Diskursi Akhlak Islam dalam Keamanan Lingkungan Hidup[1]
Oleh: Ica Wulansari[2]
Abstract
The problem of environmental damage in ethics perspective is about morals. The emergency issues of environmental damage is based on anthropocentrism. Furthermore, anthropocentrism supported by the scale of economic growth driven by capitalism. While capitalism needs natural resources, on the other hand, environment`s right are neglected. The resistances of anthropocentrism are biocentrism and ecocentrism. Ethics constitute values which are universally accepted. Meanwhile, Islam teaches living harmony with nature. In Koran, the Creator prioritizes environment for mankind usage. Human being is considered as the guard for nature (khalifah). Human being is not the ruler of nature. Environmental constraints have bad broad effects on human life. Scarcities of environmental resources are often considered to be a potential source of violent conflict.
Keywords: Ethics, Morals, Environment, Security.
Pendahuluan
Isu lingkungan hidup merupakan isu penting terkait dengan persoalan kemanusiaan dan peradaban umat manusia. Kerusakan lingkungan hidup mengalami laju yang cepat seiring dengan dorongan pembangunan. Dalam pembangunan, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai indikator kesuksesan sebuah negara. Seolah konsep pembangunan berbentuk modernisasi dianggap secara universal sebagai bentuk pembangunan yang ideal. Namun, pada praktiknya akibat modernisasi, laju pertumbuhan industri meningkat akibat keharusan peningkatan investasi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Maka, dampak buruk akibat pengejaran pertumbuhan ekonomi berdampak kepada eksploitasi alam dan sumber daya alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
Sejak bergulirnya isu kerusakan lingkungan hidup, para ahli termasuk para ahli agama berusaha meperbaiki tatanan kehidupan yang semakin hari semakin ironis keadaannya. Tantangan terberat yang harus dijawab saat ini adalah konsumerisme dan materialisme berlebihan oleh masyarakat dunia. Dampak konsumerisme dan materialisme berlebihan telah mengganggu keselarasan ekosistem alami yang saat ini di ambang kehancuran.[3] Perilaku manusia berbanding lurus dengan kondisi alam. Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri.[4]
Etika lingkungan ini ditujukan kepada seluruh manusia tanpa memandang latar belakang agama, budaya, negara, profesi dan jenis kelamin. Ajaran universal Al-Quran tentang beberapa etika yang berhubungan dengan etika lingkungan ini meniscayakan manusia di seluruh dunia untuk bangkit bersama memahami hakikat alam raya, yang akan mempengaruhi pola interaksi yang harmonis dengan lingkungan, demi terciptanya kembali bumi yang sehat dan layak untuk dapat ditinggali manusia. Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani ethikos yang artinya karakter/adat istiadat. Tetapi, etika sebagai cabang ilmu filsafat tidak bisa hanya dipahami sekedar adat/ sopan santun. Etika adalah filsafat moral atau ilmu akhlak. Dalam bahasa Arab, etika disebut “ilm al-akhlaq”.[5]
Ditinjau dari perspektif Islam, isu lingkungan hidup mendapat perhatian penting berdasarkan isyarat dalam ayat-ayat yang termuat dalam Al-Quran. Kerusakan lingkungan hidup merupakan ulah manusia yang tidak mampu mengemban amanah sebagai pemimpin (khalifah) di dunia. Kekhalifahan yang diisyaratkan Al Quran dalam surat al-An`am (6):165: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Etika Lingkungan Hidup
Etika lingkungan hidup muncul dalam padangan green politic. Paham green berupaya menempatkan isu lingkungan hidup agar mendapatkan politisasi. Umumnya paham green memiliki pandangan mengenai kelangkaan lingkungan hidup akibat dorongan market. Hal ini menjadi ‘tragedy of the commons’ akibat keegoisan karena rasionalitas ekonomi yang melakukan eksploitasi mencakup udara, air dan lainnya oleh sektor privat dalam jangka waktu tertentu.[6] Paham green menyoroti ancaman keamanan akibat kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat etika antroposentrisme di tengah meningkatnya peradaban modern berbentuk industrialisasi.
Etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya. Etika antroposentrisme merupakan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern.[7]
Ada tiga kesalahan fundamental dari cara pandang antroposentrisme. Pertama, manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial, yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Manusia, tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Jadi, yang disebut norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Ketiga, kesalahan cara pandang pada antroposentrisme diperkuat lagi oleh cara pandang atau paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang Cartesian dengan ciri utama mekanistis-reduksionistis. Dalam paradigma ilmu pengetahuan yang Cartesian, ada pemisahan tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek.[8]
Paham antroposentrisme mendapatkan perlawanan melalui etika lingkungan hidup yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme dan ekosentrisme. Kedua pandangan ini memberikan penghargaan terhadap etika masyarakat adat, yang dipraktikkan oleh hampir semua suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern. Biosentrisme adalah teori yang menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral.[9] Menurut teori biosentrisme, subyek moral adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu Benda-benda abiotik lainnya, seperti batu, udara, air, tanah dan semacamnya bukan merupakan subyek moral pada dirinya sendiri. Berdasarkan argumen itu, sebagai pelaku moral manusia dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral atas keberadaan dan kelangsungan hidup semua organisme karena mereka adalah subyek moral.[10]
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan hidup biosentrisme. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya, memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas biotis. Sementara ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Salah satu teori ekosentrisme adalah etika lingkungan hidup yang popular dikenal sebagai Deep Ecology. Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, tahun 1973. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep ecology memusatkan perhatian kepada semua spesies termasuk spesies bukan manusia.[11] Arne Naess sangat menekankan perubahan gaya hidup karena melihat krisis ekologi yang kita alami sekarang ini berakar pada perilaku manusia, yang salah satu manifestasinya adalah pola produksi dan konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ekologis, tidak ramah lingkungan. Bagi Naess, krisis lingkungan hidup sesungguhnya disebabkan oleh faktor yang lebih fundamental yaitu kesalahan pada cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia dalam alam (Keraf, 2010:98-100).
Akhlak terhadap Lingkungan Hidup
Etika lingkungan hidup merupakan filosofi universal. Islam pun memiliki perspektif penghargaan terhadap lingkungan hidup. Namun tatanan perilaku dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak. Sayangnya, mayoritas umat Islam menjalani ajaran agama sebatas yang bersifat ritual. Sehingga isu lingkungan hidup dianggap terpisah dari prinsip Islam. Padahal jika dipahami lebih jauh, ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis merupakan pedoman untuk menjalani hidup yang lebih baik. Jika saja dipahami semangat Al-Quran yang kerap memerintahkan manusia untuk lebih mendalami harmonisasi hubungan antara Tuhan, alam dan manusia, tentu tidak akan ada krisis spiritual, sosial dan lingkungan yang menjadi penyakit manusia modern saat ini. Oleh sebab itu, sebagai basis yang menjadi sumber permasalahan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan yang kurang harmonis yang berimbas pada kurang harmonisnya hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam, penting sekali untuk mengupas etika teologi dengan kajian etika lingkungan yang dideskripsikan Al Quran.[12]
Berdasarkan ‘A Survey Of Global Islamic Environmentalism’ oleh Leiden Institute Islamic Environmentalism yang merumuskan artikel dari sejumlah teori dan praktek yang menggambarkan inspirasi berdasarkan sumber-sumber Islam (Al Quran, hadis, kajian hukum dan filosofi tradisi) dan kajian bagi etika lingkungan hidup Islam secara spesifik. Perspektif Islam mengenai krisis lingkungan hidup pernah dirumuskan oleh Seyyed Hossein Nasr menuliskan bahwa krisis lingkungan hidup. Nasr berargumen bahwa dunia Barat memiliki pandangan antroposentris, materialistik dan eksploitatif terhadap alam. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia saat ini cenderung memiliki daya rusak terhadap lingkungan hidup. Paradigma antroposentris kering nilai spiritual memiliki implikasi logis terhadap ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta perilaku manusia yang tidak menghormati eksistensi alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.[13]
Beberapa tahapan yang direkomendasikan oleh pemikir environmentalis Islam adalah: teologi dan hukum Islam; praktek konservasi meliputi: pengelolaan sumber-sumber tanah dan air maupun konservasi alam; daya mistis-filosofi mengenai alam atau eco filosofi; reformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (pengetahuan etis Islam); reformasi social politik (Eco-islamist); gaya hidup ramah lingkungan hidup (Green Deen); keuangan dan ekonomi. Etika ekologi mengenai aplikasi ekologi dan kerjasama antar umat manusia di seluruh dunia dalam usaha konservasi lingkungan. Sebagai pengemban amanah konservasi alam, manusia dituntut untuk melakukan perbaikan atas kerusakan yang dibuatnya karena kerusakan tersebut pada dasarnya merupakan pelajaran dari Allah agar manusia menyadari kesalahannya lalu kemudian memperbaikinya sebagaimana tercantum dalam QS.Al-Rum (30):41: “Telah tampak kerusakan di darat, di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar meraka kembali (ke jalan benar)”.[14]
Dalam kajian ekologi dalam agama Islam, tokoh tradisionalis bernama Seyyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memandang bahwa permasalahan ekologi harus dilihat secara komprehensif, baik dari perspektif agama, ilmu sosial maupun ekologi. Dengan pemahaman manusia terhadap interkoneksi antara Tuhan, alam dan manusia, maka manusia menyadari akan kesatuannya dengan alam raya, karena alam raya beserta isinya adalah manifestasi dari citra Tuhan itu sendiri. Jika memahami alam sebagai manifestasi dari citra-Nya, manusia tidak akan berlaku sembarangan, karena dengan prinsip Tauhid, Alam akan menjadi sarana spiritual bagi manusia untuk lebih mengenal Tuhan. Nasr memandang bahwa salah satu tanggung jawab utama manusia adalah menjaga kelestarian lingkungan semesta, karena dunia merupakan refleksi dari transedensi Tuhan.
Dari beberapa ayat yang berhubungan dengan etika manusia terhadap lingkungan, Nur Arfiyah Febriani merumuskan bagaimana Al-Quran mendeskripsikan langkah praktis tentang manajemen lingkungan yang dapat diaplikasikan manusia, di antaranya yaitu 1) Memahami hakikat alam raya sebagai sesama makhluk Tuhan, 2) Menyadari integrasi antara manusia dan alam raya, 3) Menghormati ekistensi alam raya, 4) Menggunakan sumber daya alam dengan bijak, 5) Menerapkan etika ekologi dan kerjasama antarumat manusia di seluruh dunia, dalam usaha konservasi lingkungan, 6) Menaati tatanan hukum yang dibuat oleh para pemegang kebijakan.[15]
Allah mengingatkan manusia agar jangan memandang alam hanya sebatas dari apa yang manusia ketahui, karena penilaiannya tersebut akan sangat sempit dan subyektif. Oleh sebab itu, Allah memberikan petunjuk-Nya kepada manusia agar mau memperhatikan isyarat-isyarat-Nya, seperti QS. Al-Hajj (22):18: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.[16]
Hubungan antara Tuhan, alam dan manusia mengacu pada hubungan struktural yaitu tuhan sebagai pencipta manusia dan alam raya dan Tuhan sebagai pemilik manusia serta alam raya serta hubungan fungsional Tuhan sebagai pemelihara manusia dan alam raya, seperti yang diisyaratkan dalam QS. Al-Ankabut (29):61: “dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”.[17]
Al-Quran memuat ilmu pengetahuan berdasar sabda dari Allah yang dapat menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat modern saat ini. Beberapa hal yang termuat dalam Al Quran: Ekosistem universal berdasarkan konsep Allah yaitu ‘satu semesta’; keseimbangan ekologis menjadi harmoni dalam semesta. Kelangkaan sumber daya harus dibagi secara adil; keragaman biologis adalah sama dengan keragaman ciptaan sang pencipta, bentuk kekaguman pada sang pencipta dan environmentalisme merupakan warisan untuk bumi. Hal ini merupakan prinsip umum yang bekerja berdasarkan firman Allah dan menjadi dasar Islam untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini seharusnya dapat berkontribusi untuk strategi pembangunan berkelanjutan dan dapat membantu ilmu pengetahuan modern yang mengubah manusia berperilaku dengan lingkungan hidup.
Aplikasi akhlak lingkungan hidup menurut Islam diterapkan oleh kelompok Muslim di Amerika Serikat yang membuat gerakan dikenal dengan Green Deen dengan gerakan lingkungan hidup bagi muslim. Saat ini tengah dikembangkan menjadi gerakan lingkungan hidup Islam. Green Deen merupakan pemikiran Ibrahim Abdul-Matin, kewarganegaraan Amerika Serikat yang menulis buku berjudul “Green Deen: What Islam teaches about Protecting the Planet” pada tahun 2010. Dalam buku ini, Abdul Matin mengangkat pemikiran Faraz Khan, seorang ahli mengenai Islam dan lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1) Memahami keesaan Tuhan dan ciptaan-Nya (Tauhid); 2) Melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja; 3) Menjadi penjaga (khalifah) di bumi; 4) Menjaga kepercayaan Tuhan (amanah); 5) Berjuang menegakkan keadilan (`adl); 6) Menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan).[18]
Abdul Matin dalam bukunya menuliskan bahwa Allah dalam Al Quran menyatakan dengan tegas: “Tetapi janganlah berlebihan, karena Allah tidak menyukai orang yang berlebihan” (Q.S. al-A`raf (7):31). Manusia telah dikaruniai planet yang penuh kebaikan, lengkap dengan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Suatu hari, manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas cara mengelola alam dan mengatur diri sendiri. Sebuah sistem yang didasarkan atas limbah dan konsumsi berlebihan telah mengubah manusia dari penjaga menjadi penguasa alam. Maka perilaku manusia terhadap alam mendapatkan ‘nilai amalan’ dari Allah dan menjadi kewajiban umat Muslim untuk menghargai alam dan menjaga lingkungan hidup. Islam menjadi prinsip agama hijau, yang meyakini bahwa kesatuan manusia dengan planet ini (tauhid) dan bahwa keadilan (`Adl) terhadap lingkungan berarti termasuk satwa dan tumbuhan berarti keadilan terhadap manusia juga. Sama halnya, ketidakadilan kepada manusia. Sebagai contoh, ketika polusi meningkat, kesehatan manusia pun terganggu.[19]
Penghijauan masjid menjadi semacam gerakan untuk membangun kesadaran umat Islam agar bertindak ramah lingkungan hidup. Di Inggris, Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu ekologi dan lingkungan menerapkan istilah masjid lingkungan (eco-mosque). Sekelompok mahasiswa di Abu Dhabi telah merancang masjid yang tidak mengambil tenaga listrik dari jaringan. Mereka menggunakan panel surya, menara angina, pendingan geothermal, alat penaung, turbin angin dan ventilasi alami. Masjid di Singapura memiliki sebuah ‘dinding hijau’ berupa tanaman merambat. Masjid hijau lainnya, masjid al-Markaz al-Najmi di Manchester, Inggris memakai fitur yang sama dengan masjid Abu Dhabi seperti panel surya, pemanas bawah lantai dan bohlam hemat energy. Keberadaan Masjid Hijau Ash-Shaheed Islamic Center di Charlotte, North Carolina, Amerika Serikat memberi contoh dimana masjid yang menerima kebinekaan jamahnya dan menekankan kecintaannya pada lingkungan hidup sehingga menjadi masjid yang jamaahnya tidak memproduksi gas rumah kaca ketika berada di masjid.[20]
Prinsip-prinsip agama hijau menuntut umat Islam untuk mengelola dan mendistribusikan air secara adil dan merata. Sebab, kehidupan manusia tergantung terhadap air sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Semua manusia memiliki hak yang sama atas air. Keadilan mengelola air merupakan jalan utama dan mendasar untuk mewujudkan tauhid, keadilan (`adl) dan keseimbangan (mizan). Nabi Muhammad saw bersabda “Ada tiga orang yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kebangkitan, tidak pula dibersihkan oleh-Nya, dan mereka itu akan ditimpa siksa yang berat. Salah satu mereka adalah orang yang memiliki air berlimpah tetapi enggam memberikannya kepada para musafir”.[21]
Dalam Islam terdapat kewajiban berwudu sebelum menunaikan ibadah wajib salat. Berwudu sebagai upaya membersihkan najis dan hadis kecil maupun hadas besar. Maka, air memiliki peran penting bagi umat Islam. Air merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran (ayat) Allah di alam semesta. Air mengekspresikan perjanjian atau kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada kaum muslim. Sebab, kaum muslim membutuhkan air untuk menyucikan diri sebelum menunaikan shalat dan bercengkrama dengan Tuhan. “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air” (Q.S. al-Anbiya (21):30). Selain berusaha memelihara wudu, muslim yang menegakkan prinsip Agama Hijau akan memperhatikan air yang digunakannya untuk berwudu. Tidak membuang air yang sangat berharga (Matin, 2010: 204-208). Dalam beberapa ayat Al-Quran, tersirat perintah Allah untuk bersyukur dan memelihara air. Dalam Q.S. Al-Hijr (15):22:”Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kalian dengan (air) itu dan bukanlah kalian yang menyimpannya”.
Keamanan Lingkungan Hidup
Pada tahun 1996, dalam doktrin Departemen Pertahanan AS dengan ‘preventative defense’ konsep yang termasuk environmental security sebagai dasar kerjasama militer terkait isu nuklir, dan standar pembangunan bervisi lingkungan hidup. Environmental security menurut Warren Christopher merupakan Menteri Luar Negeri AS pada masa presiden Bill Clinton, menurut Departemen Luar Negeri AS: “Lingkungan hidup berpengaruh mendalam terhadap kepentingan nasional melalui dua cara, pertama, tekanan lingkungan hidup melewati batas negara dan samudera yang mengancam secara langsung terhadap kesehatan, kemakmuran dan pekerjaan bagi warga AS. Kedua, menempatkan isu lingkungan hidup secara berkala untuk meraih stabilitas politik dan ekonomi dan untuk mengejar tujuan strategis di belahan dunia.” Enviromental security menjadi bagian strategi keamanan nasional.[22]
Logika dalam semua sektor lingkungan hidup terhadap sektor keamanan lainnya (militer, ekonomi, politik, kemasyarakatan), para ahli sepakat hubungan konfliktual dari kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Sehingga disebut ancaman tanpa musuh.[23] Masalah lingkungan dapat menjadi sumber konflik politik antara negara dan dapat berkontribusi terjadinya kekerasan antara negara-negara. Thomas Homer- Dixon mengidentifikasi masalah-masalah lingkungan yang berpotensi menimbulkan konflik yaitu: pemanasan efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi, penurunan lahan pertanian, polusi penyediaan air, dan penurunan tangkapan ikan. Hommer-Dixon memfokuskan dua pertanyaan untuk analisanya. Pertama, apa dampak sosial akibat perubahan lingkungan? Kedua, bagaimana dampak sosial berpengaruh terhadap potensi konflik.[24] Masalah lingkungan hidup dapat menyebabkan risiko hilangnya tingkat peradaban, dimana kembalinya kehidupan barbar yang seharusnya dapat ditanggulangi.[25]
Keamanan lingkungan hidup adalah proses secara damai untuk mengurangi kerawanan manusia yang disebabkan oleh degradasi lingkungan hidup sebagai akar penyebab degradasi lingkungan hidup dan ketidakamanan manusia.[26] Keamanan lingkungan hidup sangat mempengaruhi pemenuhan kemanan manusia. Dampak dari perubahan iklim seperti migrasi besar-besaran, kelaparan, hancurnya lahan pertanian menunjukkan angka yang signifikan dan skala imbas yang sangat besar. Krisis lingkungan dibayangi arus globalisasi ekonomi dipaksa untuk tidak lagi menempatkan faktor keamanan manusia sebagai prioritas utama. Keamanan manusia dengan fokus perhatian pada keamanan umat manusia berfokus pada keamanan nasional. Apakah isu lingkungan merupakan isu nasional? Atau isu internasional?
Keamanan lingkungan hidup adalah konsep yang menganggap ancaman terhadap lingkungan di dalam sistem kehidupan global sama pentingnya dengan ancaman konflik bersenjata. Kasus yang termasuk dalam fokus lingkungan dan masalah ancaman bertahan hidup bagi umat manusia menurut dugaan, meningkat dikarenakan degradasi lingkungan hidup.[27] Pada prinsipnya terdapat hubungan ancaman terhadap alam semesta sebagai keamanan lingkungan hidup, yaitu meliputi:[28] 1) Ancaman kehidupan manusia dari lingkungan hidup secara alamiah yang tidak disebabkan oleh aktivitas manusia. Contohnya gempa bumi maupun letusan gunung berapi; 2) Ancaman dari aktivitas manusia terhadap sistem alami atau struktur planet dimana perubahan yang ada dapat mengancam bagian dari peradaban.Contohnya pada tingkat global seperti emisi gas rumah kaca, dampak dari CFC`s dan emisi industri terhadap lapisan ozon; 3) Ancaman dari aktivitas manusia terhadap sistem alami atau struktur planet yang tidak nampak sebagai ancaman terhadap peradaban. Contohnya penipisan dari beragam sumber-sumber mineral.
Hubungan antara perubahan lingkungan (termasuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim) dan konflik dapat dilihat ke dalam dua dimensi yaitu perubahan lingkungan sebagai akibat dari konflik di dalam masyarakat. Biasanya terkait dengan gelombang migrasi penduduk yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan di tempat asal. Para pendatang tidak saja mengkonsumsi sumber daya (wilayah, air dan pangan) yang sama dengan penduduk asli. Sehingga memunculkan konflik di wilayah pengungsi terkait perebutan sumber daya pangan, air dan tempat hidup. Sehingga masalah berikutnya adalah padatnya penduduk akan berpengaruh juga terhadap distribusi pangan dan air. Singkatnya, tambahan penduduk menambah tekanan terhadap sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Ancaman konflik baru dapat mempertajam konflik laten yang sudah ada. Konflik tersebut bias terjadi lokal antara pendatang atau pengungsi dan penduduk local di dalam suatu negara dan akan bersifat internasional ketika kelompok pengungsi tersebut sudah bersinggungan dengan kelompok lain di luar wilayah negaranya.[29]
Maka, apabila Islam ingin memasukkan nilai dalam kajian keamaan lingkungan hidup perlu formula untuk memecahkan potensi ancaman dan ancaman yang diakibatkan oleh lingkungan hidup. Ancaman lingkungan hidup yang banyak mendapatkan sorotan adalah ancaman akibat perubahan iklim. Nilai-nilai islam pun perlu memasuki ranah pemahaman terhadap ancaman perubahan lingkungan hidup. Kajian-kajian terkait keamanan lingkungan hidup sudah selayaknya dapat hadir dalam kelompok-kelompok Islam. Diskursi ataupun perdebatan akademisi muslim maupun kelompok-kelompok Islam seharusnya dapat terangkat dengan harapan agar kajian ini menjadi wadah ilmu dan memberikan manfaat bagi umat. Sehingga umat terbiasa menggunakan akalnya untuk berpikir, bersikap kritis terhadap isu lingkungan hidup dan menggerakkan potensi umat untuk bersama-sama menanggulangi ancaman konflik akibat perubahan iklim.
Kesimpulan
Menjadi tugas besar bagi manusia khususnya umat Muslim untuk menjaga lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan isu penting menyangkut keberlanjutan hidup umat manusia. Isu lingkungan hidup belum dianggap setara dengan ancaman keamanan tradisional. Ancaman lingkungan hidup bersifat laten, tidak terlihat tetapi apabila terjadi maka mengancam kehidupan umat manusia secara masif. Maka, sudah selayaknya isu lingkungan hidup mendapatkan sekuritisasi dan politisasi agar mendapat perhatian dan masuk dalam agenda elit politik dan kebijakan agenda kerja pemerintah. Isu lingkungan hidup tidak berdiri sendiri karena terkait dengan sektor politik, ekonomi hingga sosial. Apabila mendapatkan pengabaian secara politis, maka isu lingkungan hidup hanyalah dianggap ‘pelengkap derita’ untuk memuaskan keserakahan kaum kapitalis.
Paradigma penghargaan terhadap lingkungan hidup pun terkait erat dengan sosial. Apabila pemahaman parsial hanya faktor ekonomi semata, maka kerusakan lingkungan hidup akan semakin bertambah parah. Maka, kearifan lokal seharusnya dianggap sebagai warisan peradaban. Terbukti masyarakat adat lebih mampu menghargai dan menjaga alam. Maka, pemahaman environmentalis perlu memberikan tempat kepada kearifan lokal sebagai bentuk penghargaan terhadap upaya masyarakat adat menjaga alam sekaligus warisan ilmu pengetahuan. Sudah saatnya, negara-negara berkembang termasuk Indonesia memberikan tempat terhadap kearifan lokal sebagai kekayaan budaya dan ilmu pengetahuan khas yang tidak selalu harus mengikuti konsep universal Barat yang sepihak mengklaim kebenaran ilmiah.
Selain itu, akhlak lingkungan hidup dari perspektif Islam perlu dikembangkan. Sehingga Islam tidak hanya dipandang sebagai agama saja, tetapi sebagai solusi dalam kehidupan semesta. Dalam Islam, terkandung ilmu dan isyarat Allah yang Maha mengagumkan terhadap alam. Maka, agar ajaran Islam mengenai penghargaan terhadap lingkungan hidup harus dipromosikan dan terdapat aplikasi yang sederhana sehingga menjadi konsep bahkan mungkin menjadi teori yang sepadan dengan etika lingkungan hidup yang berlaku universal. Islam perlu menampilkan citra sebagai bagian solusi dalam lingkungan hidup. Hal tersebut perlu ditunjukkan oleh pemikiran akademisi, kebijakan pemerintah maupun tindakan masyarakat yang merupakan umat Islam yang pro terhadap lingkungan hidup. Contoh gerakan green deen merupakan upaya aplikatif dan promosi konsep Islam terhadap lingkungan hidup yang memberikan solusi dan menunjukkan Islam erat terkait dengan ilmu pengetahuan dan menjadi referensi pemahaman environmentalisme melalui agama. Islam identik dengan warna hijau maka sudah selayaknya Islam menjadi tuntunan untuk agama hijau, ajaran agama yang memberikan solusi permasalahan lingkungan hidup.[]
Daftar Pustaka
Abdul-Matin, Ibrahim. 2010. Green Deen. Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam. Zaman. Jakarta.
Alagappa, Muthiah. 1998. Asian Security Practice: Material and Ideational Influences. Stanford University Press. California.
Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Rosda. Bandung.
Buzan, Barry; Ole Waever, and Jaap de Wilde. 1998. Security: A New Framework For Analysis. Lynne Rienner Publisher. Boulder, London
Febriani, Nur Arfiyah. 2014. Ekologi Berwawasan Gender. Dalam Perspektif Al-Quran. Mizan. Bandung.
Floyd, Rita and Richard A. Matthew (edited by). 2013. Environmental Security Studies. Approaches and Issues. Routledge. New York.
Hermawan, Yulius P. (editor). 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Kompas. Jakarta
Lynn-Jones, Sean M. and Steven E. Miller. 1995. Global Dangers Changing Dimensions of International Security. The MIT Press. Cambridge, Massachusetts.
Stephens, Piers H.G; John Barry and Andrew Dobson (edited by). 2006. Contemporary Environmental Politics. From Margins to Meanstream. Routledge. New York.
Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 2007. International Relations and World Politics. Security, Economy, Identity. Thid edition. Pearson, Prentice Hall. New Jersey.
Jurnal
Citra Hennida. Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Kawasan Asia Selatan. Jurnal Global & Strategis Universitas Airlangga. Th. 6, No.2, Juli-Desember 2012, hal. 203-215.
Artikel
Human Security: Safety for People in A Changing World. 1999. Department of Foreign Affairs and International Trade. UN Development Programme. “Human Development Report”. Oxford University Press, New York, 1994.
Globalised Eco-Islam A Survey Of Global Islamic Environmentalism. 2012. Leiden Institute for Religious Studies, Leiden University.
[1] Dimuat di Jurnal Mondial, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia Vol. V No. 2 Desember 2014. Hal. 150-164.
[2] Pengajar di Fikom Universitas Budi Luhur, Jakarta.
[3] Nur Arfiyah Febriani. 2014. Ekologi Berwawasan Gender. Dalam Perspektif Al-Quran. Mizan. Bandung. Hal. 26.
[4] Sonny A. Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Kompas. Jakarta. Hal. 1.
[5] Febriani. Op. Cit., 238.
[6] Stephens, Piers H.G; John Barry and Andrew Dobson (edited by). 2006. Contemporary Environmental Politics. From Margins to Meanstream. Routledge. New York. Hal. 147.
[7] Keraf. Op.Cit., Hal. 3.
[8] Ibid, hal. 3-8.
[9] Ibid, hal. 65.
[10] Ibid, hal. 71.
[11]Ibid, hal. 92-93.
[12] Febriani. Op. Cit. Hal. 242.
[13] Ibid, hal. 20.
[14] Ibid, hal. 256.
[15] Ibid, hal. 252.
[16] Ibid, hal. 254.
[17] Ibid, hal. 58.
[18] Ibrahim Abdul-Matin. 2010. Green Deen. Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam. Zaman. Jakarta. Hal. 25.
[19] Ibid, hal. 78.
[20] Ibid, hal. 107-11.
[21] Ibid, hal. 182-184.
[22] Floyd, Rita and Richard A. Matthew (edited by). 2013. Environmental Security Studies. Approaches and Issues. Routledge. New York. Hal. 5.
[23] Ibid, Hal. 285.
[24] Lynn-Jones, Sean M. and Steven E. Miller. 1995. Global Dangers Changing Dimensions of International Security. The MIT Press. Cambridge, Massachusetts. Hal. 5.
[25] Buzan, Barry; Ole Waever, and Jaap de Wilde. 1998. Security: A New Framework For Analysis. Lynne Rienner Publisher. Boulder, London. Hal. 75.
[26] Flyod. Op. Cit.,hal. 22.
[27] Alagappa, Muthiah. 1998. Asian Security Practice: Material and Ideational Influences. Stanford University Press. California. Hal. 30-31.
[28] Ibid, hal. 43.
[29] Citra Hennida. Perubahan Iklim dan Potensi Konflik di Asia Selatan. Jurnal Global & Strategis Universitas Airlangga. Th. 6, No.2, Juli-Desember 2012, hal. 206-207.