kapitalisme,  yang bernaung dalam model baru bisnis, “Ekonomi Dampak” (Impact Economy). Ekonomi Dampak adalah sebuah gagasan yang muncul pasca penghancuran terkendali sistem keuangan global pada tahun 2008, yang membuka jalan bagi hedge fund untuk menggantikan bank sebagai kekuatan dominan di dunia kapital (modal). Dunia baru permodalan ini kini dikuasai oleh The Blackstone Group Inc., yang mengendalikan setengah triliun dolar di bawah manajemen aset.

Kemarahan pura-pura bank-bank terkaya dan institusi pengatur keuangan saat terjadi krisis ekonomi akibat “subprime mortgage” tahun 2008 diikuti oleh seruan mengenai “kapitalisme yang lebih manusiawi”. Saat resesi besar itu berlangsung, istilah “investasi berdampak” (impact investment) diperkenalkan untuk menggambarkan model ekonomi yang memberikan “nilai sosial melalui praktik berbasis pasar.” Kata-kata kunci baru dimunculkan dan disebarkan, seperti “pembangunan berkelanjutan” atau “karbon netral” oleh berbagai organisasi dunia, seperti World Economic Forum (WEF) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Salah satu tokoh kunci dalam bisnis baru ini, Sir Ronald Cohen, pada tahun 2019 menyatakan bahwa “ekonomi dampak”  adalah “menggulingkan kediktatoran laba dan meletakkan ‘dampak’ di sisi laba untuk mempertahankan laba.” [overthrowing the dictatorship of profit and putting impact firmly by its side to keep it in its place.]

Kecanggihan dalam pernyataan ini mungkin tidak langsung bisa ditangkap, tetapi pernyataan ketua sebuah perusahaan “impact investment” bernama d Global Steering Group (GSG) mengungkapkan trik ajaib yang ingin dilakukan oleh pemilik modal kepada dunia.

Dalam bagan di bawah ini (yang dibuat oleh GSG) terlihat apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh GSG, yaitu meraup dana besar [sama seperti para pemodal pada umumnya], tapi dengan memanfaatkan jargon-jargon “penanganan masalah sosial dan lingkungan”.

Impact investment GSG dan Korporasi/Yayasan Besar di Baliknya

Impact investment GSG dan Korporasi/Yayasan Besar di Baliknya

Jenis Baru Perbudakan

Sebagaimana start-up lainnya, masalah utama “impact investment” adalah skala (keluasan pasar). “Semuanya [harus] besar, cepat, dan dapat diskalakan,” tegas Alison McDowell, yang telah mengikuti pengembangan model impact investment ini. McDowell menuliskan penyelidikannya itu dalam blognya yang bernama “Wrench in the Gears”. Nama ini merujuk pada pidato Mario Savio kepada sesama mahasiswa Berkeley pada puncak gerakan anti-perang di Amerika Serikat. McDowell telah berhasil mengekspos banyak “roda gigi” yang menggerakkan penemuan kembali kapitalisme berdasarkan agregasi dan manipulasi data dalam segala bentuknya.

McDowell memuji pidato UC Davis professor Justin Leroy yang ia ikuti pada tahun 2017 di The Whitney Museum of American Art. Pidato berjudul “Race, Finance and the Afterlife of Slavery” itu membuatnya menyadari intrik di balik model eksploitasi finansial baru dan, khususnya, sifat rasial dari instrumen keuangan baru yang dibuat untuk mereka, contohnya “obligasi dampak sosial” (social impact bonds – SIB).

Leroy menggambarkan mereka [para pebisnis finansial baru] sebagai “instrumen kapitalis rasial” dan menelusuri jejak mereka hingga ke asuransi maritim dan inovasi keuangan lainnya dari perdagangan budak di masa lampau. Ia menyatakan bahwa perdagangan budak itulah yang berfungsi sebagai “motivator utama dalam pengembangan jaringan asuransi yang kuat.”

Leroy menceritakan kasus Zong slave ship massacre (pembunuhan massal para budak), dimana ratusan pria tawanan dilemparkan ke laut lalu kapten kapal mengklaim asuransi atas mereka; dengan demikian para budak itu diklaim sebagai “properti” yang diasuransikan.  Inilah yang ditiru oleh “obligasi dampak sosial” (social impact bonds – SIB), yaitu meniru kecenderungan kapitalisme untuk mengkomodifikasi kehidupan manusia [menjadikan kehidupan manusia sebagai komoditas/barang dagangan].

Dalam bahasa awam, obligasi dampak sosial mengamankan pendanaan untuk program sosial tertentu dari investor swasta, yang “mempertaruhkan” uang mereka untuk pengembalian berdasarkan “keberhasilan” suatu program sosial. Seperti obligasi lainnya, bentuk-bentuk hutang sekuritas ini dapat diperdagangkan di pasar terbuka; seperti pinjaman hipotek subprime yang dikemas ulang. Lebih khusus lagi, social impact bonds  adalah sarana investasi yang terkait dengan nilai layanan sosial yang disediakan oleh entitas pemerintah, seperti perawatan kesehatan, atau fungsi negara, seperti penahanan. Efeknya, menurut Leroy, kekayaan publik ditransfer ke tangan swasta.

Efeknya, menurut Leroy, kekayaan publik ditransfer ke tangan swasta.

Kontribusi besar Alison McDowell adalah melacak bagaimana dan di mana alat impact investment ini diuji; menarik hubungan penting antara kontrak pintar (smart contract), yang mengandalkan teknologi blockchain, dan bentuk baru dari utang sekuritas dinamis ini.

“Analisis data menginformasikan nilai utang yang dijaminkan,” katanya kepada MintPress, menekankan bahwa data itu akan selalu didasarkan pada “profil prediktif” yang menggunakan metrik yang “sangat sederhana dan sempit” untuk memenuhi skala dan kecepatan yang dibutuhkan oleh institusi finansial, seperti Goldman Sachs, yang akan menangani aset ini.

Salah satu komponen paling penting dalam impact investment adalah "data"

Salah satu komponen paling penting dalam impact investment adalah “data”

“Ini bukanlah angka yang berarti dalam kaitannya dengan orang yang ada dalam program [sosial],” kata McDowell; karena metrik keberhasilan tidak akan didasarkan pada “tambang [data] individu, melainkan [dari] sekelompok orang.” Fakta ini – yang mencerminkan sifat predator kapitalisme- sangat penting untuk memahami bahaya yang melekat dalam bentuk-bentuk “keuangan sosial” (social finance) ini dan bagaimana istilah yang terdengar mulia itu tidak akan menutupi kerugian/kerusakan yang pasti akan terjadi.[]

—-

Sumber:

https://mashoragroup.com/can-mena-capital-markets-drive-impact-investment/

https://www.mintpressnews.com/the-bits-and-bytes-of-the-great-reset-covid-19-and-the-scaling-up-of-data-capitalism/275831/