[Paper] Pemetaan ‘Devided States of Syria’

Artikel ini adalah intisari dari paper The International Spectator: Italian Journal of International Affairs, yang berjudul Can the World Afford to Condone the ‘Divided States of Syria’?, yang dipublikasikan secara online pada 1 Juli 2014 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/03932729.2014.929265. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

SuriahPemetaan ‘Devided States of Syria’

Adam Hanieh [1]

Selama lebih dari tiga tahun, di tengah-tengah ketidak-pedulian global, Suriah telah jatuh dalam jurang yang mematikan. Tingkat bencana yang terjadi di Suriah tidak bisa dibandingkan dengn negara-negara lainnya, termasuk Irak. Solusi diplomatik dan proses politik yang ditawarkan di awal konflik menjadi sia-sia belaka. Sebuah penilaian yang realistis dari prospek Suriah memerlukan pemahaman yang jelas tentang konfigurasi topografi dan sosial politik di negara itu.

Peta dari ‘Devided States of Syria’

Republik Arab Suriah, atau dengan endonym umum Suriya al-Asad (Suriahnya Al Assad), meneruskan ‘hiburan’ dengan teritorial dan kedaulatan fiktif tentang Suriah. Kontrol yang sebenarnya, hanyalah sebagian kecil saja. Suriya al-Asad terdiri atas empat jenis wilayah:

Pertama, hitterland (pedalaman). Mulai dari daerah pesisir Mediterania hingga daerah berdekatan dengan pegunungan dengan penduduk mayoritas Alawi. Alawi merupakan strata kedua rezim Suriah, atau katakanlah merupakan representasi dalam angkatan bersenjata, pemerintahan negara dan aparat keamanan. Sebelum konflik saat ini, rezim Suriah tidaklah sangat ‘Alawi’ dan mereka bahkan dibatasi. Bahwa rezim Asaad adalah rezim yang ditolak oleh pihak oposisi dari komunitas Alawi, dan selama ini keluarga Assad menjalin aliansi dengan aktor-aktor non-Alawi, khususnya kaum borjuis Sunni di perkotaan Damaskus dn kota-kota besar lainnya. Namun sejak pemberontakan, karena adanya kesalahan strategis yang dilakukan oleh pihak oposisi, komunitas Alawi pun berada dalam genggaman Assad, apalagi Alawi-lah yang mungkin mengalami penderitaan terbesar, mengingat sejak awal konflik, kaum muda Alawi banyak yang direkrut rezim untuk bertempur.Dalam sebuah wilayah yang dihuni oleh salah satu identitas kolektif, sulit untuk membayangkan bagaimana mengatasi keretakan antara Alawi dan Sunni Suriah. Dalam wilayah yang penduduknya Alawi, jelas rezim akan diterima dan didukung, dan mereka juga melakukan antisipasi jika rezim jatuh.

Rezim mengontrol koridor utama nasional, garis selatan-utara dari kota dari Damaskus ke Aleppo, melalui Homs dan Hama. Supaya efektif, wilayah ini bisa disebut sebagai occupied land (wilayah yang diduduki ), dengan populasi masyarakat yang expelled, defeated and co-opted. Wilayah ini berhasil digenggam dengan kekerasan, kerjasama jaringan intelejen dan dukungan langsung dari sekutu asing. Rezim tampaknya terlibat dalam tindakan drastis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan di wilayah ini, dan dalam jangka panjang, ada harga mahal yang harus dibayar.Namun, rezim mencabut ‘tangan besinya’ di beberapa area di wilayah ini, yaitu daerah yang disebut vassal area (wilayah pengikut), seperti wilayah yang dihuni mayoritas Druze di selatan, juga kawasan yang dihuni oleh masyarakat Kristen.

Selain wilayah ‘hitterland, occupied, vassal area, rezim juga berhasil mempertahankan kontrol atas pos-pos penting di berbagai bidang. Kadang, wilayah ini dikepung dan dikirimi pasokan dari udara.

Untung mengeleminasi pertumbuhan kubu oposisi, pada tahun 2011 rezim menyerahkan kontrol efektif atas daerah mayoritas Kurdi di Suriah utara kepada kekuatan lokal yang dipimpin oleh Partai Uni Demokrat (PYD), yang merupakan cabang dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Suriah. PKK adalah faksi teroris yang aktif di Turki.

Kebijakan rezim terhadap penduduk Kurdi sebelumnya merupakan bentuk penindasan. Menolak hak-hak budaya, bahkan pencabutan hak-hak warganegara. Namun pertimbangan adanya pemberontakan anti-rezim telah mengubah semuanya. Sekarang rezim memenuhi semua tuntutan Kurdi, dengan harapan agar Kurdi tidak bergabung dengan barisan oposisi. Maka lahirlah Kurdistan Barat, yang dinamai sesuai dengan nomenklatur nasionalis Kurdi (Kurdistan Utara di Turki, Kurdistan Selatan di Irak, Kurdistan Timur di Iran). Wilayah yang termasuk sebagai Kurdistan Barat meliputi kota dan desa-desa yang sejajar dengan perbatasan Turki. Kurdistan Irak juga turut mmberikan pengaruh di Kurdistan Barat, dan memungkinkan adanya ekspor ‘kurdifacation’ dalam hal-hal pendidikan, media, budaya, bahkan pengaruh radikal yang disponsori oleh PKK.

Melalui pembantaian yang menargetkan warga sipil di banyak kota dan desa-desa yang dihuni oleh masyarakat Sunni, melalui penodaan dan tindakan provokatif terhadap masjid dan simbol-simbol Sunni, rezim berusaha untuk mengobarkan retorika sekterian Sunni, untuk membenarkan tindakan brutal sebagai langkah yang harus diambil untuk memerangi radikalisme Sunni. Strategi ini berhasil. Namun tentu saja hal ini tak lepas dari andil rezim sendiri yang melepaskan ratusan veteran militan jihad radikal untuk bergabung dengan barisan oposisi ekstremis, baik melalui sumber daya yang dimilikinya sendiri ataupun mellaui fasilitas yang diberikan rezim. Kelompok ini muncul sebagai kekuatan ketiga dalam pertempuran antara rezim dan oposisi.

Kelompok mitan kekuatan ketiga ini, seperti Islamic State os Iraq and Syria (ISIS), didedikasikan untuk memerangi pihak oposisi. Dengan demikian, rezim bisa mengklaim keberhasilan taktik lainnya. Di perbatasan timur Irak, di sepanjang lembah Efrat, dan sampai di perbatasan Turki, ISIS telah berupaya menciptakan sosial dan peradilan sesuai dengan ajarannya. Pemenggalan, penyaliban, amputasi, dan tindakan-tindakan lain yang tak terhitung jumlahnya.

Bisakah Suirah Kembali Seperti Sediakala?

Memecah negara adalah produk langsung dari strategi rezim untuk menangani pemberontakan. Protes yang menantang rezim mulai Maret 2011 berlangsung dengan damai, dan tentu saja hal ini merupakan ancaman bagi rezim. Rezim Suriah benar-benar sukses dalam menerapkan strategi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hasilnya, Suriah telah rusak. Info intelejen dan mata-mata disediakan oleh sekutunya Rusia, Iran, dan Hizbullah. Sedangkan ‘Friends of Syria’ memiliki kekurangan visi dan kepemimpinan untuk menghadapi rezim.

Apakah Suriah bisa dipulihkan seperti sediakala sebagai sebuah bangsa, negara, sebagai sebuah identitas nasional? Sayangnya, jawabannya menyedihkan. Tidak bisa. Tragedi Suriah hari ini adalah akibat dari proses integrasi dibiarkan terus berlanjut. Barat, nampaknya yang akan menjadi pemenang dalam perang Suriah. Fakta bahwa Suriah bukannya menjadi kuburan bagi para jihadis, malah menjadi inkubator untuk jihadis generasi selanjutnya, dan dengan demikian artinya akan ada lebih banyak tragedi.

Suriah mungkin akan menjadi Afghanistan abad 21, dengan implikasi regional dan global. Tindakan tegas harus dilakukan saat ini: diperlukan pemberantasan terhadap rezim, memulai proses re-integrasi, dan pengakuan daerah otonomi de facto Kurdistan Barat, serta mmberikan status khusus pada daerah ‘hitterland’. Pemulihan nasional perlu dilakukan secara bertahap.

Selama masih menanti solusi internasional, Suriah pada tahun keempat dihadapkan pada realitas baru. Warganya dihadapkan pada kelaparan, munculnya regu pembantai yang menghabisi seluruh keluarga, bom barel yang menghancurkan perumahan. Bahkan jika rezim Alawi terpaksa mundur ke pedalaman, maka bencana serupa juga akan dialami oleh populasi Alawi. Strategi yang digunakan rezim adalah memusnahkan infrastruktur. Dengan menghancurkan Suriah, rezim menjamin kelangsungan hidunya. Suriah hanya dapat dipulihkan secara bertahap jika rezim dihapus.

Pada tahun 2011, Barat, dengan sekutunya Timur Tengah, memiliki pilihan, dengan biaya yang relatifrendah untuk mendukung oposisi Suriah ketika opsi militer harus dilakukan. Mereka seharusnya diatur, diberdayakan, dan bertindak produktif untuk membenaskan Suriah dari penindasan, namun sayang opsi ini tidak digunakan. Sekarang, opsi yang sama akhirnya dilakukan dengan biaya selangit. Amerika Serikat tetap satu-satunya kekuatan yang mampu meng-sinkronisasi para sekutu dan mitra untuk mewujudkan konvergensi nilai-nilai dan kepentingan di jalan untuk memulihkan
Suriah.

[1] Hassan Mneimnehis Senior Transatlantic Fellow at the German Marshall Fund of the United States, Washington DC. Email:hmneimneh@gmfus.org