[Jurnal] Islam dan Kristen dalam Suriah Kontemporer

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Islam and Christian–Muslim Relations yang berjudul ‘We are Christians and we are equal citizens’: perspectives on particularity and pluralism in contemporary Syria, yang dipublikasikan secara online pada 24 Januari 2012 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/09596410.2011.634598. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.suriah-dan-toleransi

Islam dan Kristen dalam Suriah Kontemporer

Annika Rabo [1]

“Saya tidak suka disebut dzimi, atau ahli kitab, atau nasara. Saya juga tidak suka disebut aqalliya (minoritas). Kami adalah orang-orang Kristen dan kami adalah warga negara Suriah.”

Pernyataan ini berasal dari Ghassan, seorang teman lama saya, pada bulan Oktober 2009. Kami membahas proposal semi-rahasia untuk personal status law (hukum pribadi) yang telah beredar di Suriah selama musim panas. Beberapa hari sebelumnya saya telah diberitahu bahwa beberapa orang yang dekat dengan Perdana Menteri telah mengajukan proposal untuk undang-undang baru ini. Partai Komunis Suriah dan organisasi lainnya bereaksi sangat negatif dan menekankan bahwa hukum tersebut sangat reaksioner dan tidak layak untuk Suriah modern. Usulan itu dibahas dan banyak keberatan yang bermunculan di berbagai forum internet, dan di antara kelompok dan individu.

Banyak Muslim Suriah merasa bahwa hukum itu adalah kemunduran besar dalam mengatur hak dan kewajiban laki-laki. Suami diizinkan memukul istri ataupun menceraikannya tanpa adanya keterlibatan atau izin dari pengadilan. Seluruh terminologi hukum akan menjadi jauh lebih brutal. Begitu juga halnya dengan umat Kristen Suriah, yang menilai hukum tersebut juga sebuah kemunduran. Hak untuk memiliki istri lebih dari satu juga dibolehkan. Dan panggilan ‘dzimi’, ‘ahli kitab’, atau ‘nasara’ terhadap umat Kristen dinilai merendahkan.

Kristen di Suriah saat ini tidak disebut sebagai dzimi oleh kaum Muslim. Menurut Botiveau (1998), dzimi mengacu pada perlindungan yang diberikan kepada warga non-Muslim yang hidup di negara mayoritas Muslim, dengan syarat mereka harus taat. Di Suriah modern, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di bawah hukum, terlepas dari afiliasi keagamaan. Tidak seperti banyak negara lain di kawasan itu, di Suriah, Islam bukanlah menjadi agama resmi negara. Yurisprudensi Islam tidak menjadi hukum, melainkan hanya menjadi rujukan (Berger 1999, 114). Jadi term ‘ahlul kitab’ hanya digunakan dalam diskusi, yang menggarisbawahi bahwa sebutan itu bertujuan untuk menunjukkan rasa hormat dan toleransi. Suriah sangat heterogen. Ada banyak etnis dan agama di daerah satu dengan lainnya. Penting juga untuk digarisbawahi bahwa di Suriah bukan hanya ada Muslim dan Kristen saja.

Artikel ini akan membahas beberapa hal. Pertama, tentang hubungan Islam dan Kristen. Kedua, menjelaskan dan menganalisis personal status law yang menciptakan ambigu.Ketiga, artikel ini akan fokus pada hubungan gender dengan afiliasi keagamaan.

Suriah sering digambarkan sebagai mosaik kelompok etnis, agama, dan bahasa yang berbeda-beda. Namun yang paling populer, Suriah diklasifikasikan sebagai bangsa Arab, dan bahasa Arab adalah bahasa ibu. Tetapi ada juga etnis Kurdi, juga kaum linguistik di Suriah, ada Armenia dan Assyria/ Suryoye, Circassians dan Turkmen. Kebanyakan warga Suriah adalah Muslim. Populasi umat Kristen sekitar 10-12% dan terbagi menjadi sekitar 11 sekte. Salah satu sekte yang terbesar adalah Kristen Othodoks yang memiliki setengah juta pengikut. Sedangkan kaum Muslim tidak terpecah menjadi banyak sekte sebagaimana Kristen. Kebanyakan Muslim Suriah adalah Sunni. Ada juga kelompok Alawi, yang merupakan sempalan Syiah, berjumlah sekitar 12%. Ada juga kelompok kecil Ismailiyah dan Syiah 12, juga sedikit Druze. Sebagian besar orang Kurdi di Suriah adalah Muslim Sunni, meskipun beberapa yang Alawi dan beberapa mengklasifikasikan diri mereka sebagai Yezidi, agama yang telah berkembang dari Zoroastrianisme. Alawi dan Druze mengklasifikasikan diri sebagai orang Arab, seperti yang dilakukan banyak orang Kristen yang berafiliasi ke Gereja Orthodoks. Tapi Armenia Orthodoks terutama yang menetap di Suriah bagian utara memiliki sebutan lain. Mereka disebut Suryan (Suriah) dan ashuri (Assyrian).

Kurdi merupakan mayoritas di bagian utara Suriah, Aleppo, dan banyak ditemui di sepanjang perbatasan Turki-Suriah. Alawi ada di daerah pegunungan sepanjang pantai Suriah. Druze ada di daerah pegunungan, di barat daya Suriah. Mereka juga banyak yang tinggal di Dataran Tinggi Golan dan menjadi pengungsi ketika Suriah berperang dengan Israel pada tahun 1973. Pengikut Gereja Orthodoks Armenia terdapat di bagian tertentu di Aleppo, namun juga bisa ditemukan di wilayah Suriah yang lain.

Keragaman penduduk Suriah serong dipuji oleh para wisatawan (Al-Zubaidi 2007, 160). Namun semua warga negara pada prinsipnya adalah sama di hadapan konstitusi. Ideologi Partai Ba’th yang menjadi penguasa di Suriah, menganggap perbedaan agama dan etnis tidak relevan dan bahkan menjadi ancaman potensial. Semua partai di Suriah memiliki profil sekuler, misalnya Partai Komunis, Partai Sosialis Arab dan Partai Sosial Nasionalis Suriah. Suatu komunitas/ partai yang menekankan pada agama atau etnis dicurigai dan dipandang berbahaya, yang dianggap sebagai bagian dari kolonial di masa lalu. Di masa sekarang, hal serupa itu dianggap sebagai agenda imperialis.

Setelah Ikhwanul Muslimin hancur di Suriah pada awal tahun 1980, ada persesuaian yang dibangun antara rezim penguasa dengan Islam non-politik. Banyak sekali masjid baru yang dibangun dan kehadiran Islam pun terlihat dalam masyarakat perkotaan. Pelarangan penggunaan jilbab di sekolah, universitas, dan birokrasi publik, dihapus. Mayoritas Sunni dapat menikmati kebebasan beragama. Namun sebaliknya, umat Kristen menjadi gelisah ketika ada pemisahan gender dan penggunaan jilbab menjadi norma bagi Muslim Sunni. Dalam banyak hal, kesenjangan antara Muslim Suriah dan Kristen telah melebar. Pada saat yang sama, perbedaan di internal Kristen menjadi tidak penting. Ada banyak umat Kristen awam yang menyarakan opini bahwa semua hari raya besar Kristen harus dirayakan di waktu yang sama. Tidak boleh lagi ada pertengkaran teologis antara orang Kristen.

Agama yang dianut seseorang sangat penting di Suriah, bukan karena hukum pribadi, bukan juga karena identitas agama adalah satu-satunya penanda identitas yang tersedia. Latar belakang, daerah atau tempat asal, profesi, klan atau kelompok kerabat dan afiliasi politik sama-sama penting.

Setelah kemerdekaan pada akhir 60-an, migrasi di Suriah meningkat drastis. Penduduk pedesaan pindah ke kota-kota, dan orang-orang kota pindah dari ujung-ke ujung Suriah untuk melakukan pekerjaan atau karir baru. Pendidikan meningkat dalam dekade pertama pengambil-alihan kekuasaan oleh Partai Ba’th. Di universitas, laki-laki dan siswa perempuan dari berbagai latar belakang bertemu dan berbaur. Selama periode wajib militer, para pemuda dari seluruh wilayah Suriah telah saling ‘menggosok bahu’. Semua itu berperan dalam melepaskan sekat-sekat agama, bahasa dan etnis. Namun ada satu area yang membedakan antar warga negara, yaitu personal status law.

Personal Status Law di Suriah

Pada tahun 1953, Suriah meloloskan family law, atau lebih tepat lagi disebut personal status law (qānūn al-ahwāl al-shakhsiyya). Personal status law direvisi pada tahun 1975 dan direvisi lagi pada tahun 2009-2010. Konsep hukum pribadi merujuk pada Islam klasik, dan pertama kali digunakan oleh Menteri Hukum Mesir, Muhammad Qadri Pasha (Nasir 2002, 34). Dalam Kekaisaran Ottoman, sistematisasi dan kodifikasi family law dimulai pada akhir abad kesembilan belas. Tidak ada pengadilan yang diperuntukkan bagi family law, bahkan ada persepsi bahwa family law berstatus sebagai entitas hukum yang terpisah. Kodifikasi Ottoman didasarkan pada syariat tetapi juga dipengaruhi oleh Napoleon, yang menjadikan laki-laki sebagai kepala rumah tangga (Rabo 2005b, 75). Ketika Kekaisaran Ottoman bubar pada akhir Perang Dunia I, negara seperti Suriah menggunakan aturan yang bersumber dari ‘Europeanized’ (Kode Napoleon) dan family law yang berbasis agama Islam.

Personal status law mengatur semua umat Islam dalam hal pernikahan, mas kawin, cerai, suksesi dan warisan. Satu-satunya pengecualian adalah untuk Druze, yang memiliki pengadilan sendiri untuk menyelesaikan masalah perkawinan, mas kawin dan cerai. Begitu juga dengan umat Kristen di Suriah, yang dibebaskan untuk mengatur sendiri pertunangan, pernikahan dan perceraian.

Ketika Personal status law disahkan pada 1953, aturan suksesi, tahanan dan warisan, didasarkan pada aturan klasik Sunni mazhab Hanafi, yang harus diterapkan untuk semua warga Suriah, terlepas apapun agama ataupun sekte yang dianut. Secara umum, hukum Suriah memungkinkan seorang pria mendapatkan warisan dua kali lebih besar dibandingkan seorang wanita. Sampai awal abad kedua puluh satu, semua orang Suriah yang tunduk pada hukum warisan yang sama. Beberapa orang Kristen mengklaim bahwa pendeta diberikan pilihan untuk mengadopsi aturan warisan Kristen pada saat undang-undang itu dibuat pada awal 1950, tetapi toh mereka senang untuk mengikuti hukum negara yang meminggirkan wanita.

Pada tahun 2006 sebuah undang-undang baru disahkan oleh parlemen Suriah, yang memberikan berbagai gereja Katolik sebuah hukum waris baru. Perempuan dan laki-laki mendapatkan warisan dalam jumlah yang sama. Dan aturan ini, tidak mendapatkan persetujuan dari seluruh umat Kristen Suriah.

Hukum Syariah dan Hukum Gereja

Masyarakat Suriah sangat dipengaruhi oleh ideologi Partai Ba’th. Masalah-masalah pribadi kaum Muslim ditangani oleh pengadilan syariah khusus, sementara umat Kristen memiliki juga pengadilan gereja yang menangani masalah-masalah pribadi yang tidak diatur oleh negara. Meskipun pengadilan syariah merujuk pada fikih mazhab Hanafi, namun pengadilan ini tidak dapat disebut sebagai pengadilan Islam. Para hakim ketua adalah pejabat negara yang tidak mempelajari hukum Islam klasik, sebaliknya, mereka adalah lulusan hukum sekuler di Universitas Damaskus dan Aleppo.Di universitas ini, personal status law adalah subjek seperti hukum lainnya, dan menempatkan pemeluk Islam dan Kristen pada posisi yang sama.

Jika pengadilan syariah dikelola oleh pemerintah, maka tidak demikian halnya dengan pengadilan Druze dan Kristen. Pengadilan mereka dikelola oleh para pemimpin agama/ pendeta. Umat Kristen mengikuti aturan hukumnya masing-masing untuk pertunangan, pernikahan, perceraian, dan lainnya.

Pengadilan dan Rakyat

Pertama-tama, setiap perkawinan seorang Muslim (kecuali etnis Druze), harus didaftarkan di pengadilan syariah. Sebuah kontrak pernikahan (dalam bentuk standar) harus diajukan. Pada prinsipnya, pasangan pengantin dan wali harus muncul di pengadilan. Sedangkan untuk perceraian, seorang laki-laki hanya bisa menceraikan istrinya melalui pengadilan syariat, begitu pula halnya dengan perempuan (Carlisle 2007).

Kristen Suriah harus menikah di gereja. Pernikahan dianggap sebagai sakramen dan gereja merupakan elemen penting yang harus bertindak. Setelah dilangsungkan pernikahan di gereja, catatan pernikahan dikirim ke catatan sipil. Gereja juga memainkan peran yang besar jika ada pasangan suami istri yang ingin bercerai. Perceraian atau pembubaran perkawinan dianggap halal dalam Islam (walaupun dibenci dalam aturan agama), namun tidak demikian halnya dengan umat Kristen. Perceraian adalah hal yang tidak bisa diterima, kecuali karena adanya penyebab yang luar biasa. Beberapa gereja Orthodoks menerima perceraian, namun hanya untuk alasan tertentu. Alasan ingin bercerai karena tidak ada kecocokan dengan pasangan, tidak dapat diterima.

Sampai tahun 2006, semua warga Suriah harus mendaftarkan pembagian waris di pengadilan syariah. Akhirnya, umat Katolik di Suriah meminta kepada parlemen untuk mengeluarkan aturan baru. Dengan hukum tersebut, maka umat Katolik mendaftarkan pembagian waris bukan di pengadilan syariah, melainkan di gereja-gereja mereka, namun tetap harus lulus dalam persyaratan birokrasi.

Hukum baru ini mengatur beberapa hal. Pertama, anak laki-laki dan perempuan mendapatkan warisan yang sama besar. Kedua, baik suami maupun istri yang masih hidup boleh tinggal di rumah pasangannya hingga maut menjemput. Ketiga, seorang ibu dan ayah memiliki kedudukan yang sama dalam hak asuh anak.

Pada umumnya, kaum perempuan menyambut gembira hukum baru ini. Namun ada juga yang terang-terangan mengeluh karena hukum itu langsung diterapkan sehari setelah disahkan oleh parlemen. Ada pengacara yang menilai bahwa hukum itu tidak lulus dari penilaian kritis para ahli hukum.

Sejak awal 1950-an, semua pernikahan (dan kelahiran dan kematian) harus terdaftar, usia minimum untuk menikah telah ditetapkan pada 17 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria. Tapi kepatuhan terhadap proses ini (plural) kemudian berkembang seiring waktu, dan di beberapa wilayah Suriah, hal-hal seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian meniadakan keterlibatan negara (Rabo 1986, 88). Negara dianggap tidak punya hak untuk mengatur kapan menikahkan anak-anak mereka, atau poin-poin apa saja yang harus dimasukkan dalam kontrak pernikahan.

Dalam kurun waktu 30 tahun, Muslim Sunni menjadi lebih taat pada hukum. Banyak sekali Muslim Sunni mengatakan kepada saya bahwa personal status law di Suriah adalah bagian dari syariat dan dengan demikian berlaku kekal, valid, dan adil. Mereka bilang,”Mungkin para perempuan dan laki-laki memang tidak tahu atau tidak mengerti isi hukum, atau mungkin juga hakim tidak mengimplementasikan hukum dengan cara yang benar, namun hal ini sangat wajar, karena pada dasarnya manusia memiliki kekurangan.”

Kritik terhadap personal status law sangat langka atau jarang terdengar di kalangan Muslim Sunni. Sementara di antara orang-orang Kristen, kita sering mendengar kritik terbuka terhadap personal status law yang diterapkan kepada mereka.

Gereja Orthodoks Yunani, mungkin karena mereka adalah komunitas terbesar umat Kristen di Suriah, kerap menyuarakan pandangan yang menyebut bahwa family law telah usang. Di antara banyak Muslim Sunni, yang dipentingkan dalam family law adalah legitimasi hukum. Namun bagi Orthodoks, family law menjadi ranah yang dikritisi. ‘Kami hidup di abad 21, dan family law kami tidak berubah selama lebih dari 2000 tahun’ adalah komentar yang sering saya dengar di berbagai kesempatan. Dengan disahkannya hukum warisan untuk Katolik pada tahun 2006 mengejutkan banyak Orthodoks. Tidak semua sepakat bahwa perempuan dan laki-laki harus mendapatkan warisan yang sama, namun sebagian besar, setuju dengan perubahan ini. Umat Kristen Suriah menganggap bahwa family law dan pengadilan gereja adalah warisan budaya Suriah, dan menjaga warisan tersebut sangat penting, apalagi ketika Muslim Sunni yang lebih konservatif melebarkan pengaruh di masyarakat.

Gender, Seksualitas dan Kaitannya dengan Agama

Banyak narasumber Islam dan Kristen yang saya kenal sejak akhir tahun 1970-an yang menyebutkan terjadinya perubahan di ruang publik Suriah. Ketika mereka masih mahasiswa, perempuan tidak diizinkan untuk memakai jilbab di sekolah, universitas dan di tempat kerja publik. Hal ini dimaksudkan untuk menempa semua rakyat Suriah dalam persamaan. Sektor publik berkembang dan lebih banyak pemuda yang memiliki kesempatan untuk belajar di universitas. Proporsi perempuan di tempat kerja publik meningkat secara dramatis. Ketika IM hancur, rezim penguasa membuka pintu untuk Islam non-politik untuk meningkatkan kehadirannya di ruang publik. Jilbab boleh digunakan oleh kaum perempuan di sekolah, universitas dan tempat kerja.

Pada tahun 1949, semua referensi yang terkait dengan agama dihapus dari kartu identitas Suriah (Botiveau, 1998, 115). Kristen dan Islam di Suriah, tunduk di bawah konstritusi yang sama. Tapi ada hukum yang mengistimewakan pria Muslim dibanding Kristen. Pria Muslim boleh menikahi wanita Kristen, tetapi tidak sebaliknya. Jika seorang pria Kristen menikah dengan wanita Muslim, maka pria Kristen tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu. Wanita Kristen yang menikahi pria Muslim tidak diharuskan pindah agama, namun hukum yang harus diikuti dalam pernikahan tersebut adalah hukum yang diberlakukan untuk umat Islam dan anak-anak hasil perkawinan meninguti agama ayahnya.

Selain itu, ada wacana yang menggarisbawahi perbedaan status kesucian pernikahan antara Islam dan Kristen. Misalnya, pria Muslim bisa menceraikan atau menikahi wanita lain walaupun telah beristri. Hal ini membuat istri pertama dalam terjebak dalam situasi sulit, mereka harus memilih antara siap diceraikan atau patuh dalam ketidak-nyamanan. Saya mendengar komentar dari pendeta di Suriah bahwa ada banyak pria Muslim yang menikah bukan karena ingin membangun persahabatan/ikatan yang suci antara laki-laki dan perempuan, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan syahwat.

Saya juga mendengar komentar dari orang awam yang mendukung gagasan ‘kesucian’ pernikahan Kristen. “Kami bersahabat dengan istri-istri kami. Suami istri Kristen menghabiskan banyak waktu bersama-sama dalam hubungan yang tidak melulu soal seks. Keteguhan, kesetiaan, saling berbagi dalam pernikahan. Ketika pria Muslim mengunci kaum hawa mereka di dalam rumah, kami tidak melakukan itu.”

Wacana gender dan seksualitas selalu menjadi isu bagi umat Kristen dan Muslim di Suriah. Hanya saja, umat Kristen lebih sibuk mengkritik pria Muslim yang dianggap terlalu terpaku pada seks, begitu juga dengan perempuan Muslim yang menggunakan seks untuk mengendalikan suami-suami mereka. Dengan kata lain, Kristen mengritik kemunafikan pria Muslim.Tapi saya tidak pernah mendengar teman Muslim yang mengritik bahwa Kristen di Suriah secara moral jauh lebih rendah dari umat Muslim. Mengomentari pergaulan pria dan wanita Kristen yang bebas/ membaur, teman Muslim saya menyebut bahwa hal itu adalah tradisi – dan wajar saja bila umat Kristen melakukan hal itu. Memang ia menyebut Islam adalah agama yang unggul, namun ia tidak menyebut Kristen memiliki moral yang rendah. Bagi pria Kristen, hal yang ideal untuk melindungi kaum hawa adalah membiarkan mereka bergaul/ berbaur dengan laki-laki di ruang publik. Sementara yang ideal bagi pria Muslim adalah melindungi kaum hawa dengan melarang bergaul bebas dengan laki-laki lain.

Gender adalah ‘jantung’ perbedaan antara umat Islam dan Kristen di Suriah. Namun, salah satu slogan anti-rezim yang terdengar dalam demonstrasi merupakan alarm untuk menggarisbawahi betapa pentingnya bagi kita untuk melawan perpecahan sektarian. Bersatulah, bersatulah. Suriah adalah salah satu jiwa!

[1] Department of Social Anthropology , University of Stockholm, Sweden

Notes:

1. The Arabic terms will be explained below.
2. For illuminating discussion about the development of and debates about the concept,aqalliyyain an
Egyptian context, see Shami (2009).
3. For varied information about various aspects of contemporary Syria, seeRevue des Mondes Musulmans
et de la Méditerranée115–16 (2007) (La Syrie au quotidien) and Dupret et al. (2007).
4. For more information on‘minority–majority’relations in a specific Syrian location (Aleppo), see Rabo
(2005a). For more detailed discussion on Syrian legal pluralism and gender, see Rabo (2010, 2011a).
5. It is extremely difficult to state with certainty the size of the various Christian communities in Syria,
since religion is not noted in official statistics. In Pacini (1998) the approximate numbers given are
as follows: Greek Orthodox 503,000, Armenian Orthodox 112,000, Melkites 111,000, Syrian
Orthodox 89,000, Maronites 28,000, Armenian Catholics 25,000, Syrian Catholics 23,000, Assyrian
Church of the East 17,000, Roman Catholics 11,000, Chaldean Church 7000, Protestants 2000,
adding up to about 10% of the total population. Courbage (2007, 189), however, calculates
considerably fewer Christians, as does Robson (2011, 313), claiming that they do not exceed 6%.
6. It is extremely difficult to assess the number of Kurds in Syria since‘ethnicity’is not officially registered
in Syria. According to Pinto (2007, 259) Kurds constitute about 8% of the Syrian population. There are
estimates that Druze make up less than 5% and Alawites around 15%, but since there are no official
statistics for religious, ethnic or linguistic affiliation in Syria, any percentages are only estimations.
7. See Gorgas Terjel (2007) and the Syrian Studies Association Newsletter (Spring 2011), for more
information on Kurds and Kurdish activities.
8. See Migliorino (2007) for more information on Armenians and Armenian activities.
9. A notable exception is the Armenians, who have largely stayed away from national Syrian politics.
10. Most Syrians make little distinction between the ruling party and the regime. However, the importance
of the Baʿth party has decreased in the past decade. The scope and meaning of Alawi dominance in Syria
is contested among researchers. Some in a rather‘primordialist’position (e.g. van Dam 1981) see Syrian
politics as more or less the outcome of ethnic and sectarian struggles. But most see sectarian issues in a
more‘instrumentalist’vein, as the effect of political struggles. Derek Hopwood, notes that‘Sunnis tend
to exaggerate the Alawi nature of the regime’ but stresses that this perception in itself‘can foment
discontent’(Hopwood 1988, 98).
11. For more information on these so-called events (h.awādith), see Middle East Watch (1991, 8–21).
12. At the time of writing–June 2011–the outcome of the political turmoil in Syria and its ‘sectarian’
aspects is still very uncertain. In many ways, the turmoil can be said to be similar to that of the
events of the late 1970s and early 1980s. The regime is still claiming that any political protest is a
threat to the unity of the country. This time, however, the unrest does not seem to be instigated by
well-organized political groups. And the loose coalition of opposition groups is so far not using
popular ethno-religious stereotypes.
13. Developments of and debates over‘state’personal status law in Syria are–as noted at the beginning of
this article–relevant for how Christians debate‘minority–majority’relations, but are beyond the scope
of this article.
14. See Botiveau (1998, 114–16, 119) for discussion of how the Ottoman family code of 1917–according to
which all citizens became equal under one family law–was revoked in Syria 1919 in its stand against
the earlier Ottoman rule.
Islam and Christian–Muslim Relations 91
Downloaded by [dina yulianti] at 04:08 30 January 2015
15. The Druze are found in Lebanon and Syria, as well as in Israel and the Occupied Territories. Very little
research is available on the Druze in general and on their family law in particular (see, however, Layish
1982). Druze personal status law was set up in Lebanon in 1948 and in Syria in 1953, and in 1962 Israel
set up Druze family courts. In comparison with various Syrian Shiʿa groups–including Alawites –the
Druze have been successful in maintaining their legal particularity. On the other hand, the ethnic
religious boundary between Druze and Sunni is much less porous than that between Shiʿa and Sunni
Muslims. The Druze do not accept polygamy and a divorced couple can never remarry each other.
16. Although the Shiʿa Muslims have a different conception of divorce and inheritance, they are obliged to
follow the state (‘Sunni’) rules.
17. It should be stressed that, regardless of religious affiliation, there are still many women in rural Syria
(and in poor urban neighbourhoods) who do not receive the share stipulated in the law. The personal
status law is not the only regulation covering inheritance in Syria. All state land cultivated on a
habitual basis, or land that has been subjected to expropriation and later redistribution, should be
inherited equally between daughters and sons. However, few Syrians apply this law. Equal
inheritance of such agricultural land goes back to the Ottoman Empire’s Succession Law of 1913.
18. The Shariʿa faculties in the universities of Aleppo and Damascus can also be considered secular in that
they teach about Shariʿa‘by means of modern books’(Berger 1999, 115) rather than teaching Shariʿa
itself.
19. Syrian Christian citizens who marry abroad and move back to Syria must‘remarry’in church. Syrian
Muslims who have entered into a civil marriage abroad can have their marriage or divorce
recognized in Syria as long as it does not contravene Syrianordre public(see Rabo 2010).
20. I have no way of knowing whether this story is true, but I heard it repeated a number of times. Some
Christian lawyers and lay people claimed that the law was so easily changed in order to pave the
way for Muslims to demand a more patriarchal and‘religious’personal status law.
21. The very idea of one eternal and unchanging‘Shariʿa’is of course a myth, but a myth that is successfully
propagated both by those who want drastic changes in the law to reveal the‘real’Shariʿa and by those
who want no changes at all.
22. This comment is not totally correct, since the code was revised 2004 and some of the more archaic parts
were removed.
23. In 1945 a similar project was unsuccessfully proposed in Egypt by various Christian and Jewish
communities (Botiveau 1998, 120)
24. In the summer of 2010, however, the Syrian minister of education passed a decree banning all teachers
from covering their faces by wearing a niqab or similar attire, but this decree was revoked in March 2011
at the instigation of a well-known Sunni legal scholar. This was at the very moment that popular
demonstrations started to take place in Syria. Women’s clothing obviously remains a battleground in
Syria as in many other countries.
25. I am not arguing that Syrians no longer fall in love or have sexual relations across the religious divide,
but I am told that young people keep such relations much more secret today.
26. Syrian Muslims are prevented by law from converting to another religion.
27. Persons of different religions do not inherit from each other. A Christian woman will not inherit from her
Muslim husband and vice versa. She cannot bequeath to her own children and nor can they inherit from
her.
28. The Syrian Muslims I have heard advocating a totally non-religious family law are typically leftist
radicals and are in general wary of the increased religious influence in public life. In 1938, the
French Mandate authorities tried to impose a law making it possible for Muslims to change their
religion and for a Muslim woman to marry a non-Muslim. There was a great uproar from many
Syrian politicians and from Islamic scholars, and the law was never applied (Botiveau 1998, 114–15).
29. This assertion is actually not quite true. See for example Jessica Carlisle (2007, 2008) on the operation of
a Shariʿa court in Damascus.
30. For deeper discussion on the way self-styled Sunni Muslim conservatives in Aleppo talk about male–
female relations, see Rabo (2005a, 82–6).
31. It is important to underline that there are many urban Sunni Muslims who are not preoccupied with the
issue of veiling. In the north-eastern part of Syria, for example, women typically do not cover their hair
or wear clothes associated with Islamic modesty for work but instead for leisure and as elegant evening
wear. Self-styled conservative Muslim men in Aleppo have told me that their wives did not veil when
they married but that they have changed due to the social environment.
32. Wahad, wahad. Suriyya sha’ab wahaddoes not make for easy translation.Wahadplays on the idea both
of unity and oneness.
92 A. Rabo
Downloaded by [dina yulianti] at 04:08 30 January 2015
References
Al-Zubaidi, Layla. 2007. Le festival contesté: mettre en scène la diversité. InLa Syrie au présent: reflets
d’une société, ed. Baudouin Dupret and et al, 153–61. Paris: Sindibad Actes Sud.
Berger, Maurits. 1999. Theshari’aand legal pluralism: the example of Syria. InLegal pluralism in the Arab
world, ed. Baudouin Dupret and et al, 113–24. The Hague: Kluwer Law International.
Botiveau, Bernard. 1998. The law of the nation-state and the status of non-Muslims in Egypt and Syria. In
Christian communities in the Middle East, ed. Andrea Pacini, 111–26. Oxford: Clarendon Press.
Carlisle, Jessica. 2007. Raconter des histoires: l’arbitrage des demandes de divorce judiciaire à Damas. InLa Syrie
au présent: reflets d’une société, ed. Baudouin Dupret and et al., 661–70. Paris: Sindibad Actes Sud.
Carlisle, Jessica. 2008. From behind the door: a Damascus court copes with an alleged out of court marriage.
InLes métamorphoses du mariage au Moyen-Orient. ed. Barbara Drieskens, 59–74. Beirut: Presses
de l’Ifpo.
Courbage, Youssef. 2007. La population de la Syrie. InLa Syrie au présent: reflets d’une société, ed.
Baudouin Dupret, Zouhair Ghazzal, Youssef Courbage and Mohammed Al-Dbiyat, 177–213. Paris:
Sindibad Actes Sud.
Drieskens, Barbara. 2008. Changing perceptions of marriage in contemporary Beirut. InLes métamorphoses
du mariage au Moyen-Orient. ed. Barbara Drieskens, 97–118. Beirut: Presses de l’Ifpo.
Dupret, Baudouin, Zouhair Ghazzal, Youssef Courbage, and Mohammed Al-Dbiyat eds. 2007.La Syrie au
present: reflets d’une société. Paris: Sindibad Actes Sud.
El Alami, Dawoud S., and Doreen Hinchcliffe. 1996.Islamic marriage and divorce laws of the Arab world.
London: Kluwer Law International.
Gorgas Terjel, Jordi. 2007. Les kurdes de Syrie: de la‘dissimulation’ àla‘visibilité’?Revue des Mondes
Musulmans et de la Méditerranée,115–16 (La Syrie au quotidien): 117–33.
Hopwood, Derek. 1988.Syria 1945–1986: politics and society. London: Unwin Hyman.
Layish, Ahron. 1982.Marriage, divorce and succession in the Druze family. Leiden: Brill.
Lorieux, Claude. 2001.Chrétiens d’Orient en terres d’islam. Paris: Perrin.
Middle East Watch. 1991.Syria unmasked: the suppression of human rights by the Asad regime.
New Haven, CT: Yale University Press.
Migliorino, Nicola. 2007.‘Kulna suriyyin’? The Armenian community and the state in contemporary Syria.
Revue des Mondes Musulmans et de la Méditerranée115–16 (La Syrie au quotidien): 97–115.
Nasir, Jamal. 2002.The Islamic law of personal status. 3rd ed. The Hague: Kluwer Law International.
Pacini, Andrea, ed. 1998.Christian communities in the Middle East. Oxford: Clarendon Press.
Pinto, Paulo. 2007. Les Kurdes en Syrie. InLa Syrie au présent: reflets d’une société, ed. Baudouin Dupret
and et al., 257–67. Paris: Sindibad Actes Sud.
Rabo, Annika. 1986.Change on the Euphrates: villagers, townsmen and employees in northeast Syria.
Stockholm: Stockholm Studies in Social Anthropology.
Rabo, Annika. 2005a.A shop of one’s own: independence and reputation among traders in Aleppo. London:
I.B. Tauris.
Rabo, Annika. 2005b. Family law in multicultural and multireligious Syria. InPossibilities of religious
pluralism. ed. Goran Collste, 71–87. Linköping: Linköping University Electronic Press.
Rabo, Annika. 2010. Syrian transnational families and family law. InFrom transnational relations to
transnational laws. ed. Anne Hellum and et al., 29–49. Farnham, UK: Ashgate.
Rabo, Annika. 2011a. Legal pluralism and family law in Syria. InThe governance of legal pluralism:
empirical studies from Africa and beyond, ed. Werner Zips and Markus Weilenmann, 213–34.
Munster: Lit-verlag.
Rabo, Annika. 2011b. Conviviality and conflict in contemporary Aleppo. InPower and powerlessness:
religious minorities in the Middle East, ed. Anh Nga Longva and Anne Sofie Roald, 123–47.
Leiden: Brill.
Robson, Laura. 2011. Recent perspectives on Christianity in the modern Arab world.History Compass9, no.
4: 312–25.
Shachar, Ayelet. 2001.Multicultural jurisdictions: cultural differences and women’s rights. Cambridge:
Cambridge University Press.
Shami, Seteney. 2009.’Aqalliyya:‘minority’in modern Egyptian discourse. In Words in motion: toward a
global lexicon, ed. Carol Gluck and Anna Lowenhaupt Tsing, 151–73. Durham, NC: Duke University
Press.
Syrian Studies Association Newsletter. 2011. Special issue on the Kurds of Syria. Spring.
Van Dam, Nikolaus. 1981.The struggle for power in Syria. London: Croom Helm.