[Jurnal] Tak Ada Demokrasi Setelah Pemberontakan di Afrika Utara

Artikel ini adalah intisari pada jurnal British Journal of Middle Eastern Studies yang berjudul No Democratic Change…and Yet No Authoritarian Continuity: The Interparadigm Debate and North Africa After the Uprisings, yang dipublikasikan secara online pada 10 Desember 2014 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13530194.2015.973200. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

tunisiaTak Ada Demokrasi Setelah Pemberontakan di Afrika Utara

Francesco Cavatorta [1]

Pemberontakan Arab (Arab Springs) telah menjungkalkan presiden Mesir dan Tunisia dari kekuasaannya. Namun secara garis besar, antusiasme di awal-awal Arab Springs telah berganti dengan analisis yang lebih pesimis, bahwa peristiwa ini tampaknya akan membawa negara-negara di kawasan bergelut lama dalam kekacauan politik dan kekerasan. Fokus akademik pada analisis peran positif dari media sosial, mobilisasi pemuda, kekuatan aktivisme masyarakat sipil, atau modernisasi partai politik telah digantikan oleh penelitian yang meneliti munculnya sektarianisme, penegasan kembali akan pentingnya militer dan pasukan keamanan, dan merebaknya depolitisasi serta kekecewaan dari warga sipil.

Lebih luas, antusiasme dan pesimisme tentang pemberontakan konsekuensinya berkolerasi cukup kuat dengan paradigma demokratisasi dan kegigihan diktator. Tulisan ini mencoba untuk bergerak melampaui konseptualisasi politik Afrika Utara, yang menunjukkan bahwa unsur-unsur perubahan dan kontinuitas tidak harus dibingkai dalam paradigma tertentu yang mendominasi, terutama karena adanya asumsi normatif tentang hasil dari pemberontakan.

Tidak Ada Perubahan ke Arah Demokratis

Arab Spring memberikan harapan baru untuk demokratisasi yang sempat ditinggalkan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, karena kala itu pemerintahan yang otoriter dianggap lebih baik. Dalam kasus Mesir, seperti yang dijelaskan Kohstall, niat untuk menjalankan demokrasi tidak benar-benar hadir dalam rezim-militer. Ia berpendapat dan meyakinkan bahwa pemerintahan yang otoriter adalah sebuah ‘penghematan’. Penyelidikan ilmiah akan sangat minim, sedangkan berpikir kritis, dan adanya lembaga tingkat ketiga dianggap sebagai ancaman keamanan, dan karenanya, perlu diawasi dengan ketat. Hal ini sesuai dengan perkembangan di Mesir, dari perselisihan yang terjadi digunakan untuk menindas Ikhwanul Muslimin dan pembangkang lainnya. Menariknya, hal ini juga sejalan dengan isu sekuritisasi progresif yang terjadi di seluruh dunia.

Menurut Fabio Merone, di Tunisa, dianggap baik untuk melakukan konsolidasi demokrasi, atau harapan terakhir, setidaknya ada satu negara di dunia Arab yang telah berhasil melakukan transisi menuju demokrasi. Namun, ada argumen yang menyatakan bahwa pemberontakan tahun 2011 hanya merupakan re-integrasi dari konservatif kelas menengah yang diwakili oleh Partai Islam Al Nahda, yang disebut-sebut telah kehilangan ideologi Islamnya dan lebih cenderung kepada proyek-proyek nasional, tanpa mengubah perpercahan kelas yang terjadi. Dengan demikian, masyarakat yang merasa kehilangan haknya dan terpinggirkan merasa tidak ada pengaruh apapun atas sistem politik yang dibangun, dan akhirnya merak memilih untuk terlibat dalam jihad Salafi, atau bergabung dengan aktivis radikal sayap kiri, atau sepenuhnya melepaskan diri dari hiruk pikuk politik. Dalam konteks ini sulit untuk menilai bagaimana lembaga politik yang baru bisa disahkan dan bagaimana mereka bisa membangun demokrasi dengan partisipasi dari warga. Artinya, tidak ada perubahan demokrasi sebenarnya sebagaimana yang dicontohkan di Eropa-Timur, yang mengadopsi konstitusi baru, yang membatasi, bukan membebaskan dan berpihak pada praktek semi-otoriter.

Tidak adanya perubahan demokrasi dan hanya ada ‘daur ulang’ kembali atas kelompok elit tua untuk posisi dan kekuasaan merupakan hasil dari ketidakmampuan dari serangkaian aktor politik dan sosial secara mendasar. Tantangan ekonomi yang telah terkait langsung dengan neo liberalisme, aspek ini berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terkait bagaimana politik ini berjalan. Seperti yang ditunjukkan di dalam sejumlah penelitian yang menyelidiki penyebab Arab Springs, pertanyaan sosial ekonomi adalah pusat dari tuntutan demonstran di seluruh wilayah. Kegagalan pasca-pemebrontakan untuk meningkatkan standar hidup, mengurangi pengangguran, dan sebaliknya, telah menimbulkan pelebaran distribusi pendapatan telah menggerogoti proses politik di Afrika Utara. Ada dua alasan yang menjelaskan kegagalan tersebut.

Pertama adalah peran aktor internasional, yaitu lembaga keuangan internasional. Seperti yang digambarkan oleh Hanieh, negosiasi dengan Dana Moneter internasional (IMF) dan Bank Dunia setelah pemberontakan menyebabkan tidak adanya pemikiran ulang terkait praktik ekonomi di negara yang bersangkutan. Dalam ranah ini, asalnya bukan saja keyakinan yang salah pada lembaga keuangan internasional, tetapi juga kebijakan Uni Eropa melalui kebijakan perdagangannya yang kontroversial, bahwa reformasi neo-liberal telah bertindak sangat buruk di masa lalu, karena diterapkan dalam pemerintahan yang otoriter, mendorong terjadinya korupsi dan pemerintahan yang rusak. Logikanya adalah bahwa sistem politik menjadi lebih responsif terhadap warga biasa melalui mekanisme demokrasi, maka good governance akan muncul, dan efek positif reformasi neo-liberal akan berjalan dengan baik. Dengan pemikiran ini, yang menjadi masalah bukanlah kebijakan itu sendiri, dan yang paling krusial adalah implementasi dan pelaksana. Namun jika kita meneliti efek dari kebijakan ekonomi neo-liberal di wilayah utara Mediterania, maka kita akan menemukan femena seperti meningkatnya jumlah kemiskinan, pengangguran, kesenjangan pendapatan dan runtuhnya kepercayaan dalam lembaga politik, juga terjadi di negara-negara seperti Yunani, Italia dan Spanyol yang melaksanakan demokrasi-liberal.

Singkatnya, membangun sistem demokrasi pada saat sistem tersebut tidak algi responsif seperti dulu terbukti telah merugikan bangunan demokrasi di Arfika Utara. Menurut Benstead, banyak masyarakat sipil yang berpikir bahwa demokrasi tidak cocok untuk negara mereka, tidak pedulis seberapa banyakknya teori yang dibangun.

Ada bukti bahwa kendala ekonomi eksternal yang harus disalahkan atas kondisi ini. Pendirian pola perdagangan, perjanjian perdagangan bebas dan ketergantungan keuangan tidak bisa dengan mudah dipertanyakan ataupun dibatalkan oleh negara-negara Afrika Utara tanpa adanya konsekuensi dari kebijakannya ini, dan hal inilah yang telah menghambat atau membatasi kebijakan bagi para penyelenggara pemerintahan. Aktor internasional tidak mampu atau tidak mau memahami keadaan dari negara-negara di Afrika Utara, lalu mereka merancang kebijakan yang dimaksudkan untuk perubahan ekonomi radikal.

Lalu, partai-partai Islam yang berkuasa di Tunisia, Mesir, dan Maroko, tidak melakukan perubahan yang berarti dalam memperbaiki struktur ekonomi, entah karena alasan yang ideologis ataupun pragmatis. Pada tingkat ideologis, meskipun penekanan partai-partai ini adalah untuk memenuhi dan menciptakan masyarakat yang kebutuhannya dilayani secara adil dan merata, namun tujuan ini tidak pernah dimaksudkan untuk dicapai melalui penerapan kebijakan ekonomi yang mempertanyakan pentingnya pasar bebas atau perlunya berintegrasi ke dalam ekonomi global. Sean McMahon bahkan beragumen bahwa Ikhwan adalah neo-liberal, sebagaimana Partai Republik dan Tories, yang merupakan fundamentalis pasar.

Tidak Adanya Kontinuitas Otoriter

Schlumberger dan Albrecht (2004) mencatat bahwa demokratisasi di dunia Arab bukanlah sebuah nama ‘game’ dan bahwa bagian dari sistem otoriter ini hanyalah beregenerasi melalui suatu proses legitimasi. Mereka berpendapat bahwa lembaga mungkin akan berubah, tetapi bagian fundamental dari sistem otoritas itu tidak akan berubah. Lalu Steven Heydemann mengklaim bahwa negara-negara Arab itu hanya mampu meng-upgrade otoritarianismenya dengan menggunakan kesenjangan ekonomi dan reformasi politik yang liberal, yang memberi kesan bahwa rezim telah melakukan demoktratisasi, padahal mereka hanyalah sedang meningkatkan kemampuannnya untuk mencengkram negara melalui kontrol sosial dan politik dengan proses informal.

Hasil dari demokratisasi yang berdampak pada konflik tak berujung, kekerasan, dan kontrol kekuasaan pasca pemberontakan di Libya dan Tunisia misalnya, telah mengakibatkan ada keinginan untuk dipimpin oleh sosok yang ‘kuat’. Singkatnya, tidak ada banyak perubahan setelah pemberontakan. Pemberontakan yang menggemparkan dunia dan dianggap peristiwa yang akan mengubah dunia tidak benar-benar mengubah dunia seperti yang diharapkan.

Ada argumen yang menarik terkait hal ini. Pertama, pada awal Oktober 2011 Heydemann dan Leenders menekankan tentang otoriter, yaitu bahwa rezim otoriter bisa belajar dari kesalahan diktator yang telah jatuh untuk menopang kekuasaan mereka melalui respon kebijakan yang tepat. Kedua, pemberontakan dinilai sebagai salah satu penyebab ketidak-stabilan di wilayah tersebut. Dalam hal ini, ada juga kerinduan yang kuat dari komunitas internasional untuk ‘hari tua yang yang baik’, dan salah satu faktor untuk harapan itu adalah tidak banyak kekhawatiran tentang Ikhwanul Muslimin, Salafi, aktivis transnasional, milisi sekterian ataupun pemimpin buruh yang nakal, karena rezim otoriter dianggap akan mampu menangani semua kekacauan saat ini.

Kesimpulan

Morten Valbjørn telah menyebutkan bahwa negara-negara yang dilanda pemberontakan, dan mengalami suatu transisi, belum tentu akan mengarah menuju demokrasi. Tunisia sedang dalam perjalanan untuk menjadi negara demokrasi-liberal. Maroko sedang berjuang untuk mencapai titik temu dan Mesir, justru kembali ke belakang, kembali ke garis start. Namun ada juga bukti bahwa tidak adanya kesinambungan rezim otoriter adalah hal yang baik, karena paling tidak, ada perlawanan terhadap otoritarianisme, yang akan cenderung mengecilkan arti dari pemberontakan sebagai hal yang tidak terlalu penting.

Argumen dari Ray Hinnebusch mungkin lebih menarik karena terkait dengan perkembangan yang lebih luas. Hinnebusch berpendapat bahwa negara-negara yang berada di bawah ‘ujian’, meskipun melalui lintasan sejarah yang berbeda, yang rezimnya bersifat hibrida atau pencampuran dari sifat demokratis dan otoriter dalam dasar-dasar pembuatan kebijakan, dan
dalam kebijakan ekonomi tertentu, maka rezim itu berada di luar jangkauan pengaruh warga. Konsep Hinnebusch bisa dipakai untuk menggambarkan realitas banyak negara di seluruh dunia, termasuk pihak-pihak yang akan mendefinisikan diri sebagai negara demokrasi liberal.

[1] Department of Political Science, Universite´ Laval. Email:francesco.cavatorta@pol.ulaval.ca

  1. Marc Morje´Howard and Meir R. Walters, ‘Response to Eva Bellin, Ellen Lust and Marc Lynch’,Perspectives on Politics, 12(2) (2014), pp. 417–419.
  2. Michelle Pace and Francesco Cavatorta, ‘The Arab Uprisings in Theoretical Perspectives’,Mediterranean Politics, 17(2) (2012), pp. 125 –138.
  3. Fre´de´ric Volpi, ‘Explaining (and Re-explaining) Political Change in the Middle East During the Arab Spring: Trajectories of Democratization and Authoritarianism in the Maghreb’,Democratization, 20(6) (2013), pp. 969 –990.
  4. See for instance Mary Kaldor, ‘Civil Society in 1989 and 2011’, February 7, 2011http://www.opendemocracy.net/mary-kaldor/civil-society-in-1989-and-2011and the Al Jazeera special focus, ‘The Arab World 1989’s Revolution?’http://www.aljazeera.com/focus/2011/02/201121165427186924.html (both accessed September 26, 2014)
  5. Fre´de´ric Volpi, ‘Algeria versus the Arab Spring’,Journal of Democracy, 24(3) (2013), pp. 104 –115.
  6. Ann Lesch, ‘Troubled Political Transitions: Tunisia, Egypt and Libya’,Middle East Policy, 21(1) (2014), pp. 62 –74.
  7. Nathan Brown, ‘Egypt’s Failed Transition’,Journal of Democracy, 24(4) (2013), pp. 45–58.
  8. Ahmed Benchemsi, ‘Morocco: Outfoxing the Opposition’,Journal of Democracy, 23(1) (2012), pp. 57– 69; Emanuela Dalmasso, ‘Surfing the Democratic Tsunami in Morocco: Apolitical Society and the Reconfiguration of a Sustainable Authoritarian Regime’,Mediterranean Politics, 17(2) (2012), pp. 217 –232.
  9. Alfred Stepan, ‘Tunisia’s Transition and the Twin Tolerations’,Journal of Democracy, 23(2) (2012), pp. 89 –103.
  10. Steven Heydemann, ‘Syria and the Future of Authoritarianism’,Journal of Democracy, 24(4) (2013), pp. 59 –73.
  11. See Alaya Allani, ‘The Islamists in Tunisia between Confrontation and Participation: 1980–2008’,Journal of North African Studies, 14(2) (2009), pp. 257–272 and Francesco Cavatorta and Fabio Merone, ‘Moderation through Exclusion? The Journey of the Tunisian Ennahdafrom Fundamentalist to Conservative Party’, Democratization, 20(5) (2013), pp. 857–875.
  12. See for example Koenraad Bogaert, ‘Contextualising the Arab Revolts: The Politics Behind Three Decades of Neo-liberalism in the Arab World’,Middle East Critique, 22(3) (2013), pp. 213–234 and Gilbert Achcar, The People Want(Berkeley: University of California Press, 2013).
  13. Andrea Teti, ‘The EU’s First Response to the Arab Spring: A Critical Discourse Analysis of the Partnership for Democracy and Shared Prosperity’,Mediterranean Politics, 17(3) (2012), pp. 265 –282.
  14. Lindsay Benstead, ‘Why do Some Arab Citizens See Democracy as Unsuitable to their Country?’, Democratization(2014). http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2014.940041(accessed September 26, 2014).
  15. See for instance Nader Habibi, ‘The Economic Agendas and the Expected Economic Policies of Islamists in Tunisia and Egypt’,Middle East Brief, Crown Center for Middle East Studies, Brandeis University, no. 67, October 1 – 8, 2012, and Sean McMahon, ‘Egypt’s Impoverishing Choice’, June 2012.http://www.informationclearinghouse.info/article31658.htm (accessed September 25, 2014).
  16. Sean McMahon, ‘Class Warfare in Egypt’,Counterpunch, July 9, 2013. http://www.counterpunch.org/2013/07/09/class-warfare-in-egypt/(accessed September 25, 2014).
  17. Michele Penner Angrist, ‘Parties, Parliament and Political Dissent in Tunisia’,Journal of North African Studies, 4(1) (1999), pp. 89– 104. For an example of the problems of the Arab left outside of North Africa, see Manal Jamal, ‘Beyond Fateh Corruption and Mass Discontent: Hamas, the Palestinian Left and the 2006 Legislative Elections’,British Journal of Middle Eastern Studies, 40(3) (2013), pp. 273– 294.
  18. Moataz El Figeiry, ‘Tyranny of the Majority? Islamists’ Ambivalence towards Human Rights’, FRIDE Working Paper, 113, October 1–19, 2012.
  19. For the case of Tunisian parties see for example, Andrea Brody-Barre, ‘The Impact of Political Parties and Coalition Building on Tunisia’s Democratic Future’,Journal of North African Studies, 18(2) (2013), pp. 211–230.
  20. Abdelwahab El-Affendi, ‘Arab Spring, Islamist Ice Age: Islamism, Democracy, and the Dictatorship of the “Liberalism of Fear” in the Era of Revolutions’,American Journal of Islamic Social Sciences, 30(4) (2013),pp. 1 –18.
  21. Morten Vlabjørn, ‘Upgrading Post-democratization Studies: Examining a Re-politicized Arab World in a Transition to Somewhere’,Middle East Critique, 21(1) (2012), pp. 25–35.
  22. Oliver Schlumberger and Holger Albrecht, ‘Waiting for Godot: Regime Change without Democratization in the Middle East’, International Political Science Review, 35(4) (2004), pp. 371 –392.
  23. Steven Heydemann, ‘Upgrading Authoritarianism in the Arab World’, Analysis Paper, Brookings Institution, 2007.http://www.brookings.edu/papers/2007/10arabworld.aspx(accessed September 26, 2014).
  24. Steven Heydemann and Reinoud Leenders, ‘Authoritarian Learning and Authoritarian Resilience: Regime Responses to the Arab Awakening’,Globalizations, 8(5) (2011), pp. 647– 653.
  25. This point had been made in Larbi Sadiki, ‘The Search for Citizenship in Bin Ali’s Tunisia: Democracy versus Unity’,Political Studies, 50(3) (2002), pp. 497–513.
  26. On the past insignificance of parties see Michael Willis, ‘Political Parties in the Maghrib: The Illusion of Significance?’,Journal of North African Studies, 7(2) (2002), pp. 1–22. On their increasing relevance see Lise Storm,Party Politics and the Prospects of Democracy in North Africa(Boulder: Lynne Rienner, 2013).
  27. Joel Beinin, ‘The Rise of Egypt’s Workers’,Carnegie Papers, Carnegie Endowment for International Peace, June 2012, pp. 1–23.
  28. Daniel Brumberg, ‘The Trap of Liberalised Autocracy’,Journal of Democracy, 13(4) (2002), pp. 56 –68.
  29. At a more theoretical level see Francesco Cavatorta, ‘The Convergence of Governance: Upgrading Authoritarianism in the Arab World and Downgrading Democracy Elsewhere?’,Middle East Critique, 19(3) (2010), pp. 217 –232. Empirical research conducted on the EU has already demonstrated that shared beliefs are more important than institutions when it comes to design policies. See for instance Claudio Radaelli and Karl O’Connor, ‘How Bureaucratic e´lites Imagine Europe: Towards Convergence of Governance Beliefs?’,Journal of European Public Policy, 16(7) (2009), pp. 971–989.
  30. Aude Signoles, ‘Re´forme de l’Etat et trasnformation de l’action publique’, in Elizabeth Picard (ed.), La Politique dans le monde Arabe(Paris: Armand Collin, 2006), pp. 239–261. I am grateful to Noureddine Mihoubi for pointing me in this direction.
  31. For an example of this at the international level see Peter Seeberg, ‘Union for the Mediterranean – Pragmatic Multilateralism and the Depoliticisation of European-Middle Eastern Relations’,Middle East Critique, 19(3) (2010), pp. 287 –302. Already in 2004 the United Nations Research Institute for Social Development had warned against the technocratic take-over of policy-making, ‘Technocratic Policy-making and Democratic Accountability’, Research Brief, UNRISD, August 2004. http://www.unrisd.org/80256B3C005BCCF9/ (httpAuxPages)/AE49CC52BEFC658EC1256EFA002D44FB/$file/RPB3e.pdf (accessed September 25, 2014).