[Jurnal] Revolusi Fatima, Inspirasi Perjuangan Muhammad Baqir Al Sadr

British Journal of Middle Eastern Studies, yang berjudul Fatima’s Revolutionary Image in Fadak fi al-Ta’rikh (1955): The Inception of Muhammad Baqir al-Sadr’s Activism, yang dipublikasikan secar online pada 20 Maret 2014 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13530194.2014.878508. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.

sadr1Rachel Kantz Feder [1]

Revolusi Fatima, Inspirasi Perjuangan Muhammad Baqir Al Sadr

Muhammad Baqir Al Sadr adalah salah satu dari ulama Syiah 12 Imam yang berpengaruh di abad 20. Ia lair pada tahun 1935 di Khadimiya, Irak. Keluarganya dikenal karena kepemimpinan dan keilmuannya. Ia sangat menonjol ketika belajar di hauzah (lembaga pembelajaran agama) di kota suci Najaf. Ia bimbang ketika berhadpan dengan bahaya ideologis dan praktik di Irak, dan karenanya Sadr pun berupaya melakukan perlawanan melalui reformasi pendidikan modern dalam hauzah. Ia menyuarakan kritik terhadap pemikiran kapitalis dan Marxis dengan menggunakan perspektif Islam. Ia juga kritis terhadap kecenderungan budaya Barat yang terlihat dalam organisasi sosial dan ekonomi. Ia juga mengartikulasikan visi baru otoritas keagamaan, yang mengakomodasi nilai-nilai liberal, namun di saat yang sama, tetap menjadikan Islam sebagai sentral dan prinsip utama dalam negara modern. Sadr bergulat dengan banyak topik dari teologi, teori hukum, untuk merumuskan konstitusional dan perbankan Islam. Ia ingin menghidupkan kembali Islam sebagai sentralitas di jaman kontemporer. Gagasannya tentang keadilan sosial, reformasi, peran negara, dan perencanaan ekonomi, telah menjadi perdebatan, dan ada yang telah dieksekusi pasca Revolusi Islam Iran, dan Sadr dianggap sebagai pendiri praktik perbankan syariah.

Saat berusia dua puluhan, Sadr bergabung dengan aktivis awam dan religius untuk mendirikan Islamic Da‘wa Party, sebuah partai politik modern yang didirikan dan dipimpin oleh tokoh Syiah. Namun akhirnya Sadr menjauhkan diri dari politik terbuka karena tidak sepaham dengan tokoh-tokoh senior. Dengan kecerdasan intelektualnya, Sadr pun terus mendakwahkan Islam. Secara khusus Sadr tidak pernah berbicara tentang isu-isu perempuan, namun ia memberikan peran yang sangat penting pada adik perempuannya, Amina Binti Haydar Al Sadr, dalam setiap kiprahnya.

Ketika gerakan oposisi Syiah berjalan intensif, dan berkonfrontasi dengan rezim Ba’th, Sadr dan adiknya ditangkap dan dieksekusi. Pasca jatuhnya Saddam, gambar Sadr ada dimana-mana. Partai politik maupun organisasi Syiah berlomba-lomba menjadikan Sadr sebagai simbol, mengingat ‘kekayaan’ modal politik dan budaya yang telah ia hasilkan.

Fadak Fi Al Ta’rikh [Fadak dalam Sejarah] (1955), adalah klaim warisan yang diajukan Fatimah, yang diinstrumentalisasikan untuk wacana politik modern. Sadr membicarakan isu-isu kontemporer dengan mengaitkannya pada sejarah Islam di masa lalu. Memperhatikan dan mempertimbangkan trend di lingkungan intelektual Syiah, khususnya dalam reformise modernis, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kiprah Sadr yang lebih luas di dalam kancah politik Irak, dalam konteks sosial dan diskursif. Dalam upaya menjelaskan hubungan antara gagasan Sadr dengan aktivitas sosial, artikel ini menggunakan Fadak Fi Al Ta’rikh dan mengeksplorasi pertanyaan: Bagaimana teks ini mencerminkan aspek aktivitas sosial Irak? Apakah ada perubahan dan kesinambungan atas narasi Fatima yang diyakini oleh Syiah sebelumnya? Apa koseptualisasi dari identitas komunal Sadr dan bagaimana dampak dan perseteruan dari sejarah perjuangan Fatima?

Jika melihat perjalanan Sadr dari lensa fundamentalisme Islam, ia digambarkan sebagi seorang pemimpin militan yang menggiring Syiah Irak dalam konflik dengan rezim Ba’th. Karena itu, ativitas politiknya ditutup. Produk intelektual Sadr dimulai dari Fadak Fi Al Ta’rikh, yang diterbitkan di Najaf pada tahun 1955 sesaat sebelum ia mendirikan Islamic Da’wa Party.

Dalam Fadakh Fi Al Tarikh, Sadr membawa kita kembali kepada konflik antara Fatima dan Abu Bakr yang terjadi setelah kematian Muhammad. Perselisihan berkisar antara warisan tanah Fadak, yang merupakan hadiah yang diberikan kepada Muhammad oleh kaum Yahudi. Fatima menyebut bahwa tanah Fadak itu telah diwariskan kepadanya, namun Abu Bakr menolak klaimnya. Abu Bakr menggunakan sebuah hadits yang menyebut bahwa Nabi tidak mewariskan apapun, dan segala harta yang ditinggalkan adalah sedekah.

Sunni berpendapat bahwa Fadak merupakan tanah rampasan yang diperoleh setelah melakukan penaklukan, jadi Abu Bakr dinilai benar jika menjadikan Tanah Fadak itu sebagai milik negara/ umat. Syiah berpendapat sebaliknya. Menurut Syiah, Muhammad mendapatkan tanah Fadak itu melalui kesepakatan damai, dan karenanya, tanah itu bukanlah rampasan perang. Artinya, tanah Fadak milik Muhammad sepenuhnya, dan ia berhak mewariskan tanah tersebut kepada siapapun.

Seperti reformis ulama Syiah Arab lainnya, Sadr bergulat dengan prinsip politik dan budaya dari Arabisme, pan-Islamisme dan nasionalisme teritorial. Ia berusaha mengartikulasikan Islam sebagai identitas komunal dan politik yang relevan dengan modernisasi negara. Sadr khawatir dengan kemampuan ideologi komunis yang menarik pemuda-pemuda Syiah dan kalangan profesional — yang melihat komunisme sebagai kendaraan yang layak untuk menuju modernisasi Irak.

Dalam Fadakh Fi Al Tarikh, Sadr mengubah citra tradisional yang populer terhadap sosok Fatima, dari seorang korban yang lemah, sebagai seorang pahlawan revolusioner. Teks ini merupakan upaya awal dalam wacana Syiah modern untuk menafsirkan perumpamaan dalam semangat aktivis. Sadr adalah salah satu orang yang pertama kali mempromosikan pergeseran eskatologis.

Kontinuitas dan Perubahan dalam Penggambaran Fatima

Sadr menafsirkan ulang sosok Fatima yang selama ini digambarkan lemah, bercahaya, mengalami duka mendalam (berkabung) setelah kepergian ayahnya, hingga kemarahannya — menjadi Fatima yang memiliki makna dan tujuan dari setiap gerak-gerik yang ia lakukan. Beberapa teks dari literatur Syiah pada awalnya menggambarkan kelemahan dan cacat dalam fisik Fatima. Namun dalam pengantar dramatis Sadr, pembaca diberitahu bahwa Fatima ‘was faced with two gates and no time to waver …She selected the tiring way that was hard … especially because of her physically weaker nature. For it was full of difficulties and stress and required courage, effective oratory force, and the ability to articulate the essence of the revolution (thawra) into words’. Di sini Sadr mereproduksi gagasan kelemahan fisik, tetapi membingkai kelemahan tersebut yang dimaksudkan untuk mengenali keberanian dan ketabahan Fatima.

Kemarahan Fatima juga disebutkan dalam literatur Sunni maupun Syiah. Sejarawan dan pengumpul hadits yang terkenal menceritakan bahwa Fatimah marah ketika Abu Bakr menjawab bahwa Nabi tidak mewariskan apapun. Fatima marah, dan tidak mau berbicara dengan Abu Bakr hingga maut menjemputnya. Dalam Fadak Fi Al Tarikh, kemarahan Fatima disebutkan bukanlah sebuah reaksi emosional semata. Namun kemarahan ini adalah sesuatu yang sangat penting, karena merupakan bentuk kritik atas kondisi yang ada, dan kemarahan inilah yang bisa dianggap sebagai ‘permulaan revolusi’.

Salah satu pengambaran Fatima yang juga populer adalah bahwa dari wajahnya muncul cahaya, sehingga dikenal sebagai Fatimah Az Zahra (yang bersinar). Pada kitab tafsir Syiah, cahaya melambangkan sumber kehidupan. Dan dalam Fadak Fi Al Ta’rikh, cahaya diasumsikan dalam fungsi baru yang lebih penting. Rumah Fatima disebut sebagai sumber cahaya dan simbol kenabian. Cahaya dan kenabian merupakan instrumen penting dari revolusi karena dua elemen inilah yang memandu jalan Fatima. Sadr menegaskan kembali bahwa Muhammad adalah cahaya yang menerangi jalannya revolusi. Sadr tidak hanya berpaku pada sosok kenabian Muhammad, tetapi juga meletakkan Muhammad dan sebagai seorang yang revolusioner. Sadr menjadikan Fatima sebagai ‘faktor’ yang paling diperlukan dalam pemberontakan melawan ketidak-adilan.

Syiah menyebut Fatima memiliki kekuatan supranatural,sebagaimana Maria. Misalnya ia dikunjungi oleh malaikat Jibril sepeninggal ayahnya. Namun Sadr tidak menyertakan ini dalam tulisannya, karena ia berusaha untuk membangun sebuah gambaran yang bisa dipahami, diterima, dan mudah diidentifikasi oleh siapapun. Mungkin alasan lainnya, Sadr berusaha merangkul kaum muda Syiah, para profesional dan orang-orang yang terdidik – yang tertarik pada komunis. Untuk menghindari ketegangan sekterian, Sadr juga tidak menyebutkan peristiwa ketika rumah Fatima diserang dan dibakar atas perintah Umar.

Satu-satunya penyimpangan sosok Fatima yang manusiawi terlihat dalam penyajian Sadr tentang infalibilitasnya. Tidak seperti lainnya, Sadr tidak berusaha untuk membuktikan ke-tidak-bersalah-an Fatima. Ini adalah sesuatu yang aksiomatik. Jika ke-infabilitas-an Fatimah diakui oleh Sunni maupun Syiah, maka klaimnya untuk warisan tanah Fadak adalah sah.

Sementara utilitas Fatima dijadikan sebagai panutan bagi perempuan, Sadr menggambarkan hal yang berbeda. Menurutnya, Fatima adalah role model untuk semua orang tanpa dibatasi gender. Secara tradisional, Fatima dihormati sebagai sosok wanita yang taat, sehat, religius dan seorang istri yang setia. Dalam Syiah, ia dihormati sebagai teladan kesucian dan religiusitas.

Begitu juga dengan tangisan Fatima. Sadr mendeskripsikan tangisan Fatima sebagai ‘ratapan yang getir’, bentuk dari penderitaan hati nurani dan jiwa, luka dan sakit yang mendalam, namun hal itu tidak berlangsung lama. Karena tangisan itu akhirnya mengantarkan Fatima mencapai ‘medan pertempuran’ untuk melawan.

Jadi, jika dalam kitab lain Fatima digambarkan sangat terpukul, lemah, dan bahkan lumpuh karena emosinya setelah ditinggal Muhammad, maka versi Sadr adalah kelemahan dan penderitaan adalah tahap awal untuk memulai aksi revolusioner. Menurut Sadr, Fatima berada dalam kondisi mental dan emosional yang stabil, pikirannya jernih, dan saat seperti itu, wajar ia menempuh sebuah tindakan yang tegas.

Konteks Irak dalam Fadak Fi Al Ta’rikh: Marjinalisasi Syiah

Marjinalisasi masyarakat Syiah dalam sejarah Irak modern adalah kondisi yang sangat penting dalam teks-teks yang dikemukakan Sadr. Selama kekuasaan Inggris dan awal kemerdekaan Irak, Syiah kehilangan haknya dan dikeluarkan dari negara lembaga; mereka kurang beruntung dalam kehidupan sosial dan ekonomi, terutama karena tidak meratanya distribusi sumber daya. Ketidakpuasan ini sering diperparah oleh faktor lain dan meningkat menjadi pemberontakan.

Dalam Fadak Fi Al Ta’rikh, Sadr menyatakan sentimen populer yang berasal dari masyarakat Syiah dan marjinalisasi. Sadr menyesalkan bahwa Abu Bakr menerapkan kebijakan negara yang mendiskriminasi Ali. Ia menyebut, Abu Bakr bermaksud untuk mempermalukan Ali dan pendukungnya, serta menghancurkan oposisi mereka. Kondisi Irak saat ini, menurut Sadr, tak ubahnya dengan pemerintahan di masa lalu.

Sadr mengawali tulisannya dengan menggambarkan Fatimah yang mengalami kehilangan bertubi-tubi. Mulai dari kematian ayahnya, Muhammad, lalu kehilangan ‘kemuliaan kepemimpinan umat’ akibat suksesi di Saqifah yang menunjuk Abu Bakr sebagai pengganti Muhammad. Sadr juga menceritakan keberanian Fatima yang berani melakukan kritik terhadap kondisi saat itu. Ia adalah sosok yang berani terlibat dalam perjuangan (jihad) melawan otoritas penguasa.

Irak memberlakukan darurat militer, untuk merespon pemberontakan Syiah pada tahun 1935. Sadr mengajak pembaca untuk menghubungkan penderitaan Fatima, peristiwa seputar kematian Muhammad, dengan peristiwa kontemporer dan darurat militer.

Dengan membayangkan aspek masa lalu Islam dan menghubungkan mereka dengan masa sekarang, Sadr membangun jembatan komunikatif yang mendorong pembaca untuk mempertimbangkan tindakan Fatima di
menghadapi ketidakadilan kontemporer dan diskriminasi yang sama.
Sejalan dengan bahasa Irak, tindakan Fatima ditandai sebagai revolusi [Thawra]. Sadr mendefinisikan klaim Fatima untuk warisannya sebagai revolusi melawan kekuasaan yang tidak adil: ‘If we study the historical reality of the case of Fadak…we feel clearly that the dispute in its reality and motives was a revolution against the policy of the state, which Fatima deemed discordant with the rule she was familiar with [before Muhammad’s death]’

Sadr menyebut bahwa Allah tengah menguji Fatima dengan kondisi yang penuh derita, dan tindakan yang diambil Fatima adalah menantang maut untuk membela kebenaran, memainkan peran sebagai ‘tentara pertahanan’. Umat harus mengkuduskan revolusi ini, meniru, dan melakukan perlawanan. Sadr menyampaikan pesan bahwa protes terbuka sangat penting, walaupun tidak langsung membuahkan hasil. Ia menegaskan bahwa oposisi Fatima berhasil karena Fatima berada di jalan yang benar dan memiliki ideologi perjuangan yang lebih kuat. Bahkan, pemberontakan yang terjadi di Irak disebut telah berhasil, karena pada esensinya adalah mengeskpresikan maksud dari revolusi. Menambahkan catatan revolusi kemarahan rakyat dalam sejarah sebuah negara adalah hal yang sangat penting, walaupun revolusi tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan. Fatima melakukan perlawanan terhadap Abu Bakr dan Umar yang dianggap korup dan ilegal, dan menurutnya mendukung pemerintahan seperti ini adalah pengkhianatan dan dosa.

Ketika elit penguasa monarki berupaya menghilangkan oposisi dan
pesaing, kepemimpinan Syiah menjadi target utama. Selain langkah-langkah yang diadopsi oleh negara untuk mengurangi status sosial-ekonomi para mujtahid, pada tahun 1933 sebuah komite berkumpul untuk merevisi The Majalla (perdata Ottoman) dan menyusun undang-undang hukum perdata kodifikasi yang akan mengakhiri sistem hukum ganda Irak.

Kesimpulan

Seperti reformis agama dan pemikir modernis, Sadr menangani masalah melalui interpretasi baru dari sejarah Islam awal. Pilihan Sadr dari protagonis perempuan dalam konflik tanah warisan mencerminkan posisinya dalam hirarkis lingkungan Syiah dan wacana negara Irak. Dalam awal teks Fadak Fi Al Ta’rikh, Sadr membangun jembatan komunikatif dengan pembaca, terjalinnya konteks episode Fadak dan kondisi Irak terkini yang serupa, dengan menjelaskan aspek sengketa dengan situasi seperti darurat militer. Sadr tidak bersikap kaku, yang mengatasnamakan agama, kelas atau kepentingan kelompok. Melalui teks, ia berusaha untuk menyatukan seluruh elemen seagama dan menempa sebuah komunitas politik aktif. Dia menetapkan posisi agama dalam berjuang untuk negara Irak, dan mengusulkan dasar bagi sistem politik baru di Irak yang menegakkan aturan Islam sebagai konstitusi, yang menjadi akar bagi konsensus masyarakat untuk bidang hukum dan lembaga-lembaga politik. Sadr berhati-hati untuk menghilangkan polemik sektarian dan menyampaikan pesan Islam yang universal.

Selanjutnya, Sadr menganjurkan politik partisipatif konstitusional dan metode pemilihan langsung yang akan mengakomodasi proporsional kekuasaan, sehingga bisa mengatasi tuntutan masyarakat Syiah secara lebih efektif. Jelaslah bahwa reinterpretasi unik Sadr tentang karakter Fatima dan perilaku dalam sengketa Fadak berasal dari tujuan secara keseluruhan untuk mendorong Islam, dan khususnya Syiah, dalam melakukan tindakan politik dalam menghadapi ketidakadilan modern.

[1] The Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies, Tel Aviv University, Ramat Aviv, Tel Aviv, 69978, Israel. Email:rachelka@post.tau.ac.il