Tur Raja Salman dan Upaya AS Membendung China di Asia Tenggara

raja salman2Oleh:Tony Cartalucci

Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud, sejak dua pekan yang lalu melakukan tur ke beberapa negara Asia Tenggara. Media massa dan analis umumnya mengklaim bahwa tur ini dilakukan dalam rangka memantapkan hubungan ekonomi dan politik antara Arab Saudi dengan negara-negara di kawasan.

Mereka umumnya menghindar untuk membicarakan peran Arab Saudi dalam mendorong terorisme global, intervensi geopolitik ekstrateritorial, dan aksi-aksi terorisme yang didukung negara (state sponsor of terrorism) yang telah berdampak di seluruh penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara.

Politisasi agama yang disebarkan oleh Arab Saudi baik di dalam negeri dan di luar negeri, yang dikenal dengan nama Wahhabisme,  pada awalnya dibuat, dan masih digunakan saat ini, untuk membangun, mempertahankan, dan memperluas pengaruh politik Arab Saudi di balik tabir tipis agama.

Lebih dari Sekedar Minyak dan Dollar

Saudi Arabia sebagai protektorat AS, Inggris, dan negara-negara Eropa, memberikan negara-negara ini sebuah perantara untuk meraih kekuasaan dan pengaruh, yaitu melalui penggunaan Wahhabisme di negara mana pun yang membiarkannya berakar dan berkembang.

Di Asia Tenggara khususnya, sekolah-sekolah yang didanai Saudi di Malaysia, Indonesia, dan di negara-negara lain, telah memicu ekstremisme yang sering muncul sebagai penentang partai atau tokoh politik yang ingin ditekan atau diganti oleh Barat.

Di Myanmar, kelompok garis keras yang didanai Saudi sedang berusaha menyusup ke tengah etnis minoritas Rohingya, sehingga menggeser isu pembantaian terhadap kelompok ini menjadi krisis keamanan regional. Hal ini memberikan dalih bagi  AS untuk lebih banyak terlibat di Myanmar, dan melakukan ekspansi politik dan militer.

Pada kenyataannya, Amerika Serikat dan proxy-nya, Arab Saudi,  tidak memiliki kepentingan dalam krisis Rohingya.  AS pun tidak benar-benar percaya penyusup ekstremis akan membahayakan keamanan [regional]. Namun, AS tengah berupaya menghalangi dominasi China di Myanmar, dan menempatkan penasehat politik di Myanmar untuk menghadapi masalah keamanan yang diciptakan Arab Saudi akan membuka peluang untuk itu.

Di Filipina, organisasi-organisasi teroris yang didoktrin dan didanai Saudi membantu mempertahankan tekanan terhadap pemerintah Filipina dan berfungsi sebagai dalih abadi untuk kehadiran militer Amerika di Filipina.

Amerika Serikat telah berulang kali berusaha untuk mengubah kekerasan separatis di sebagian besar provinsi selatan Thailand menjadi konflik agama untuk memberikan tekanan tambahan pada Bangkok dan [konflik agama] berfungsi sebagai jalan untuk menancapkan kekuatan militer AS di Thailand.

Sama sebagaimana AS-Saudi campur tangan dalam mengganggu hubungan Myanmar-Cina, AS-Saudi mencoba untuk memunculkan terorisme di Filipina dan Thailand, yang bertujuan untuk mencegah kedua negara yang selama ini dihegemoni AS itu memperkuat hubungannya dengan China.

Dan di Cina sendiri, terorisme yang didukung AS di provinsi Xinjiang berfungsi sebagai salah satu dari beberapa cara AS untuk menekan China serta upaya untuk mengurangi pengaruh Beijing di kawasan itu, bahkan pengaruh pemerintah Beijing di dalam teritorinya sendiri.

Sementara mayoritas penduduk di Xinjiang – terlepas dari agama atau etnis mereka – lebih memilih kestabilan dan kemajuan sosial ekonomi, AS malah menciptakan, mendanai, dan mengarahkan kelompok-kelompok oposisi untuk menciptakan pergolakan politik dan menutupi aksi-aksi terorisme terorganisir yang dilakukan terhadap warga dan pemerintah provinsi Xinjiang.

Kelompok ekstrimis di Xinjiang, yang jumlahnya minoritas, juga berperan dalam merekrut pasukan teroris untuk dikirim ke luar negeri, termasuk di Suriah. Teroris asal Uyghur dibawa keluar dari Cina, melalui Asia Tenggara, lalu masuk ke Turki dan di sana mereka dipersenjatai lalu dikerahkan masuk ke Suriah.

Ditahan dan diekstradisinya beberapa oknum yang diyakini bagian dari penyaluran teroris ini di Thailand telah menjadi sumber pertikaian politik yang serius antara Bangkok dan Washington, yang berpuncak pada aksi pengeboman di pusat kota Bangkok yang menewaskan 20 orang dan melukai banyak orang lainnya. Semua bukti menunjukkan bahwa aksi itu adalah balasan atas pembangkangan Bangkok.

Selain pembangkangan Thailand yang terang-terangan atas tuntutan Washington, pemerintah negara ini  juga secara bertahap telah merenggangkan ikatannya dengan AS (sebagai warisan Perang Dingin) dan  membangun hubungan lebih beragam dengan China, Rusia, dan pusat-pusat kekuasaaan penting lainnya di seluruh Eurasia. Karena itu, menemukan poin daya tawar terhadap Bangkok sangat penting bagi Washington, dan menggunakan bakat Arab Saudi untuk menciptakan badai api sektarian adalah pilihan yang diambil.

Semakin Kuat Kehadiran Saudi, Semakin Kuat Pengaruh AS

Selama beberapa dekade terakhir, kebijakan luar negeri Amerika Serikat telah menggunakan Arab Saudi sebagai alat untuk menutupi dukungan politik, aliran senjata dan uang tunai yang disalurkannya ketika mencoba untuk mengkooptasi negara-negara mayoritas Muslim.

Kehadiran Saudi yang lebih kuat di Asia Tenggara berarti kesempatan yang lebih besar bagi AS untuk memasuki komunitas Muslim, menumbuhkan ekstremisme, dan merekrut sumber daya manusia untuk digunakan dalam perang proxy.

Upaya untuk menciptakan perpecahan agama di Asia Tenggara yang budaya aslinya beragam dan toleran telah berlangsung selama bertahun-tahun tetapi dengan sedikit keberhasilan. Meskipun belum dapat dipastikan apakah kehadiran Saudi yang lebih besar di wilayah ini secara signifikan dapat meningkatkan hegemoni Washington, dapat dipastikan bahwa ketegangan, kekacauan, dan perpecahan akan muncul.

Meskipun sebagian orang berpendapat bahwa Arab Saudi melalui tur Raja Salman ini hanya berusaha untuk mendiversifikasi hubungan luar negerinya, sifat sektarian kunjungannya menunjukkan sebaliknya. Dengan tidak adanya upaya bersama, baik secara regional Asia Tenggara dan di dalam negeri masing-masing, untuk mengekspos dan melucuti senjata geopolitik berbahaya yang sedang disebarkan AS dan Arab Saudi ini, tur yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dapat dilihat sebagai situasi tenang sebelum gelombang kekacauan “Musim Semi Arab” melanda wilayah tersebut.

Tony Cartalucci adalah penulis dan peneliti geopolitik, berdomisili di Bangkok. Tulisan ini diterjemahkan dengan menghilangkan beberapa kalimat atau istilah yang terlalu ‘tajam’ (termasuk perubahan judul) dan kutipan dari DW (karena akan terlalu panjang). Versi Inggris bisa dibaca di http://journal-neo.org/2017/03/05/saudi-arabias-southeast-asia-terror-tour/