Oleh: Sarah Abed*
Barat dengan sukses mengail di air keruh dalam perpecahan antarsuku Kurdi dan menggunakan beberapa faksi untuk mencapai tujuan mereka dalam memecah-belah dan melemahkan negara-negara di Asia Barat dan Timur Tengah. Suku Kurdi adalah suku dengan aneka budaya dan beberapa tahun belakangan ini kebudayaan dan adat istiadat mereka banyak dibahas di berbagai media. Meskipun demikian, perilaku buruk dari beberapa faksi etnis ini tetap harus diungkap.
Kurdi dan Pelanggaran HAM
Kaum separatis Kurdi [bagian dari etnis Kurdi yang menginginkan pemisahan diri dari negara tempat mereka berada] memiliki kebiasaan mengklaim sejarah Arab, Assyria, atau Armenia sebagai sejarah mereka. Kemudian, ketika usaha mereka itu menemui kegagalan, mereka pun merusak jejak sejarah di daerah-daerah yang hendak mereka klaim sebagai wilayah historis mereka. Dalam hal ini, cara mereka bertindak sangat mirip dengan gaya Daesh/ISIS.
Perusakan Artefak-Artefak Kuno Assyria
Laporan-laporan terkini menunjukkan bahwa bendera Kurdi digambar di beberapa relief Assyria di Dohuk, bukan hanya sekali, tapi dua kali berturut-turut dalam waktu berdekatan. Ada bukti perusakan dengan palu dan pahat, selain juga banyak ditemukan lubang, kemungkinan besar akibat peluru. Pemerintah Kurdi Irak (The Kurdistan Regional Government –KRG) tidak pernah mengutuk tindakan ini, apalagi mengerahkan sumber daya untuk mengelola dan melestarikan situs bersejarah warisan peradaban Assyria itu. (lihat video)
Tiap kali suku Kurdi gagal menyerang Turki, mereka akan berpindah ke Suriah dan berupaya mengklaim Suriah sebagai hak mereka. Misalnya saja, mereka mengaku-ngaku bahwa Ayn al Arab, salah satu kota di Suriah, sebagai wilayah milik suku Kurdi dan menamainya Kobani/Kobane. Nama itu berasal dari kata ‘company’, merujuk kepada perusahaan kereta api Jerman yang membangun rel kereta api Konya-Baghdad. Mereka juga mengklaim Al Qamishli, kota di Suriah, sebagai ibukota ilegal mereka dan menamainya dengan Qamislo/Qamishlo.
Perlu diketahui bahwa suku Kurdi bukanlah golongan mayoritas di kawasan yang mereka klaim sebagai milik mereka, di bagian timur laut Suriah. Misalnya daerah administratif Al Hasakah, jumlah mereka hanya sekitar 30-40 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini menyusut seiring dengan meletusnya konflik Suriah karena banyak orang Kurdi mengungsi ke Eropa.
Sebagian besar lari ke Jerman, jumlah mereka di sana sekitar 1,2 juta jiwa; sedikit lebih kecil daripada jumlah mereka di Suriah. Anehnya, mereka tidak menginginkan otonomi di Jerman. Mereka malah menginginkan otonomi di negara-negara Timur Tengah, yang selama ini sudi menampung pengungsian mereka, negara-negara yang justru hendak mereka tikam dari belakang, alih-alih berterima kasih.
Tuduhan-tuduhan Amnesty International terhadap pemerintahan Suriah dan Tentara Nasional Suriah tidak bisa dipercayai begitu saja tanpa adanya laporan-laporan lain yang menguatkan (corroboration). Meskipun demikian, ada beberapa kasus di mana mereka melaporkan kejadian sebenarnya, seperti laporan tahun 2015 yang menuduh YPG (milisi Kurdi Suriah) melakukan serangkaian pelanggaran HAM.
”Pelanggaran-pelanggaran ini termasuk usir-paksa, penghancuran rumah tinggal, dan perampasan hak milik,” demikian ditulis dalam laporan Amnesty Internasional. “Pada beberapa kejadian, seluruh desa dihancurkan, tampaknya sebagai balas dendam karena merasa warga Arab dan Turki mendukung kelompok yang menamakan diri mereka Islamic State (IS) atau kelompok bersenjata lainnya.” Amnesti Internasional juga mendokumentasikan penggunaan tentara anak, demikian menurut Lama Fakih, konsultan AI.
Sebagian orang Kurdi menyatakan bahwa tanah air Kurdistan mereka terdiri dari “beraneka adat istiadat dan agama,” hal yang merupakan kebohongan karena kita tahu bahwa orang-orang yang menjadi bagian ‘keragaman adat istiadat’ itu kini menempati kawasan yang diambil paksa oleh suku Kurdi. Pada 25 September, kaum minoritas ini dihadapkan pada kemungkinan memberikan suara mereka tanpa arti pada referendum KRG di Irak, karena meskipun mereka semua memilih ‘TIDAK’, tetap saja suara mereka akan dikalahkan oleh suku Kurdi sebagai mayoritas dan akibatnya mereka akan tetap jadi bulan-bulanan pemerintah Kurdi apabila pemerintah Irak mengakui hasil referendum.
Rasisme Suku Kurdi terhadap Etnis Arab (Suriah)
Jurnalis investigasi dari Finlandia Bruno Jantti menggambarkan pengalamannya bekerja di daerah Kurdistan Irak selama menyelidiki Daesh:
“Ketika bekerja di daerah Kurdistan Irak, saya dikejutkan oleh jamaknya kemunduran perilaku, termasuk rasisme dan seksisme. Baru-baru ini saya berada di Irak selama beberapa minggu dalam investigasi tentang kelompok IS (ISIS). Seringkali bekerja di daerah sekitar Sulaymaniyah dan Dohuk, saya memperhatikan banyak sifat sosial dan kebudayaan yang mengejutkan.
Mengingat apa yang sedang terjadi di negara tetangga mereka yaitu Suriah, tingkatan rasisme anti Suriah mereka mengherankan saya. Hampir setiap hari saya melihat kecurigaan. Seorang supir taksi di Sulaymaniyah berolok-olok, “Orang-orang Suriah ini merusak negara kami.” Supir taksi lain sangat jengkel pada anak-anak Suriah yang membersihkan kaca mobil dan mengasong makanan. “Anak-anak ini jorok,” katanya. Rasanya tak masuk akal membicarakan orang Irak atau orang Suriah yang terlantar, yang mengungsi ke daerah Kurdistan Irak dengan cara macam itu. Tak hanya supir taksi. Di kantor gubernur Sulaymaniyah, seorang petugas menganggap bahwa adalah hal yang pantas bagi kami untuk mempersiapkan wawancara di kamp pengungsi di daerah itu. Menurutnya, para pengungsi Suriah itu, “Mengeluhkan segalanya.” Di kota lain, seorang polisi terkejut dan kecewa karena saya dan para kolega saya mengajukan izin untuk bekerja di kamp penampungan pengungsi Suriah. Kata polisi tersebut, “Tapi kan mereka pengungsi Suriah!” Suaranya penuh kebencian.
Saya sangat paham bahwa nasionalisme suku Kurdi membuat mereka curiga mengenai orang Arab, Persia dan Turki. Di daerah Kurdistan Irak, saya terkejut melihat betapa seringnya perilaku rasisme mereka.” (diterjemahkan oleh Ira F.)
*ditulis oleh Sarah Abed pada 12 Oktober 2017, sumber