[Paper] Al-Qur’an Menggiring Mossadegh Menuju Kehancuran

Tulisan ini merupakan intisari dari paper yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul HOW THE QOR’AN LED TO THE DOWNFALL OF MOSSADEGH, Asian Affairs, 43:1, 103-105, DOI: 10.1080/03068374.2012.649550. Artikel ini dipublikasikan secara online pada 24 Februari 2012, di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/03068374.2012.649550. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

Al-Qur'an

Al-Qur’an Menggiring Mossadegh Menuju Kehancuran

Antony Wynn [1]

Dalam periode singkat setelah pemilu demokratis di Iran usai Perang Dunia 2, suara-suara nasionalis rakyat Iran yang mengkritik eksploitasi perminyakan oleh Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) mulai terdengar. Dengan nasionalisme yang tinggi, Mossadegh yang berkuasa usai pemilu tahun 1951 berjanji akan memperbaiki situasi ini. Ia lantas menasionalisasi industri perminyakan, mengusir Inggris, dan setelahnya, ia pun dikudeta pada tahun 1953 oleh CIA-SIS. Lalu Shah Reza Pahlevi, yang meninggalkan negara itu, kemudian kembali menapaki kekuasaannya. Ketika Shah kembali berkuasa, bisnis Amerika Serikat (AS) dan Inggris relatif stabil dan makmur, sampai akhirnya terjadi revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Dalam hal ini, SAVAK, yang menjaga stabilitas dan keamanan.

Setelah pesta berakhir dengan air mata, banyak akademisi liberal, khususnya yang berada AS, mulai menulis bahwa tindakan mereka menyingkirkan Mossadegh, adalah sebuah kekeliruan. Bukankah Mossadegh adalah sosok yang dipilih secara demokratis dan sekuler oleh rakyat? Mereka berkata, dan sampai hari ini masih mengulangi perkataannya – kalau saja mereka mendukung Mossadegh, bukan menggulingkannya, maka Iran hari ini akan menjadi negara demokrasi sekuler yang ramah kepada Barat.

Sekarang, rezim di Iran terjebak terkait dengan Mossadegh. Mereka tidak memiliki pilihan selain bertepuk tangan atas nasionalismenya, dan perjuangannya melawan imperialisme Inggris. Namun di saat yang sama, rezim Iran kesulitan menerima sekulerismenya.

Catatan kaki atas sejarah ini tidak pernah dipublikasikan. Tidak ada catatan tertulis tentang hal itu. Namun kisah ini disampaikan melalui mulut ke mulut, dan hal tersebut tidaklah mengherankan karena di Iran, para elit politik menutup rapat-rapat ‘buku harian’ mereka, karena takut dibaca oleh publik.

Akibatnya, sejarawan Iran datang ke National Arsip di Kew untuk melihat catatan dari Inggris tentang sejarah negara mereka. Cerita ini menyangkut Kazeem Hassibi dan hubungannya dengan negosiasi antara Pemerintah Iran dengan AIOC.

Hassibi adalah seorang yang religius, anak seorang pedagang bazaar terkemuka, yang telah dikirim ke Perancis oleh Shah untuk belajar fisika dan geofisika selama tujuh tahun di E’cole Polytechnique. Ia selalu membawa aftabeh (guci kecil tempat air) di bawah seragamnya, agar bisa melakukan wudhu dengan benar. Ia adalah seorang ahli matematika yang brilian dan menguasai bidang teknik. Ketika dilakukan nasionalisasi pada sektor perminyakan di Iran, ia menjadi penasehat Mossadegh dalam hal-hal teknis, seperti menghitung pendapatan minyak.

Setelah Inggris diusir dari ladang minyak Iran, dan kemudian minyak Iran diboikot, maka ekonomi Iran pun hancur — tanpa adanya pendapatan untuk belanja negara, dan pemerintah hanya mendapatkan anggaran dari meminjam. Bahkan saat itu, para siswa didorong untuk membeli obligasi senilai 10 tomans per orang. Saat itu, Mossadegh mengatakan bahwa ia tidak bisa menyelesaikan permasalahannya dengan Inggris, dan seandainya ia melakukan sebuah kesepakatan dengan Inggris, maka para pendukungnya akan menuduh bahwa ia berkhianat. Ia pun terpojok.

Pada titik ini, untuk memecahkan kebuntuan, Bank Dunia melakukan intervensi dengan usulan bahwa mereka harus mengambil alih industri minyak dan mengoperasikannya atas nama Iran selama dua tahun, sampai Iran berhasil melakukan kesepakatan baru dengan AIOC. Ini adalah penawaran yang masuk akal, kesempatan emas bagi Mossadegh, dan ia tahu itu. Ia lantas meminta tim penasehatnya untuk memeriksa proposal itu dan melaporkan kembali padanya. Salah satu nasehatnya adalah Hassibi.

Dua hari sebelumnya, Hassibi mengaku bermimpi melihat burung bewarna cerah yang datang padanya, namun kemudian burung itu terbang menjauhinya. Dalam khaabnameh – buku milik Syiah yang menjelaskan penafsiran mimpi, diartikan bahwa burung yang berwarna cantik tersebut berbahaya dan bisa menyesatkan. Bagi mereka, mimpi adalah peringatan ketika mereka tergoda mengambil langkah yang salah.

Pada hari ketiga setelahnya, ia diberi dokumen tentang usulan Bank Dunia dan meminta untuk melaporkan kembali padanya. Sadar akan pertanda dari mimpinya, Hassibi, tanpa melihat dokumen tersebut, langsung mengambil dan mengatakan bahwa ia akan berkonsultasi dengan anggota dari dewan perusahaan minyak. Pagi harinya, Hassibi menuju rumah temannya, Abbas Parkhideh, yang menjabat sebagai Presiden Komisisaris dari perusahaan minyak. Parkhideh juga merupakan orang yang religius dan baru saja kembali dari hamman. Di dalam rumah, mereka melihat dokumen itu untuk pertama kalinya, tapi hampir tidak berani membacanya.Mengingat hal ini sangat penting dan mendesak, dan tidak mampu memutuskan perkara yang mereka ketahui akan dimintai pertanggungjawaban di kemudian hari, mereka memutuskan menyelesaikan pertanyaan dengan istikharah.

Istikharah adalah ritual yang biasa dipraktekkan oleh orang Persia dengan menggunakan Al-Qur’an untuk menemukan solusi atas masalah yang sulit. Al-Qur’an, menurut Syiah menjelaskan ‘baik’ dan ‘buruk’. Misalnya, jika Al-Qur’an mengatakan sesuatu seperti api atau belerang, maka itu adalah pertanda buruk. Sedangkan jika Al-Qur’an mengatakan seperti kebahagiaan atau surga, maka itu dianggap sebagai pertanda baik.

Maka Parkhideh membawa Al-Qur’an dan menyerahkannya kepada Hassibi untuk dibuka. Hassibi keberatan, karena bukankah Parkhideh yang baru kembli dari hamman — masih dalam kondisi ‘murni’ secara spiritual dan karenanya, Parkhideh yang harus membuka kitab suci. Dan ketika dibuka, ternyata ayat-ayat tersebut memberikan pertanda buruk. Hassibi menggeleng, dan berkata, “Sekali lagi Inggris ingin menipu kita.”
ia lantas mengambil proposal dari Bank Dunia tersebut, dan kembali kepada Mosssadegh sembari mengatakan bahwa proposal itu tidak dapat diterima.

Mossadegh, yang mengikuti saran dari penasehat ahlinya, akhirnya menolak proposal Bank Dunia, dan sebulan kemudian ia digulingkan melalui kudeta. Ia dipenjara selama tiga tahun dan menghabiskan sisa hidupnya menjadi tahanan rumah. Hal ini hanya sebagian dari keseluruhan cerita, untuk menunjukkan bagaimana orang-orang yang berpendidikan tinggi di Iran, bahkan yang terbentuk dari didikan Barat, bisa dengan piciknya percaya pada takhayul agama dan merespon sebuah permasalahan dengan cara yang tidak rasional.

————-

[1] Antony Wynn, penulis buku Persia in the Great Gameand Three Camels to Smyrna, menghabiskan waktunya selama beberapa tahun untuk tinggal dan bekerja di Iran – sebelum maupun setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Ia menjabat menjadi anggota dewan Iran Society sejak 2009. Cerita ini dikisahkan padanya, dari seorang teman lamanya yang berasal dari Hassibi.