[Paper] Berpikir Ulang Tentang ‘Kebangkitan Asia dan Kemunduran Amerika Serikat di Timur Tengah’

Artikel ini adalah paper Contemporary Arab Affairs yang berjudul Geopolitical shifts: Asia rising, America declining in the Middle East?, yang dipublikasikan secara online pada 13 Agustus 2013 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/17550912.2013.818777. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.

india-china-flagBerpikir Ulang Tentang ‘Kebangkitan Asia dan Kemunduran Amerika Serikat di Timur Tengah’

Michael C. Hudson [1]

Di Singapura, dan wilayah lainnya di Asia, banyak dibahas tentang kebangkitan Asia (dalam hal ini Tiongkok), dan kemunduran Amerika Serikat (AS). Contohnya, Kishore Mahbubani, Dekan LKY School of Public Policy di Singapura, menulis bahwa ‘the West is understandably reluctant to accept that the era of its domination is ending and that the Asian century has come’ (Mahbubani 2008, 111). The West, which is‘increasingly incompetent in its handling of key global problems […] is preventing the emergence of a new wave of history’(Mahbubani 2008, 111). Mahbubani merangkum semuanya dalam kesimpulan yang menggigit, bahwa dalam sejarah modern, maka hegemoni Eropa terjadi ‘kemarin’, AS terjadi ‘hari ini’, sementara Asia akan terjadi ‘esok hari’. Isu ini memunculkan kebanggaan dan ketakutan. Kemakmuran Asia Tenggara bergantung pada kekuatan ekonomi Tiongkok dan India. Namun ketegasan yang diambil Tiongkok dalam kasus Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur, juga kebijakan luar negeri India ‘Look East’ adalah hal yang mengkhawatirkan.

Berpikir Ulang Tentang Kebangkitan Asia dan Kemunduran AS

Dalam tulisan ini, saya akan menguji kembali ‘kebangkitan Asia (dalam hal ini Tiongkok dan India), dan yang kedua tentang kemunduran AS (dengan penekanan khusus pada Semenanjung Arab dan Teluk Persia).

Menurut Perdana Menteri India, Manmohan Singh, ‘The most important development of the 21st century will be the rise of Asia’(Singh 2006). Argumen
bertumpu terutama pada pertumbuhan ekonomi yang spektakuler di beberapa bagian wilayah Asia yang dikenal sebagai ‘Macan Asia’ (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura), dan sekarang daftar ini bertambah panjang dengan semakin majunya Tiongkok dan India. Dan ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang, juga bergerak semakin maju. Seperti yang pernah dikatakan oleh Alfred Thayer Mahan bahwa ‘siapapun yang mengendalikan Samudra Hindia maka akan mendominasi Asia’, maka bangkitnya kekuatan Angkatan Laut India dan Tiongkok tentu saja merupakan ancaman bagi dominasi Angkatan Laut AS di Asia Pasifik. Mungkinkah superioritas AS di Timur Tengah dan Teluk akan terancam?

Memainkan peran di kancah global adalah hal yang baru bagi Tiongkok, dan jika dinilai dari perdebatan antara para analis Tiongkok, sejauh ini tidak ada konsesus tentang strategi prioritas, meskipun semua setuju bahwa akses yang aman terkait sumber energi yang terdapat di Timur Tengah merupakan hal yang sangat vital bagi kepentingan nasional. Sebagian besar memproyeksikan fokus pada tradisional ‘eastern’, yaitu: pulihkan Taiwan, hadapi Jepang dan Korea Selatan, memproyeksikan kekuatan di Laut Cina Selatan yang kaya energi agar bisa bersaing dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia untuk memperebutkan klaim wilayah.

Namun ada juga analis yang berpendapat bahwa Tiongkok harus bisa memproyeksikan kekuasaan di segala arah. Melebarkan pengaruh terhadap Rusia di utara, juga kepada India dan wilayah Muslim lainnya, selain mengejar kepentingannya ke Timur dan Selatan. Wang Jisi, Dekan dari School of International Studi di Universitas Peking, mencatat bahwa ‘the perceived changing power balance between China and the United States has prompted many Chinese to expect, and aspire to, a more “can-do” PRC [People’s Republic of China] foreign policy’(Lieberthal and Wang 2012, 16). Hal ini memerlukan dibangunnya kembali sejarah Jalur Sutera, baik dalam dimensi darat dan maritim, untuk menjamin keberlangsungan minyak, gas, dan sumber daya lainnya. Artinya, membangun dan mendominasi sebuah ‘super region’ Eurasia baru dengan kekuatan ekonomi untuk Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah dan Laut Kaspia. Artinya, Tiongkok perlu untuk mengambil langkah-langkah dalam mengurangi provokasi separatisme dan ekstremisme agama di provinsi barat (Xinjiang dan Tibet). Hal ini juga berarti bahwa Tiongkok melawan pengaruh AS yang mencoba dan mengatur kaum Muslim di Asia Tengah dalam mencapai tujuannya membangun ‘Jalur Sutera’ baru, yang didominasi oleh AS.

India juga meregangkan kekuatan ekonomi dan militernya. C. Raja Mohan menulis, ‘After being relatively marginal to international politics all these decades, the subcontinent is reclaiming its position at the crossroads of Asia’ (Mohan 2011).

New Delhi mempertimbangkan kebangkitan Tiongkok di kawasan, karena itulah, India menelurkan kebijakan ‘Look East’, seperti yang dinyatakan oleh Presiden India, “In 1992, our Government launched India’s‘Look East Policy.’This was not merely an external economic policy, it was also a strategic shift in India’s vision of the world and India’s place in the evolving global economy. Most of all it was about reaching out to our civilizational neighbors in South East Asia and East Asia. I have always viewed India’s destiny as being inter-linked with that of Asia and more so South East Asia. I reiterate India’s commitment to work with ASEAN [Association of Southeast Asian Nations] and East Asian countries to make the 21st century truly an Asian century (Singh 2006).

Siapa Melawan Siapa?

Sementara itu, Presiden AS Barack Obama mengumumkan strategi ‘rebalancing toward Asia’, yang bertujuan untuk membendung Tiongkok di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Gayung bersambut. Dengan merangkul India lebih erat, Tiongkok juga berusaha untuk menahan pengaruh AS terhadap Samudera Hindia dan sekutu tradisionalnya di Asia, dan dengan mendominasi wilayah Muslim maka hal ini otomatis akan menjadi tantangan bagi posisi geostrategis AS di Timur Tengah. Dengan modus vevendi (jika tidak menjalin aliansi), mungkin Rusia akan siap melayani kepentingan Tiongkok. Jika dengan India terasa buntu, maka Tiongkok akan memanfaatkan Pakistan untuk melayani kepentingannya di lautan. Akhirnya, mungkin Tiongkok akan dapat memanfaatkan pertumbuhan ekonomi ke Semenanjung Arab dan Teluk Persia. Keberhasilan dari Tiongkok akan tergantung pada bagaimana penguasa ini memainkan ‘the Islamic card’. Ini adalah hal yang sulit dilakukan baik oleh AS maupun Tiongkok, karena masing-masing memiliki sentimen negatif dalam opini masyarakat Muslim.

Namun sebelum kita berbicara tentang Asia secara keseluruhan, ingatlah bahwa Minxin Pei pernah menyimpulkan bahwa ‘it is meaningless to talk about Asia as a single entity of power’(Pei 2009). Tidak ada kekuatan tunggal di kawasan Asia, melainkan selalu ada divisi dan persaingan. Tingkok vs Jepang, Tiongkok vs Korea Selatan, Tiongkok vs India, Tiongkok vs Rusia, dan belum lagi konflik internal di Thailand, Filipina, Malaysia, dan Burma.

Pei juga menulis tentang kesenjangan ekonomi antara Asia dan negara-negara Barat, ‘Asia is nowhere near closing its economic and military gap with the West. The region produces roughly 30 percent of global economic output, but because of its huge population, its per capita GDP [gross domestic product] is only $5,800, compared with $48,000 in the United States. Asian countries are furiously upgrading their militaries, but their combined

military spending in 2008 was still only a third that of the United States. Even at current torrid rates of growth, it will take the average Asian 77 years to reach the income of the average American. The Chinese need 47 years. For Indians, thefigure is 123 years. And Asia’s combined military budget won’t equal that of the United States for 72 years’.

Kemunduran AS: Mengapa, dan Seberapa Cepat?

Yang pasti, ada tantangan bagi supremasi AS di Asia setelah kegagalannya di Timur Tengah. Namun AS masih jauh dari ‘kemunduran dominasi global’. Kita bisa melihat situasi dari dua aspek. Pertama adalah untuk ‘menyeimbangkan’. Kedua, poros Asia bukan permainan zero-sum yang membutuhkan berkurangnya kekuatan di tempat lain.

Pada Maret 2013, dalam pidatonya di Asia Society New York, Penasehat Keamanan Nasional Presiden AS berbicara tentang ‘rebalancing’ sebagai ‘a comprehensive, multi-dimensional strategy: strengthening alliances, deepening partnerships with emerging powers, building a stable, productive and constructive relationship with China, empowering regional institutions, and helping to build a regional economic architecture that can sustain shared prosperity’.

Saya harus mengatakan bahwa AS memiliki kepentingan ‘holy trinity’ di Timur Tengah, yaitu: Israel, minyak, dan menahan ekspansi Rusia. Kekhwatiran pada poin ketiga telah menghilang seiring dengan jatuhnya Sovyet, namun Rusia bercita-cita untuk mengembalikan pengaruhnya di Timur Tengah. Solidaritas dengan Israel nampaknya tidak akan tergoyahkan dan kepentingan akan minyak tetap kuat meskipun dengan teknologi baru AS mampu memposisikan diri sebagai negara yang berswasembda secara energi. Perhatikan pernyataan dari Presiden AS dari masa ke masa berikut ini:

Presiden Jimmy Carter (1980): ‘An attempt by any outside force to gain control of the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital interests of the United States of America, and such an assault will be repelled by any means necessary, including military force’.

The New York Times menulis tentang kunjungan Obama ke Israel pada Maret 2013: ‘Mr. Obama hit all the right notes…he cracked jokes, quoted the Talmud and revered Israeli figures, pledged America’s unwavering support while asserting Israel’s right to defend itself, and, perhaps most important, echoed the Israeli narrative of the conflict with the Palestinians’(Rudoren and Kershner 2013, A12).

Di masa depan mungkin akan ada friksi AS dengan kekuatan Eurasia (Tiongkok, India, Rusia). Tetapi untuk hari ini, AS menghadapi situasi yang sulit di Timur Tengah yang diciptakannya sendiri. Harapan membumbung tinggi ketika Obama berpidato di Kairo pada tahun 2009, bahwa ia mengulurkan tangan kepada dunia Muslim – namun saat ini semua itu telah menguap. AS gagal dalam menengahi konflik Paletina-Israel dan memberikan solusi yang seimbang. Empat tahun setelahnya Obama dengan nada lemah mengakui bahwa menuju solusi dua negara adalah hal yang sulit.

Begitupun ketika AS mencoba melindungi negara-negara Teluk. Tidak ada pencapaian gemilang yang mampu ditorehkan. Siapa yang akan melupakan dukungan material yang diberikan AS untuk Irak di era Saddam dalam perang panjang melawan Revolusi Islam Iran? Perang Teluk dan invasi AS ke Irak pada tahun 2003 telah menjadikan Irak menjadi negara yang miskin, Saddam jatuh, Iran bisa melebarkan pengaruhnya ke Teluk dan membuka jalan bagi ekstremis Muslim Sunni untuk mendapatkan pijakan.

Salah satu peneliti kami dari Middle East Institute, yang saat ini di Baghdad, meyakini bahwa kecenderungan ke AS adalah hal yang tidak relevan. Politisi mencari patronase asing ke Iran, Arab Saudi ataupun Turki, bukan ke AS.

Lalu muncullah Arab Springs. Jelas, AS terkejut ketika sekutunya para diktator di Tunisia, Mesir, Yaman bahkan Libya, digulingkan. Sebagai buntutnya, AS mencoba untuk mendukung kekuatan ‘moderat’ yang baru yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Al Nahda di Tunisia. Setelah mendukung penggulingan Qaddafi, AS mencoba menghimpun kekuatan politik baru. Dan hari ini AS kebingungan dan hampir lumpuh melihat tragedi Suriah. Selain keliru dalam memprediksi pengaruh Iran di Mashriq, AS akhirnya mendapati bahwa rezim Bashar Al Assad memiliki daya tahan yang tinggi. Sementara itu, oposisi Suriah juga terpecah belah dan muncul esktremis Al Qaeda. Rusia dan Tiongkok juga ikut mengambil peran. Dan sungguh ironis, ketika kemudian bahwa negara monarki otoriter Arab Teluk juga tidak senang dengan kebijakan Amerika. Takut dengan adanya pemberontakan populer di tempat lain, para penguasa Teluk telah merespon dengan ‘melemparkan’ uang (yang banyak mereka miliki berkat harga minyak yang tinggi, setidaknya untuk saat ini) untuk menenangkan para demonstran yang potensial menggoyahkan pemerintahan. Negara-negara ini juga memakai mukhabarat (polisi dan jasa intelijen) untuk menindak terduga komplotan demonstran.

Akses minyak ke Timur Tengah menjadi pokok dari kebijakan AS sejak Perang Dunia Kedua, tapi sekarang para ahli memprediksi bahwa AS dapat menjadi produsen minyak terbesar di dunia pada tahun 2020 dan sepenuhnya mandiri energi pada 2035 (Bremmer dan Hersh 2013). Mungkin kondisi ini bisa digambarkan sebagai ‘lost of interest’, mulai mengikis komitmen keamanan militer AS untuk daerah-daerah Timur Tengah – yang saat ini mulai terlihat diabaikan. Hanya saja, sekutu-sekutu AS di Eropa dan Asia tetap bergantung pada minyak Timur Tengah dan industri raksasa militer AS tetap membutuhkan kehadiran AS di Timur Tengah untuk menjamin kelangsungan penjualan senjata.

Asia, The Free Rider

Bagi pembuat kebijakan luar negeri di Tiongkok dan India, Asia dan Timur Tengah dianggap ‘dekat’. Namun mereka harus menyadari masih ada jarak geografis dan psikologis yang harus mereka hadapi. Apalagi, setiap negara Asia juga memiliki masalahnya sendiri-sendiri, seperti yang dikatakan Presiden India Pranab Mukherjee, ‘the existing divide between advanced and developing Asia must be bridged to make the21st century an Asian century. To this end, while advanced Asia must maintain its economic‘miracle,’an environment must be created for the rest to catch-up and prosper’ (Moodubelle 2012).

Mantan Menteri Perdagangan Bo Xilai (sebelum kejatuhannya pada 2012) mengingatkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Tiongkok begitu ‘hype’, namun paling penting bagi negaranya adalah mengembangkan kemampuan negara hingga 50 tahun ke depan (Sengupta 2006).

Namun demikian, karena Asia masih haus akan energi, maka hal ini akan memaksa mereka untuk terlibat dalam politik di Timur Tengah. Tiongkok dan Inda akan terus bekerja untuk memproyeksikan kekuatan di Samuddera Hindia dan Laut Arab. Perusahaan minyak dan gas akan terus berusaha mencari akses yang aman terhadap sumber daya alam Timur Tengah. Suara yang berpengaruh di Teluk telah menasehati agar Tiongkok dan India menimbang dalam-dalam isu-isu politik yang dimainkan di kawasan. Dr Abdelkhaleq Abdulla, seorang intelektual terkemuka dari UEA, telah mendesak rekan-rekannya di Tiongkok dan India untuk tidak berdiri di salah satu pihak jika ingin mendapatkan keuntungan energi dan finansial. Artinya, mengambil posisi pro-Palestina berarti tidak netral. Dukungan terhadap Palestina berarti juga mendukung Iran (yang sering dikeluhkan oleh negara-negara Arab), dan berarti juga mendukung ekstremis politik Islam Sunni.

Serangan Israel-AS terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran, atau runtuhnya rezim Assad di Suriah, bisa menjadi masalah yang muncul tiba-tiba di masa depan. Sejauh ini, Rusia dan Tiongkok berperan sebagai penahan upaya AS dan Eropa untuk menjatuhkan rezim Suriah maupun menahan tekanan terhadap Iran. Dalam perang Teluk, apalagi ketika melibatkan Hizbullah Lebanon dalam melawan Israel, di sisi manakah Asia harus berdiri? Mungkin untuk keuntungan geopolitik, Tiongkok dan Indoa harus mengambil peran yang lebih aktif dalam kebijakan Timur Tengah. Konvergensi antara Asia dan Timur Tengah, meskipun meningkat, tetapi terbatas pada bidang ekonomi dan transaksi komersial. Kunjungan Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu ke Beijing mungkin merupakan tanda untuk masa depan.

Pengaruh AS mungkin akan berkurang, namun tidak mungkin benar-benar lenyap dan tetap akan menjadi kekuatan militer yang dominan di wilayah. Dan untuk saat ini, Tiongkok dan India mungkin puas dengan tetap membiarkan AS memainkan peran ini demi kepentingan stabilitas regional.

[1] The author gratefully acknowledges the research assistance of Rana Khoury. Earlier versions of this paper were delivered at conferences at the College of William & Mary in Williamsburg, Virginia, and the American University of Beirut. A revised version of this paper was presented at 22 May 2013.

References:
Allison, Graham, Robert Blackwill, and Ali Wyne. 2013.Lee Kuan Yew: The Grand Master’s
Insights on China, The United States, and the World. Cambridge, MA: MIT Press.
Alterman, Jon B. 2013.The Asia Pivot(Middle East Notes and Comment, 10 January).
Washington, DC: Center for Strategic and International Studies.
Bremmer, Ian, and Kenneth A. Hersh. 2013.“When America Stops Importing Energy.”The
New York Times(Op-Ed), May 22. Accessed June 3, 2013. http://www.nytimes.com/
2013/05/23/opinion/global/when-america-stops-importing-energy.html/.
Carter, Jimmy. 1980.“State of the Union Address.”Presented January 23. Accessed June 3,
2013 http://millercenter.org/president/speeches/detail/3404/.
Choudhury, Ranabir Ray. 2005.“Asian century.”The Hindu Business Line, April 16. Accessed
June 3, 2013. http://www.thehindubusinessline.com/todays-paper/tp-opinion/asian-century/
article2174711.ece?ref=archive/.
Donilon, Tom. 2013. The United States and the Asia-Pacific in 2013. Paper presented at The
Asia Society, New York, NY, USA, March 11. Accessed June 3, 2013. http://www.
whitehouse.gov/the-press-office/2013/03/11/remarks-tom-donilon-national-securityadvisory-president-united-states-a/.
Lieberthal, Kenneth, and Jisi Wang. 2012.Addressing US–China Strategic Distrust(John
L. Thornton China Center Monograph Series No. 4, March). Washington, DC: Brookings
Institution.
Mahbubani, Kishore. 2008.“The Case Against the West.”Foreign Affairs87 (3): 111–124.
Mohan, C. Raja 2011.“South Asia Rising.”The Indian Express,November 9. http://www.indianexpress.com/news/south-asia-rising/873580/0.
Moodubelle, Sheeja. 2012.“Udupi: Pranab Mukherjee Speaks on Role of India in Asian
Economy.” Daijiworld,May 26. Accessed June 3, 2013. http://www.daijiworld.com/
news/news_disp.aspn_id=138865/.
Pei, Minxin. 2009.“Think Again, Asia’s Rise.”Foreign Policy,July–August. Accessed June 3,
2013. http://www.foreignpolicy.com/articles/2009/06/22/think_again_asias_rise/.
Ping, Ho Kwon. 2012.“Asia as Global Leader–Not So Fast.”Yale Global Online,May 14.
Accessed June 3, 2013. http://yaleglobal.yale.edu/content/asia-global-leader-not-so-fast/.
Rudoren, Jodi, and Isabel Kershner. 2013.“Attempt to Win Hearts is Tempered by a Challenge
to Wary Israelis.”The New York Times,March 21.
Sengupta, Ramananda. 2006.“India’s Power is Infinite.” Rediff India Abroad,March 20.
Accessed June 3, 2013. http://ia.rediff.com/money/2006/mar/20asoc3.htm?q=tp&file=.htm.
Singh, Manmohan. 2006.“Opening Address.”Presented at the LSE Asia Forum 2006, New
Delhi, India, December 6–7. Accessed June 3, 2013. http://www2.lse.ac.uk/
LSEAsiaForum/pdf/ManmohanSingh_OpeningAddress.pdf/.
Weisgerber, Marcus. 2012.“Agreement Calls for 4 U.S. Littoral Combat Ships to Rotate
through Singapore.” Defense News,June 2. Accessed June 3, 2013. http://www.
defensenews.com/article/20120602/DEFREG03/306020001/Agreement-Calls-4-U-SLittoral-Combat-Ships-Rotate-Through-Singapore/.
Xi, Jinping. 2013.“Working Together Toward a Better Future for Asia and the World.”Paper
presented at the Boao Forum for Asia Annual Conference 2013, Boao, Hainan, China, April 7. Accessed June 3, 2013. http://news.xinhuanet.com/english/china/2013-04/07/c_132290684.htm/.