[Jurnal] Seni dan Resistensi di Timur Tengah

Tulisan ini merupakan intisari dari jurnal yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul THE ART OF RESISTANCE IN THE MIDDLE EAST, Asian Affairs, 43:3, 393-409, DOI: 10.1080/03068374.2012.720061. Dipublikasikan secara online pada 29 Oktober 2012 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/03068374.2012.720061. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel jurnal ini. grafitiSeni dan Resistensi di Timur Tengah

Charles Tripp

Pendahuluan

Selama beberapa tahun saya telah menulis buku tentang politik resistensi/ perlawanan di Timur Tengah dan akan diterbitkan pada tahun 2012. Saya melihat ada cara berbeda yang digunakan untuk masyarakat untuk menolak kekuatan dominan, baik itu pendudukan pasukan militer asing, kekuasaan otokratis, atau kekuatan ekonomi. Saat mempelajari cara-cara yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk melawan, yang paling menggelitik saya adalah ekspresi artistik sebagai salah satu strategi perlawanan.

Contoh pertama adalah karya seniman Palestina, Vera Tamari yang berjudul ‘Mashin?’ yang diciptakan pada musim panas tahun 2002. Saat itu Israel meluncurkan serangan ke wilayah Palestina. Ia melihat bahwa karakteristik serangan Israel yang selalu menggunakan kendaraan lapis baja, dan itu berarti bahwa mobil-mobil biasa di sepanjang Ramallah akan tergencet. Alhasil, keesokan hari ketika warga terbangun dari tidurnya, mereka akan mendapati mobil mereka telah rusak. Ia mencoba menyampaikan pesan ini dalam karya yang menggambarkan kenyataan kehidupan masyarakat di bawah pendudukan. Jadi, di lapangan Al-Bireh ia menciptakan sebuah tiruan mobil tergencet. Pameran dibuka pada Juni 2002 mendapatkan apresiasi dari masyarakat setempat.

Saya memfokuskan kajian ini karena menangkap sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dan cenderung membingungkan tentang hubungan antara seni dan kekuasaan. Beberapa orang bahkan kadang-kadang mengklaim bahwa karya seni mereka bisa mengubah dunia. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Dan kemungkinan adanya efek dari seni terhadap kekuasaan menggelitik ilmuwan politik seperti saya. Karya seni digunakan untuk menggambarkan diri mereka sendiri, kepemimpinan, dan tatanan alam, dan juga keinginan atau apirasi masyarakat.

Misalnya sebuah lukisan Presiden Husni Mubarak, hasil karya seniman Korea Utara, yang digantung pada Museum Militer di Benteng Kairo sampai tahun 2011. Lukisan itu menunjukkan Husni Mubarak dengan jenderalnya, dikelilingi oleh rakyat Mesir yang menyambut dengan merpati, bunga, dan hal lain yang melambangkan kemenangan. Lukisan itu menggambarkan posisi Husni Mubarak dan bagaimana rakyat Mesir ‘dipaksa’ menerimanya, meskipun sebenarnya tidak demikian. Gambar itu cukup akurat untuk untuk memahami hubungannya dengan rakyat Mesir. Hal ini juga menjelaskan apa yang terjadi di Mesir pada tahun 2011

Jadi, hubungan antara kekuasaan dan seni memiliki efek terhadap sikap masyarakat. Kita perlu melihat potret dari pemimpin politik di Timur Tengah. Mereka bersikeras bahwa rakyat harus mengenali sosok kepala negara yang merupakan figur ayah bagi rakyatnya, sehingga ketika penguasa harus bekerja keras guna menciptakan lukisan, poster, simbol-simbol dan sejenisnya tentang diri mereka. Maka ketika suatu saat rakyat bergerak melawan penguasa, maka yang menjadi sasarannya adalah gambar-gambar itu.

Menyerang atau menghancurkan gambar merupakan simbol perlawanan. Di Tunisia, seniman J.R. dan timnya bergerak merobohkan sejumlah besar poster Ben Ali, dan setelahnya mereka memasang gambar rakyat Tunisia di tempat tersebut.

Kedengarannya mustahil untuk mengukur efek yang timbul secara langsung dari penggunaan seni untuk resistensi, misalnya terhadap ekonomi dan militer. Tetapi saya ingin memandang persoalan ini dari nilainya. Bagaimanapun juga, banyak orang telah menyuarakan resistensi melalui produk artistik, yaitu poster, seni grafiti dan seni rupa.

Pembahasan

Poster
Salah satu bentuk yang paling jelas dari sebuah seni perlawanan, baik di masa revolusi Eropa atau di tempat lain, adalah poster politik. Anda bisa memasang poster di dinding untuk menarik perhatian, ataupun menyampaikan pesan sehingga dapat mengubah perspektif masyarakat. Anda dapat mewakili diri sendiri, atau mewakili komunitas, dengan menggunakan kata-kata maupun simbol.

Dari tahun 1960 dan seterusnya, poster perlawanan Palestina bisa ditemukan di sebagian besar wilayah Lebanon. Pemerintah pusat yang lemah tidak mampu mengontrol kegiatan ini. Sedangkan di kawasan tanah Palestina yang diduduki, terdapat poster yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada rakyat Palestina dan non-Palestina untuk memahami apa itu arti sebuah perjuangan. Sebagian poster menunjukkan gambar senapan untuk merebut kembali tanah mereka.

Bagi penduduk Palestina, poster tersebut merupakan gambaran tentang sesuatu yang tengah mereka perjuangkan. Mereka juga menggunakan peta Palestina, dan menggunakan simpol senapan untuk menunjukkan bagaimana cara mereka berjuang untuk mencapai tujuan. Hal ini juga bermakna bahwa mereka menggunakan perlawanan senjata. Jadi poster tersebut bermakna untuk menumbuhkan dan menghidupkan kesadaran untuk melalukan perlawanan.

Satu poster mencolok dari Lebanon pada 1980-an menunjukkan para pemuda yang bersenjata dari kamp-kamp pengungsi, dengan slogan ‘wa-kharaja al-Marid min alqamqam’. Poster-poster ini membantu menciptakan kondisi agar resistensi dan perlawanan bersenjata, benar-benar menjadi kenyataan. Untuk PFLP, mereka memasang yang poster menyatakan ‘saya melawan, karena itu saya tetap ada’.

Poster memiliki potensi yang cukup besar untuk membentuk atau memperkuat agenda politik. Hal yang menarik dari poster adalah bagaimana mereka memadukan simbol, warna, subjek, untuk mencerminkan perubahan dalam strategi dan prioritas. Poster dari kelompok perlawanan perlawanan Palestina telah didentifikasi bertujuan untuk menjaga agar kenangan tentang perjuangan tersebut tetap hidup.

Tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan tentang Palestina. Apakah simbol yang digunakan telah sesuai? Misalnya tentang khaffiyeh hitam putih? Apakah bordirnya merupakan ciri khas pakaian tradisional wanita? Apakah arti tanah itu sendiri? Mengapa harus fokus pada simbol suci Yerusalem?

Dalam kasus Palestina, juga penting dilihat bagaimana posisi Palestina di hadapan masyarakat internasional, untuk mendapat pengakuan global dan dukungan internasional. Inilah yang menyebabkan jumlah poster yang diproduksi semakin banyak, tidak hanya dalam bahasa Arab, melainkan juga dalam bahasa negara-negara di Eropa untuk memberikan jangkauan yang luas. Dengan kata lain, gagasan perlawanan Palestina bukan hanya untuk orang Palestina semata, tetapi juga bertujuan mengingatkan orang di luar Palestina. Tentu saja, beberapa poster internasional ini tidak diproduksi oleh orang Palestina saja, misalnya poster pro-Palestina di kompetisi internasional 1970 yang pemenangnya adalah seniman Polandia, Jacek Kowalski. Dan desain untuk kompetisi itu sendiri dibuat oleh Pedro Laperal, seniman Spanyol.

Seiring waktu, isi serta gaya mulai berubah. Sebelumnya poster dari tahun 1960-an dan 1970-an masih terlihat abstrak. Misalnya seorang pria heroik Palestina dan seorang wanita, berdiri atas nama rakyat Palestina. Namun, pendekatan lain telah terlihat di beberapa poster yang diproduksi sejak sekitar tahun 2000 oleh Hamas di Gaza. Meski yang digunakan adalah simbol populer seperti Al-Aqsa, namun mereka sering menggambarkan individu dengan nama yang telah teridentifikasi gugur pada suatu waktu. Ini adalah perubahan yang signifikan dalam idiom atau gagasan perlawanan itu sendiri. Mereka berusaha untuk menekankan bahwa inilah bentuk perlawanan, dan apa yang harus mereka korbankan untuk itu.

Poster juga memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kesadaran dan mengekspresikan perlawanan selama Revolusi Iran 1978/9. Karena infrastruktur yang dibutuhkan untuk membuat poster cenderung sulit, mereka menggunakan satu ruang lokakarya di kampus Universitas Teheran. Lokakarya didirikan oleh Morteza Mumayez, seorang seniman Iran. Hanya sejumlah warna bisa digunakan, karena hanya itulah yang tersedia, guna mengekspresikan apa itu revolusi, yaitu: ‘kematian bagi Shah’, ‘kemuliaan syahid’ dan, tentu saja, bagaimana mereka menghadapi pasukan bersenjata. Sebagaimana situasi di tempat lain, karya seni itu menggarisbawahi kesediaan rakyat Iran untuk mengorbankan diri mereka untuk melawan rezim yang menindas rakyat dibawah kendali Shah.

Setelah revolusi yang berakhir dengan kajatuhan Shah, industri Iran memproduksi poster yang lebih bertaring. Ini berusaha untuk mengekspresikan secara simbolis perjuangan Republik Islam pada skala global, perlawanan terhadap imperialisme, dan juga dukungan bagi polemik yang dialami dunia Islam.

Grafiti
Bentuk yang sangat umum lainnya untuk mengekspresikan perlawanan adalah seni
grafiti. Banyak tema yang sama muncul seperti pada poster perlawanan, tapi penciptaan grafiti memungkinkan orang untuk mengekspresikan diri mereka dengan rahasia sekaligus berisiko – karena Anda mungkin akan ditembak atau ditangkap saat melukis grafiti. Banyak anak muda Palestina selama intifada – pemberontakan 1987/1991- di wilayah Palestina yang diduduki. Anda bisa menunjukkan komitmen perlawanan dengan keluar pada malam hari dengan kuas atau sekaleng cat semprot.

Seperti poster, pentingnya grafiti terletak tidak hanya pesan, tetapi penempatannya di dalam yang ruang publik. Ini menunjukkan bahwa ruang publik tidak lagi dimonopoli oleh faksi politik yang kuat maupun militer. Grafiti menjadi pesan perlawanan yang kuat yang telah digunakan oleh banyak orang di banyak tempat. Ketika orang-orang Israel membangun Tembok Pemisah dan menutup di Tepi Barat, yang secara tidak sengaja mereka membangun ruang yang sangat besar untuk berkembangnya seni grafiti. Mereka menunjukkan perlawanan dengan gambar dan tulisan baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Inggris.

Beberapa orang akan mengatakan, di mana ada dinding dan grafiti, maka kita tidak mungkin melupakan Banksy. Ia adalah seniman Inggris yang telah membingungkan publik di seluruh Britania Raya. Tembok pemisah telah menjadi simbol realitas dan penindasan karena begitu mengintimidasi penduduk Palestina. Oleh karena itu, tema yang diangkat Banksy dalam seni grafiti bukan hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga untuk mencemooh otoritas Israel. Seorang penduduk Palestina yang telah berusia lanjut mengawasinya ketika ia membuat lukisan lucu sekaligus fantastis di tembok pemisah dan berkomentar bahwa lukisan itu sangat indah. Banksy mengucapkan terima kasih untuk pujiannya. Jadi, ketika sebuah seni grafiti dipuji indah, maka apakah pesan Bansky yang mencemooh Israel tersebut sampai kepada masyarakat? Dampak dari seni grafiti itu sendiri sulit untuk diukur. Ketika orang-orang melihat grafiti, mereka akan bertanya-tanya apakah hal itu hanyalah bentuk untuk mengekspresikan diri? Apakah hal itu memiliki efek? Apakah ada hubungannya dengan kekuasaan?

Maret 1991. Saat itu bahwa sisa-sisa tentara Irak, dikalahkan oleh Kuwait dalam Operasi Desert Storm, melintas ke utara dari perbatasan Kuwait-Irak. Di pinggiran Basra, ada satu tempat yang dipasangi poster besar Saddam Hussein. Ketika tank tentara Irak melintas, mereka menembakkan barel ke poster setinggi 30 kaki, yang menyebabkan poster di bagian wajah Saddam Hussein menjadi hancur. Mungkin terdengar berlebihan, namun banyak pihak yang mengatakan bahwa ini merupakan katalis sebelum munculnya pemberontakan di wilayah Irak bagian selatan. Perusakan terhadap poster oleh tentara dianggap sebagai bentuk perlawanan. Saat itu, bahkan tentara sendiri telah berbalik melawan diktator. Perlawanan ini lantas diikuti di Najaf, di Basra, di Karbala, di Nasriyya dan di tempat-tempat lain di seluruh Irak selatan. Meskipun penduduk Irak selatan telah keliru dalam mengukur kekuatan Saddam Hussein, namun efek dari frase yang mereka gunakan yaitu ‘jangan takut’, ‘mulai hari ini tidak ada lagi rasa takut’, ternyata terdengar lagi sejak tahun 2011 ketika Arab Spring meletus di kawasan.

Pada tahun 2004, di Kamishlo di Suriah, demonstran Kurdi merobohkan potret Hafiz al-Assad. Tahun 2008, di kota industri al-Mahalla al-Kubra, Mesir, selama pemogokan pada bulan April, para demonstran menghancurkan poster Presiden Mubarak. Tahun 2011, perusakan serupa itu menjadi hal yang sangat biasa. Selama pemberontakan, tanda silang merah menghiasai poster Presiden Bashar al-Assad di Suriah, Mu’ammar Qadhafi di Libya, Presiden Mubarak di Mesir dan Presiden Ben Ali di Tunisia.

Apakah ini hanyalah sebuah ekspresi pembangkangan, atau hal itu benar-benar mendorong resistensi? Hal ini masih dalam perdebatan. Namun yang pasti, ketika seseorang bisa menghancurkan simbol yang dibentuk oleh pemimpin, maka bisa dipastikan bahwa telah terjadi sesuatu, alias peta politik telah berubah. Di Libya, setidaknya di Benghazi, setelah pasukan Qadhafi telah diusir, masyarakat menumpahkan imajinasi mereka dengan merusak simbol-simbol Qadhafi. Sikap masyarakat saat itu, otomatis bertolak belakang dengan citra yang dibangun Qadhafi bahwa ia adalah seorang pemimpin, seorang raja diraja Afrika yang dicintai rakyat.

Pada tahun 2011 di Kairo, tepatnya Tahrir Square, tidak ada dinding yang tersedia untuk seni grafiti. Tapi seperti yang disebutkan oleh Karima Khalil dalam karyanya Pesan dari Tahrir, jelas menunjukkan, rakyat Mesir menemukan solusi cerdik: mereka menyampaikan pesan pembangkangan dan perlawanan dengan menggunakan diri mereka sendiri. Mereka menggunakan tubuh, sepatu, tangan, bayi, bahkan kucing peliharaan untuk menyampaikan pesan ke penindas seperti ‘irhal!’ yang berarti ‘pergilah’.

Setelah Mubarak jatuh, Angkatan Bersenjata (SCAF), mengambil alih kekuasaan Mesir. Mereka pun menjadi target protes oleh para seniman di Mesir seperti Ganzeer, yang melukis di sebuah jembatan Zamalek. Lukisannya menggambarkan tank tempur besar dan seorang pria bersepeda yang limbung karena harus memegangi sekeranjang roti di atas kepalanya. Lukisan ini menggambarkan posisi rakyat Mesir yang lemah namun berhadapan dengan kekuatan militer yang tetap berkuasa.

Pada bulan Oktober 2011, ada demonstrasi di Egypt State Broadcasting Authority, yang menewaskan sekitar 30 orang, sebagian besar adalah penganut Kristen Koptik, dan mereka tewas oleh tentara pemerintah. Maka Genzeer pun kembali beraksi. Ia mneggambarkan rakyat Mesir yang berlumuran darah yang tergeletak di bawah tank-tank militer. Ini adalah sebuah pesan yang sangat kuat, yang menggambarkan tentara sebagai pembunuh rakyat Mesir.

Seni rupa
Poster dan grafiti merupakan bentuk seni yang sangat umum, seni jalanan dari sebuah perlawanan. Berbagai contoh di berbagai tempat seperti Palestina, Irak dan Lebanon, para seniman memainkan peran untuk melakukan perlawanan.

Contohnya, Laila Shawa adalah seniman Palestina yang telah menggunakan seni untuk menarik perhatian anak-anak selama intifada dan penindasan. Ia menggunakan grafiti jalanan untuk menciptakan hubungan antara pembangkangan publik dan anak-anak yang merupakan korban dari penindasan. Contoh lain, komunitas seni Palestina mereka membangun sebuah billboard dengan berbagai komentar realitas pendudukan. Ada gambar, rangkaian huruf. Tampak normal sebagaimana iklan es krim merek Walls. Namun ketika diteliti, pria yang menikmati es krim itu ternyata bertuliskan, ‘mmm … buza bi’ta’am al-ihtilal’ yang artinya ‘mm … es krim dengan rasa pendudukan’. Ini adalah bagian dari cara penduduk Palestina untuk memboikot barang-barang Israel, terutama produk yang diproduksi di tepi Barat yang diduduki. Jadi upaya oleh seniman untuk meningkatkan kesadaran harus dilihat sebagai sebuah upaya atau metode untuk mencoba untuk mulai mengubah cara orang melihat hal-hal melalui penggunaan imajinatif seni.

Pendekatan lain, pada skala lebih sederhana, dapat dilihat di karya seniman Palestina, Raed Issa. Ia yang bertempat tinggal di Gaza, melahirkan karya-karya abstrak yang indah untuk menggambarkan pengeboman dan kematian yang menjadi ‘santapan’ sehari-hari warga Gaza. Karyanya, yang menggambarkan serangkaian tubuh berselimut berjudul ’99 Martyrs. Ia menggunakan estetika untuk menyampaikan kepada orang-orang di luar Gaza tentang tragedi yang dialami oleh penduduknya.

Seniman Irak juga memiliki keprihatinan yang sama. Mereka harus menyaksikan efek pendudukan militer dan perang tanpa henti di negaranya. Seniman Hanaa Malallah, misalnya, dalam karyanya ‘Conference of the Birds’ (merujuk pada sastra klasik Arab dari Farid al-Din alAttar) ia menyesali penjarahan dan pembakaran perpustakaan dan museum di Baghdad yang terjadi segera setelah pasukan Amerika telah menduduki kota itu pada tahun 2003. Ia berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat tentang apa yang telah terjadi.

Ada lagi buku yang dirilis oleh Kareem Risan yaitu ‘Every Day’ yang berisikan gambar dengan cat merah. Jika Anda amati lebih seksama, maka warna merah itu terlihat seperti sebuah bom mobil dan menyisakan trotoar yang dipenuhi darah, kacamata, buku catatan dan benda-benda yang biasa dipergunakan sehari-hari. Hal ini menggambarkan protes atas kekerasan yang melanda Irak setiap harinya setelah adanya invansi AS sejak tahun 2003.

Lebanon juga demikian. Para seniman menunjukkan protes dan penentangan. Misalnya Walid Raad, seniman Lebanon terkenal. Ia menciptakan karya berbentuk dokumen berjudul ‘Already been in a lake of fire’. Setiap halaman menunjukkan warna mobil yang digunakan dalam setiap bom mobil yang menghantam Beirut. Dokumen ini juga mencatat semua kejadian, ukuran bom, jumlah korban tewas, dan ketika bom mobil meledak, diilustrasikan dengan gambar mobil yang dianggap cocok yang berasal dari potongan majalah. Jadi, seperti karya beberapa seniman Irak, mereka menekankan fakta bahwa yang mereka hadapi bukan hanya penjajah asing atau pemerintah yang menindas, tetapi seluruh sistem yang telah memenjarakan mereka dalam kubangan kekerasan.

Iran juga telah menjadi tempat yang luar biasa subur untuk seni dan budaya produksi, baik sebelum dan setelah revolusi. Seniman Iran menggunakan seni untuk menarik perhatian, mengejek, dan menantang otoritas. Misalnya tentang sikap pemerintah Iran terkait wanita dan cara wanita berpakaian di ranah publik.

Seniman Shirin Neshat telah menciptakan serangkaian gambar yang ambigu, bahkan stereotip. Ia menunjukkan seorang wanita Islam, sebagai prajurit Islam, berjudul ‘Women of Allah, namun streotip itu ditumbangkan oleh penyair feminis Iran, Forough Farokhzad.

Seniman Iran yang mengangkat tema serupa dan telah mencoba untuk menguraikan gagasan apa itu wanita dalam pemerintahan Iran saat ini adalah Farkhondeh Shahroudi. Iya menerbitkan karya yang berjudul ‘The Gloves’. Sebuah sarung tangan biasa yang berubah menjadi borgol. Dia menjahitnya dengan menggunakan benang hijau dengan bentuk kaligrafi. Ia menyampaikan pesan yang kuat tentang keberadaan perempuan yang tertindas dan terkurung. Sementara negara memandang Al-Qur’an sebagai sumber hukum, dan ayat-ayat Al-Qur’an digunakan untuk mendukung rezim yang berkuasa.

Seorang seniman yang lebih radikal, yang sekarang bahkan tidak bisa kembali ke Iran, Ramin Haerzadeh, menentang seluruh konsep perbedaan jenis kelamin, ia memprotes omong kosong pembatasan gender. Dalam salah karyanya yang disebut ‘Men of Allah ‘ terdapat gambar, namun sulit untuk membedakan antara tubuh pria dan tubuh wanita. Yang bisa dikatakan hanyalah semua tubuh memiliki wajah, dan memiliki jenggot. Melalui gambar ini, ia mengomentari diferensiasi gender dan tindakan sewenang-wenang pemerintah dalam menetapkan peraturan yang mereka klaim berasal dari Allah.

Ia juga merilis ‘Bad Hejab’ yang menyoroti Teheran. Ia mengambil gambar seorang wanita Iran yang ditangkap oleh polisi wanita Iran. Ia menggagas untuk menumbangkan atau mengakhiri stereotip yang menyatakan bahwa negara berhak untuk menetapkan pakaian jenis tertentu. Ia memprotes cara rezim di Iran telah menggunakan kontrol terhadap pakaian dan tubuh perempuan untuk melambangkan otoritas dan untuk memperkuat kekuasaannya.

Aspek terakhir yang saya akan dipertimbangkan adalah ketika perlawanan dengan seni ini muncul dalam politik Iran kontemporer, terutama pada saat protes dari ‘Revolusi Hijau’ pada tahun 2009. Kejadian ini merupakan kelanjutan dari kecurangan hasil pemilihan presiden yang memenangkan Mahmoud Ahmadinejad yang didukung oleh Ayatollah Ali Khamenei.

Salah satu pemimpin protes itu Majid Tavakoli, pemimpin mahasiswa, yang melakukan rally dari kampus untuk menentang hasil pemilihan presiden. Suatu ketika, saat diadakan pertemuan di universitas, mereka digerebek oleh aparat keamanan pada dan Majid ditangkap. Tak lama berselang, salah satu kantor berita Iran merilis foto Majid Tavakoli dengan menggunakan hijab ke internet. Hal ini jelas upaya resmi untuk mendesreditkan Majid di antara para pengikutnya, bahwa ia telah mencoba melarikan diri dengan berpakaian wanita, meninggalkan rekan-rekannya yang lain. Penggunaan gambar ini, tentu saja untuk mempermalukan Majid. Namun pemerintah Iran gagal memahami internet yang ibarat pisau bermata dua. Hanya dalam hitungan jam, gambar dengan editan photoshop pun tersebar, yaitu gambar Ayatollah Ali Khamenei dan Ahmadinejad dengan menggunakan hijab. Kemudian, sebuah website berjudul ‘We are All Majid’ memuat ratusan orang dari seluruh Iran yang memakai hijab dan cadar, yang mempertanyakan apa masalahnya mengenakan hijab? Mereka juga memakai hijab.

Kesimpulan

Untuk menarik sebuah kesimpulan, sangat sulit untuk mengukur dengan jelas dan persuasif terkait efek dari sebuah produk kesenian dengan kekuasaan. Namun baik para seniman, gerakan politik, dan pemegang kekuasaan itu sendiri merasa bahwa produk kesenian memiliki efek. Setidaknya, ada dua aspek yang sangat menarik di sini.

Pertama, apa yang bisa kita pelajari dari sebuah seni resistensi? Secara politis, seni resistensi ini tampaknya menggaris bawahi betapa pentingnya kita memahami sisi imajinatif politik. Penelitian ini akan membuat Anda memikirkan tentang kekuasaan, dan bagaimana orang-orang melakukan perlawanan untuk menggulingkan si penguasa. Mereka akan mencari kelemahan dari penguasa, dan kemudian menjadikan hal itu sebagai senjata untuk memperolok. Mungkin perubahan yang terjadi tidaklah drastis, namun gerakan yang sederhana dan kecil bisa menjadi pemicu perlawanan yang lebih besar.

Pertanyaan kedua, bentuk seperti apa yang paling efektif digunakan dalam seni resistensi agar mudah dimengerti oleh masyarakat? Karena pastinya ada karya yang terkesan kurang jelas, membingungkan, atau bahkan palsu.

Selalu ada ketegangan yang menarik antara karya seni dengan kekuasaan. Dan sejarah menunjukkan bahwa seniman adalah bagian dari masyarakat yang sangat rentan diintimidasi.

____________

[1] Charles Tripp adalah Profesor Politik yang fokus pada perkembangan dunia politik di Timur Tengah, School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London.

Daftar Pustaka

1. Charles Tripp,The Power and the People: paths of resistance in the Middle East.
Cambridge: Cambridge University Press, 2012.
2. http://universes-in-universe.org/eng/nafas/articles/2009/kamal_boullata_palestin
ian_art/images/07_vera_tamari [accessed 28 June 2012].
3. http://blog.art21.org/2011/02/10/egypt-rising/ [accessed 28 June 2012].
4. http://www.thestreetartblog.net/2011/03/jr-hits-tunisia.html [accessed 28 June
2012].
5. See examples on the Palestinian Poster Project website: http://www.
palestineposterproject.org/category/iconography/weapons/bombs/armaments/guns
[accessed 28 June 2012].
6. Muwaffaq Mattar, ‘The giant has escaped from the bottle’: http://www.
palestineposterproject.org/poster/the-genie-is-out-of-the-bottle [accessed 28 June
2012].
408 THE ART OF RESISTANCE IN THE MIDDLE EAST
Downloaded by [dina yulianti] at 15:14 21 January 2015
7. Abu Naji, ‘I resist therefore I exist’: http://www.palestineposterproject.org/poster/
i-resist-therefore-i-exist [accessed 28 June 2012].
8. http://www.palestineposterproject.org/poster/homeland-denied-return-to-sender
[accessed 28 June 2012].
9. http://www.nyu.edu/greyart/exhibits/iran/imageposters/photo1/body_photo1.html
[accessed 28 June 2012].
10. Peter Chelkowski and Hamid Dabashi,Staging a Revolution: the art of persuasion
in the Islamic Republic of Iran. New York: NYU Press, 1999.
11. Julie Peteet, ‘The writing on the walls: the graffiti of the intifada’,Cultural AnthropologyVol. 11. Issue 2 (May 1996): 139 –159.
12. William Parry,Against the Wall – the art of resistance in Palestine. London: Pluto
Press, 2010, p. 10.
13. BBC Newsbeat website: http://www.bbc.co.uk/newsbeat/15967805 [accessed 28
June 2012].
14. Karima Khalil (ed.),Messages from Tahrir – signs from Egypt’s revolution. Cairo:
AUC Press, 2011.
15. http://ganzeer.blogspot.co.uk/2011/07/mad-graffiti-weekend-results.html [accessed
28 June 2012].
16. http://suzeeinthecity.wordpress.com/; [accessed 28 June 2012].
17. Laila Shawa, ‘20 targets’ from Walls of Gaza II (1994): http://www.bridgemanart.com
[accessed 28 June 2012]; Laila Shawa, ‘Children of war, children of peace’ (1993):
http://www.britishmuseum.org/explore/online_tours/museum_and_exhibition/word_into_ar/laila_shawa_palestine-uk,_ch.aspx [accessed 28 June 2012].
18. Raed Issa, ‘99 Martyrs’: http://www.eltiqa.com/raed/e_2000.htm [accessed 28
June 2012].
19. Venetia Porter,Word into Art – artists of the Middle East, Dubai 2008. London:
The British Museum Press, 2008, pp. 132 –133.
20. http://www.britishmuseum.org/research/search_the_collection_database/search_
object_image.aspx Accession number AN266062001 [accessed 28 June 2012].
21. http://www.britishmuseum.org/explore/online_tours/museum_and_exhibition/
word_into_art/etel_adnan_lebanon-usa,_naha.aspx [accessed 28 June 2012].
22. http://www.britishmuseum.org/research/search_the_collection_database/search_
object_image.aspx Accession number AN364209001 [accessed 28 June 2012].
23. http://www.waltermacielgallery.com/jjurayj.html [accessed 28 June 2012].
24. Shirin Neshat, ‘Women of Allah’ (1994): http://artspeak.ca/exhibitions/event_
detail.html?event_id=67 [accessed 28 June 2012].
25. Farkhondeh Sharoudi, ‘Gloves’ (2001): http://www.britishmuseum.org/research/
search_the_collection_database/search_object_details.aspx Accession number
AN122669001 [accessed 28 June 2012].
26. Ramin Haerzadeh, ‘Men of Allah’ (2008): http://www.saatchi-gallery.co.uk/artists/
ramin_haerizadeh.htm?section_name=unveiled [accessed 28 June 2012].
27. Ramin Haerzadeh, ‘Bad Hejab’: http://www.modernedition.com/art-articles/newarabic-art/middle-east-art-now.html [accessed 28 June 2012].
28. Mourid Barghouti, cited in Ahdaf Soueif, ‘Art of resistance’,The Guardian,21
October 2006.