[Jurnal] Opsi Ketiga untuk Mengakhiri Perang Irak

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Civil Wars yang berjudul Ending the War in Iraq: The Third Option, yang dipublikasikan secara online pada 12 Juni 2012 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2012.679504. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

Tentara Irak menangOpsi Ketiga untuk Mengakhiri Perang Irak

David Mason

Sejak perang di Irak dimulai pada tahun 2003, debat publik atas perang telah berpusat pada dua pilihan: meningkatkan jumlah tentara AS untuk mengalahkan pemberontakan, atau menarik pasukan AS untuk mengurangi kerugian Amerika Serikat (AS). Namun, penelitian empiris tentang penghentian perang sipil menunjukkan bahwa tak satu pun dari dua pilihan ini cenderung menghasilkan hasil yang menguntungkan bagi AS atau pemerintah Irak.

Sejak akhir Perang Dingin, perang sipil lebih berhasil diselesaikan dengan negosiasi dan bukan dengan kemenangan militer oleh pemerintah ataupun pemberontak. Mengingat hal ini, yang membingungkan adalah debat publik tentang perang Irak – yang sepertinya tidak yang berusaha menindaklanjuti opsi ketiga (negosiasi) secara serius.

Penelitin empiris menemukan bahwa semakin lama perang saudara ini berlangsung, maka semakin kecil peluang bagi kedua belah pihak untuk menang. Menggunakan competing risk model (model resiko kompetisi), Brandt Et al menyimpulkan bahwa pada awalnya, hasil yang paling mungkin dalam perang sipil aalah kemenangan pemerintah. Dari 109 perang sipil yang terjadi antara 1945 dan 1999, 33 berakhir dengan kemenangan pemerintah dengan durasi perang rata-rata 5,6 tahun, 18 berakhir dengan kemenangan pemberontak dengan durasi rata-rata 6.67 tahun, dan 29 berakhirdalam negosiasi penyelesaian atau gencatan senjata dengan durasi sekitar 10,6 tahun. Competing risk model menunjukkan bahwa jika pemberontak dapat bertahan dalam tekanan, maka peluang kemenangan pemberontak mulai mendekat setelah perang berlangsung selama 5 tahun. Setelah sekitar 7 tahun perang, kemungkinan kedua belah pihak mulai mengendur, dan biasanya berakhir dengan negosiasi kesepakatan damai.

Pola ini menunjukkan dua kemungkinan untuk kemenangan pemberontak di Irak. Pertama,kesempatan bagi kemenangan pemberontak karena pemerintah sendiri bukan hanya lemah, menyusul invasi militer yang menggulingkan rezim Hussein. Sejak April 2003 ketika rezim Saddam digulingkan hingga tahun 2004 dan kekuasaan dipegang oleh Otoritas Pemerintahan Sementara Irak (IPA), sejak saat itu Irak diperintah oleh pendudukan asing.

Kemungkinan kedua, pemberontak akan menunggu AS untuk menarik pasukannya dan kemudian meningkatkan kekerasan bersenjata dalam upaya untuk menggulingkan rezim Irak yang melemah dengan kepergian AS. Kurangnya kapasitas kelembagaan atau legitimasi populer yang disiapkan untuk mengalahkan pemberontakan. Namun kalaupun pemberontak menang, hal itu lebih disebabkan karena kebobrokan rezim itu sendiri: yang korup, tidak kompeten, dan bukan karena kecakapan pemberontak di medan perang. Kekalahan rezim Qaddafi di Libya menggambarkan dinamika ini.

Di Irak, setelah pemberontakan muncul, prospek kemenangan bagi pemerintah berkurang seiring dengan fakta bahwa bangsa ini diatur oleh pasukan pendudukan asing. Pemerintah yang ditunjuk oleh AS tidak memiliki kapasitas militer untuk menundukkan pemberontakan yang berkembang, ataupun memiliki memobiliasasi dukungan rakyat pada pemberontak. Juga bukan merupakan pemerintahan yang memberikan layanan dasar yang baik terhadap rakyatnya, seperti di bidang kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Jika tidak ada pihak menang dalam pertama 4- 7 tahun konflik, perang saudara biasanya akan menjadi kebuntuan berkepanjangan, tidak ada pihak memiliki kapasitas untuk mengalahkan yang lain tetapi kedua belah pihak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghindari kekalahan. Setelah perang saudara yang berlarut-larut dan menuju jalan buntu, opsi yang paling mungkin (jika konflik itu harus diakhiri sama sekali) adalah melakukan negosiasi. Sayangnya, opsi ini jarang dibahas.

Luttwak dalam thesisnya yang berjudul ‘Give War a Chance’, berargumen bahwa ‘that brokering settlements to ongoing conflicts may bring them to a conclusion for now, but peace agreements preserve the protagonists organizational capacity intact and thereby preserve their capacity to resume conflict at a later date. Bagi Lutwtwak, gencatan senjata (atas nama negosiasi/ perdamaian) dalam perang sipil hanyalah semacam ‘jeda’ yang digunakan masing-masing pihak untuk merekrut, melatih, melengkapi pasukan untuk perang lanjutan di kemudian hari. Contoh nyata adalah Perang Dunia 1, yang walaupun telah berakhir dengan negosiasi, namun kemudian berlanjut di tahun-tahun berikutnya dalam Perang Dunia 2. Karena itu, solusi yang ia tawarkan adalah membiarkan kedua belah pihak berperang habis-habisan sampai salah satunya menang, dan yang lainnya kalah. Kemenangan seperti ini dianggap lebih ‘tahan lama’ ketimbang hasil negosiasi yang cenderung rapuh. Namun cacat alam thesis Luttwak adalah, perang di Irak telah berlangsung selama 7 tahun, dan dalam perang berkepanjangan ini jarang berakhir dengan kemenangan yang ditentukan dari operasi militer, melainkan dinegosiasikan di atas meja.

Singkatnya, ilmu perdamaian penelitian menunjukkan bahwa, alih-alih berdebat bagaimana untuk mencapai kemenangan di Irak, kita harus mengambil pilihan untuk menggantikan pasukan AS dengan pasukan penjaga perdamaian multinasional yang dapat memberikan pihak yang bertikai dengan jaminan keamanan yang akan menginduksi mereka untuk bernegosiasi dan mematuhi kesepakatan damai.

Penarikan Pasukan AS dan Resiko Negara Gagal

Sebagaimana yang diamanatkan dalam Status of Forces Agreement tahun 2008 antara pemerintahan Bush dengan Maliki, penarikan pasukan AS di Irak akan tuntas pada akhir tahun 2011. Penarikan pasukan ini praktis akan memotong biaya perang. Tidak ada yang mengklaim bahwa penarikan pasukan AS dari Irak akan membawa kemenangan bagi pemberontak. Namun, penarikan pasukan ini meningkatkan resiko resim yang sudah rapuh mengalami destabiliasasi total.

Jika kemenangan militer tidak mungkin dan penarikan AS meningkatkan risiko kegagalan negara, opsi ketiga untuk mengakhiri perang di Irak adalah mengamankan dan mempertahankan kemanan di Irak dengan negosiasi. Hanya saja, mencapai perjanjian damai antara pemerintah Irak dengan begitu banyaknya faksi dari pihak pemberontak bukanlah hal yang mudah. Namun penelitian menunjukkan bahwa cara penyelesaian dengan negosiasi ini jauh lebih menjanjikan untuk mengakhir konflik dibandingkan dengan pilihan antara 2 kebijakan yang telah menjadi perdebatan selama 6 tahun terakhir. Perang di Irak telah berlangsung selama 9 tahun, dan durasi ini melewati durasi perang saudara yang umumnya terjadi di wilayah lain . Jalur yang paling layak untuk perdamaian saat ini adalah masyarakat internasional melakukan tindakan yang efektif, mendudukkan pemerintah dengan beberapa kelompok pemberontak dan milisi Syiah.

Perang saudara di Kamboja, Mozambik, El Salvador, Nikaragua, Gauatemala, Namibia, Sudan, Liberia, Sierra Leone, dan tempat lainnya telah menemukan titik temu dengan perjanjian perdamaian. Bertentangan dengan argumen Luuttwak, kemungkinan gagalnya perjanjian dan dimulainya perang saudara kembali setelah proses negosiasi – potensi terjadinya hal ini bisa dikurangi dengan menerapkan pembagian kekuasaan dan menegakkan ketentuan-ketentuan dalam operasi menjaga perdamaian.

Tidak ada alasan untuk mengabaikan ini sebagai pilihan yang layak untuk mengakhiri perang saudara di Irak, terutama ketika dua pilihan yang tersedia kurang menjanjikan.

Mediasi Pihak Ketiga

Mencapai kesepakatan jelas sulit. Apalagi jika kita memetakan aktor-aktor yang bertikai di Irak. Pemerintah Irak saaat ini adalah hasil invansi AS yang menggulingkan rezim Saddam secara paksa. IPA berada di bawah pengawasan AS, dan di saat yang sama, kurang mendapatkan legitimasi rakyat. Kedua, banyaknya kalangan pemberontak. Ada kelompok Sunni yang tidak bersatu menjadi satu faksi. Ada pula milisi Syiah (Organisasi Badr dan Tentar Mahdi), yang beroperasi independen dari kontrol pemerintah. Ketiga, kelompok jihadis asing seperti Al Qaeda Irak tidak tertarik dengan perdamaian di Irak. Keempat, negara-negara tetangga – Iran, Turki, Arab Saudi – memiliki kapasitas untuk menggemboskan negosiasi damai.

Lalu siapa yang harus berfungsi sebagai mediator? Kydd berpendapat bahwa mediator yang bias (condong ke salah satu pihak) lebih efektif dibandingkan dengan mediator non-bias. Rauchhaus juga berpendapat bahwa mediator yang tidak bias terhadap salah satu pihak, tetapi memiliki kepentingan dalam negosiasi perdamaian juga lebih efektif dibandingkan mediator netral. Svensson menyatakan bahwa dalam perang saudara, mediator yang memiliki ‘interest’ dan mediator yang bias meningkatkan kemungkinan tercapainya sebuah kesepakatan dibandingkan dengan mediator yang netral ataupun yang kuat.

Dalam kasus Irak, kekuatan regional sebenarnya cukup efektif dalam menengahi konflik. Mungkin Iran akan muncul sebagai mediator bias kepada pemerintah Irak (yang mayoritas Syiah), juga hubungan Iran yang dekat dengan milisi Syiah. Saudi pasti akan lebih memilih Irak yang stabil dan damai dan tidak memiliki kepentingan terhadap pemerintah Irak saat ini, apakah sebaiknya digulingkan atau diganti, namun Saudi akan bias terhadap minoritas Sunni. Mediasi oleh Liga Arab adalah sebuah alternatif. Anggota Liga Arab memiliki keinginan untuk menjaga Irak tetap stabil, memiliki kredibiltas untuk menangani gerilyawan Sunni, dan memiliki kemampuan untuk merangkul kedua belah pihak. Selain Liga Arab, PBB juga bisa menjadi pilihan untuk bertindak sebagai mediator.

Kemungkinan Penggembosan Negosiasi

Mencapai dan mempertahankan kesepakatan di Irak lebih rumit mengingat pemberontak yang terfragmentasi dalam sejumlah faksi-faksi pribumi, jihadis asing (termasuk AQI), dan milisi Syiah yang tidak dapat dikontrol. Singkatnya, ini bukanlah perkara mudah. Iran telah memberikan pelatihan, dan mendanai milisi Syiah yang bisa semakin memprovokasi kekerasan. Turki tetap khawatir tentang prospek otonomi KurdistanIrak, yang disediakan suaka oleh Kurdistan Turki, dan terbukti Turki pernah masuk ke Irak pada tahun 2008 untuk membasmi kamp PKK. Suriah telah menjadi pintu masuk dan perlindungan bagi AQI, yang bercokol di Anbar. Lalu AS, yang menginvestasikan banyak pasukan dan dana dalam konflik Irak akan berusaha mendapatkan hasil perjanjian yang menguntungkan bagi kepentingan nasionalnya.

Dalam negosiasi konflik, tidak semua faksi bisa digiring untuk duduk di atas meja. Ada faksi spoiler (penggembos) yang juga menyulitkan proses penyelesaian perang. Nilsson menunjukkan, ‘that the presence of spoiler factions, who do not sign into the agreement and who are willing to use violence against those factions that do, does not affect the willingness of those who do sign the peace agreement to sustain the peace among themselves’.

Contoh dari faksi penggembos ini adalah AQI, mantan personel militer ataupun pejabat Ba’th yang didepak dari IPA (dan mereka sangat berpotensi menyusun faksi pemberontak di luar faksi-faksi yang ada), Gerakan Kebangkitan Sunni (SAM), yang telah berkomitmen untuk melawan pemerintah Irak yang diinstal AS dan juga menolak bekerjasama dengan faksi jihad ataupun milisi lainnya.

Syarat Perdamaian yang ‘Tahan Lama’

Apa yang menjadi poin dalam perjanjian perdamaian? Hartzell dan Hoddie menyatakan ada empat hal dalam pembagian kekuasaan yang mampu meningkatkan prospek perdamaian, yaitu militer, politik, ekonomi, dan pembagian wilayah kekuasaan. Namun Zahar berpendapat bahwa pembagian kekuasaan hanya bisa berjalan dengan damai selama ada pihak eksternal yang ikut campur untuk mengawasi proses setelahnya. Dalam kasus Lebanon, ketika ‘penjamin’ atau pihak eksternal menarik diri, maka perdamaian yang digadang-gadang malah berubah menjadi konflik baru. Dengan logika ini, perdamaian yang bisa dihasilkan antara Sunni, Syiah dan Kurdi di Irak, beresiko akan kembali buyar jika pasukan AS ditarik dari kawsan. Memasukkan pasukan multinasional adalah salah satu cara untuk melestarikan dan menjamin perdamaian.

Kesimpulan

Prospek mengakhiri konflik melalui negosiasi ini tak ubahnya bagaikan wilayah terpencil, jika dibandingkan dengan ambisi memenangkan perang melalui jalur militer ataupun penarikan pasukan AS (yang berarti bahwa pemerintah Irak berusaha untuk memulihkan perdamaian dan ketertibannya secara mandiri). Namun melihat perang berkepanjangan ini, saya rasa memasukkan opsi ketiga (negosiasi), layak dimasukkan dalam debat publik dalam pencarian solusi perang Irak.

____

NOTES
1. Online at,www.iraqbodycount.org/database/., accessed 17 February 2012.
2. While there is debate among politicians on whether the Iraq conflict is a ‘civil war’, it meets all the
empirical criteria for civil war used by all major civil war datasets, including the Correlates of War
Project (online at,www.correlatesofwar.org.) and the Armed Conflict Dataset (online at,www.
pcr.uu.se/research/ucdp/datasets.).
3. See, for instance, Kenneth M. Pollack and Irena L. Sargsyan, ‘The Other Side of the COIN: Perils of
Premature Evacuation from Iraq’,Washington Quarterly32/2 (2010) pp.18–19.
4. Hartzell and Hoddie provide a list of conflicts that ended in negotiated settlement, military victory,
and negotiated truce. See Caroline Hartzell and Matthew Hoddie,Crafting Peace: Power Sharing
Institutions and the Negotiated Settlement of Civil Wars(College Park: Pennsylvania State University
Press 2007) p.6. They also code settlement agreements for whether or not they contained explicit
power-sharing arrangements. On Uppsala University’s Conflict Data Project’s ‘Peace Agreement
CIVIL WARS 224
Downloaded by [dina yulianti] at 02:21 30 January 2015
Data Project’, see Lotta Harbom, Stina Ho¨gbladh and Peter Wallensteen, ‘Armed Conflict and Peace
Agreements’,Journal of Peace Research43/5 (2006) pp.617–31.
5. See Michael W. Doyle and Nicholas Sambanis,Making War and Building Peace: United Nations
Peace Operations (Princeton, NJ: Princeton University Press 2006); Paige Fortna, ‘Does
Peacekeeping Keep the Peace? International Intervention and the Duration of Peace after Civil
War’,International Studies Quarterly48/2 (2004) pp.269–92; Barbara Walter,Committing to Peace:
The Successful Settlement of Civil Wars(Princeton, NJ: Princeton University Press 2002); Hartzell
and Hoddie (note 4).
6. Some studies include one other possible outcome: the conflict simply dissipates. Most studies,
however, treat such outcomes as a government victory: the conflict has ended and the government is
still in place. Moreover, such indecisive endings – no victor, no peace agreement – tend to be little
more than respites in the fighting, with conflict resuming at a later date.
7. See Andrew Mack (ed.),Human Security Brief 2006(Vancouver, BC: Human Security Centre,
University of British Columbia 2006).
8. Hartzell and Hoddie (note 4) list a fourth outcome: a truce that simply ends the fighting (temporarily)
but leaves the warring parties intact. Connable and Libicki code the outcome of 89 insurgencies.
However, they do not include a code for negotiated settlement. See Ben Connable and Martin
C. Libicki,How Insurgencies End(Santa Monica, CA: Rand Corporation 2010).
9. Patrick T. Brandt, T. David Mason, Mehmet Gurses, Nicolai Petrovsky and Dagmar Radin, ‘When
and How the Fighting Stops: Explaining the Duration and Outcome of Civil Wars’,Defence and
Peace Economics19/6 (2008) pp.415–34; T. David Mason and Patrick J. Fett, ‘How Civil Wars End:
A Rational Choice Approach’,Journal of Conflict Resolution40/4 (1996) pp.546–68; T. David
Mason, Joseph P. Weingarten, and Patrick J. Fett, ‘Win, Lose, or Draw: Predicting the Outcome of
Civil Wars’,Political Research Quarterly52/2 (1999) pp.239–68.
10. Brandtet al.(note 9), p.423.
11. Ibid., p.427.
12. See Kenneth M. Pollack,A Switch in Time: A New Strategy for America in Iraq(Washington, DC:
Brookings 2006). Pollack predicts (p.3) that if the USA were to withdraw precipitously from Iraq, that
nation would ‘probably become a haven and breeding ground for terrorist groups to a greater extent
than it is now’, adding that Lebanon in the 1970s or Afghanistan in the 1990s would give us some
clues as to what to expect. He later adds (pp.27–8): ‘All of the evidence available indicates that were
U.S. forces to leave Iraq without first securing it, the insurgents would be even less restrained and
would greatly increase their attacks on the new Iraqi government, on the Shi’ah, on the Kurds, and
their other enemies. They would be joined (“opposed” might be more accurate) in this escalation of
violence by the various Shi’a militias and possibly by Kurdish and Turkomen groups as well, who
would retaliate for insurgent attacks, attempt to seize as much territory as possible, and/or preempt
feared attacks by other groups’.
13. Masonet al.(note 9); T. David Mason, Caught in the Crossfire: Revolution, Repression, and the
Rational Peasant(Boulder, CO: Rowman & Littlefield 2004) p.185; Roy Licklider, ‘Comparative
Studies of Long Wars’, in Chester A. Crocker, Fen Osler Hampson and Pamela Aall (eds)Grasping
the Nettle: Analyzing Cases of Intractable Conflict (Washington, DC: U.S. Institute of Peace Press
2005) pp.37–8.
14. Andrew J. Enterline and J. Michael Greig, ‘Surge, Escalate, Withdraw and Shinseki: Forecasting and
Retro-Casting American Force Strategies and Insurgency in Iraq’,International Studies Perspectives
8/3 (2007) pp.245–52.
15. Edward Luttwak, ‘Give War A Chance’,Foreign Affairs78/4 (1999) pp.36–44.
16. William Zartman, ‘Analyzing Intractability’, in Chester A. Crocker, Fen Osler Hampson and
Pamela Aall (eds)Grasping the Nettle: Analyzing Cases of Intractable Conflict(Washington, DC:
U.S. Institute of Peace Press 2005) p.49.
17. Ibid., p.52. On hurting stalemates, see William Zartman, Ripe for Resolution: Conflict and
Intervention in Africa, 2nd ed. (New York: Oxford University Press 1989).
18. Roy Licklider, ‘The Consequences of Negotiated Settlements in Civil Wars, 1945–1993’,
American Political Science Review89/3 (1995) pp.681–690.
19. Luttwak (note 15) p.37.
20. Brandtet al.(note 9).
21. Hartzell and Hoddie (note 4) p.9.
22. Walter (note 5)