[Jurnal] Komunikasi Internasional Indonesia untuk Palestina

Pengantar:

Tulisan ini telah dipresentasikan pada Call for Paper dan Konferensi Nasional #2 Komunikasi Indonesia Untuk Membangun Peradaban Bangsa di Bali, 16 April 2013. Tulisan ini telah dimuat dalam: Heri Budianto, Leila Mona Ganiem dan Dewi Sad Tanti (editor). 2013. Prosiding Identitas Indonesia Dalam Televisi, Film dan Musik. Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis Program Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana. Jakarta. Hal. 64-71.

Komunikasi Internasional Indonesia Dalam Upaya Mendukung Palestina Sebagai Negara yang Berdaulat

Ica Wulansari M.Si.[1]

Abstrak

Indonesia aktif terlibat dalam politik global sebagaimana amanat konstitusi untuk mendukung perdamaian dunia. Salah satunya, Indonesia aktif melakukan kebijakan politik luar negeri mendukung Palestina sebagai negara yang berdaulat. Baik pemerintah, DPR, lembaga non pemerintah, dan media di Indonesia memberikan pesan perdamaian mendukung Palestina. Dalam Sidang Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Kementerian Luar Negeri mengambil sikap mendorong penyelesaian damai konflik Palestina-Israel. Selain sikap politik, Indonesia pun berkiprah secara aktif untuk bantuan kemanusiaan di Palestina. Indonesia mendirikan rumah sakit di Gaza yang merupakan sumbangan dari bangsa Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk menggalang dukungan masyarakat internasional terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina. Indonesia turut mendukung peningkatan status Palestina sebagai negara pemantau non anggota di PBB pada 29 November 2012.

Kata Kunci: Politik Luar Negeri Indonesia, Perdamaian, Palestina

palestina

Pendahuluan

Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia”. Tersirat politik yang bersifat bebas aktif dan turut serta dalam perdamaian dunia.

Sejalan dengan konstitusi yang berlaku, Indonesia memberikan perhatian terhadap konflik Israel dan Palestina. Indonesia berupaya untuk mendorong upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Pada Sidang Majelis Umum PBB di New York tanggal 29 November 2012, menjadi babak sejarah bagi Palestina. Peningkatan status Palestina sebagai negara non anggota PBB dari status entitas pemantau yang diwakili PLO (Palestine Liberation Organization), melalui voting. Sebanyak 138 anggota Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mendukung, 9 anggota menolak dan sebanyak 41 anggota abstain(http://internasional.kompas.com/read/2012/11/30/05140777/PBB.Mengakui.Status.Palestina.Menjadi.Negara, diakses 3 Januari 2013). Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung Palestina dalam bentuk kehadiran Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menyampaikan pidato dukungan.

Salah satu isi pidato Marty Natalegawa diantaranya berisi : “Dukungan Indonesia terhadap kehendak dan hak-hak rakyat Palestina untuk hidup secara bebas, damai, adil dan bermartabat di tanah air mereka, telah berlangsung cukup lama dan tidak akan pernah berhenti.   Tentunya, Indonesia sangat mendukung keinginan Palestina untuk menjadi negara Anggota penuh PBB. Keanggotaan tersebut kiranya konsisten dengan visi solusi dua negara   yaitu suatu solusi damai, adil dan komprehensif di Timur-Tengah”. (http://regional.kompas.com/read/2011/09/27/07402596/Inilah.Pidato.Lengkap.Marty.Natalegawa.di.PBB, diakses pada 3 Januari 2013). Indonesia sebagai co sponsor pengajuan resolusi peningkatan status Palestina, cukup aktif melakukan pendekatan ke berbagai negara.

Indonesia pernah menjadi salah satu Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2007-2008. Dalam berbagai kesempatan, Indonesia menyuarakan hak-hak rakyat Palestina, termasuk berdirinya negara Palestina. Atas dorongan Indonesia, pada tanggal 16 Desember 2008, untuk pertama kalinya sejak tahun 2004, Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi No. 1850 mengenai proses perdamaian di Timur Tengah, khususnya konflik Israel dan Palestina. Selain pemerintah Indonesia yang pro aktif, berbagai kalangan diantaranya DPR maupun organisasi kemasyarakatan di Indonesia turut aktif dalam bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Salah satunya, pembangunan Rumah Sakit di jalur Gaza yang merupakan sumbangan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Indonesia pun mengirimkan relawan ke Palestina, salah satunya bantuan melalui kapal Mavi Marmara, yang mengalami insiden penyaderaan oleh Israel.

Tinjauan Pustaka

Menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate). Definisi komunikasi lainnya menurut Gerald R. Miller yaitu ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima (Mulyana, 2010:68).

Penulisan paper ini menggunakan kajian komunikasi internasional. Pesan-pesan dalam komunikasi internasional menyangkut kepentingan antar-bangsa dan disampaikan melalui konferensi tingkat tinggi atau sejenisnya dan media massa yang melintasi batas negara. Menurut Onong Uchjana Effendi, komunikasi internasional adalah komunikasi yang dilakukan komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan kerja sama, melalui berbagai media komunikasi atau media massa internasional (Shoelhi, 2009 : 26-27).

Dalam definisi lain, komunikasi internasional dapat diartikan komunikasi yang dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dan mendinamisasikan hubungan internasional (Abbas, 2003:2).

Komunikasi internasional merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah atau negara dengan pemerintah atau negara lain melalui saluran diplomatik. Jalur diplomatik lebih kerap ditempuh melalui komunikasi langsung antara pejabat tinggi negara (menteri luar negeri, duta besar, konsul jenderal atau staf diplomatik lainnya). Dengan menggunakan saluran-saluran diplomatik, komunikasi internasional lebih banyak digunakan untuk memperluas pengaruh, meningkatkan komitmen dan solidaritas, menanggulangi perbedaan pendapat dan salah paham. Tujuan komunikasi internasional digunakan untuk mengembangkan kerjasama baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, memperkuat posisi tawar serta meningkatkan citra dan reputasi suatu negara (Shoelhi, 2009 : 31-32).

Dalam komunikasi internasional, untuk menyebarkan pengaruh maupun kerjasama dengan negara lain dengan melakukan kegiatan diplomasi. Definisi diplomasi menurut Harold Nicolson merupakan pengelolaan hubungan internasional melalui sarana negosiasi; diplomasi merupakan keterampilan untuk mengutarakan gagasan dalam pelaksanaan interaksi dan perundingan antarbangsa; diplomasi adalah cara dengan mana hubungan antar bangsa diatur dan dikelola oleh para duta besar dan utusan khusus negara; diplomasi adalah bisnis atau seni para diplomat untuk membujuk diplomat lain dari luar negeri. Diplomasi merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan politik luar negeri sebuah negara. Diplomasi bagaikan alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional (Shoelhi, 2011: 73-77).

Tujuan kegiatan diplomasi adalah pencapaian kepentingan nasional. Dalam rangka mencapai kepentingan nasional, dalam interaksinya dengan negara lain, suatu negara perlu membuat landasan kebijakan luar negeri. Menurut K.J. Holsti, Politik Luar Negeri itu bisa berupa hubungan diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Sementara menurut Walter Carlsnaes yaitu tindakan-tindakan yang diarahkan ke tujuan, kondisi dan aktor (baik pemerintah maupun non-pemerintah) yang berada di luar wilayah territorial mereka dan yang ingin mereka pengaruhi. Tindakan-tindakan itu diekspresikan dalam bentuk tujuan-tujuan, komitmen dan/atau arah yang dinyatakan secara eksplisit, dan yang dilakukan oleh wakil-wakil pemerintah yang bertindak atas nama negara/ komunitas yang berdaulat (Hara, 2011: 13).

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya. Metode yang digunakan yaitu studi kasus dengan metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis (Kriyantono, 2006:65).

Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Peneliti mengunjungi Kedutaan Besar Palestina di Jalan Dipenogoro nomor 59, Jakarta Pusat pada 7 Januari 2013, pukul 13.30 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Peneliti mewawancarai Duta Besar Palestina dan Berkuasa Penuh, Farid N. Mehdawi. Alasan pemilihan wawancara Duta Besar Palestina dan Berkuasa Penuh, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan perwakilan pemerintah Palestina terhadap kegiatan komunikasi internasional yang dilakukan Indonesia yang mendukung Palestina sebagai negara yang berdaulat.

Peneliti pun melakukan pengamatan terhadap pemberitaan seputar kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Palestina maupun konflik Palestina dan Israel. Pengamatan dilakukan pada 20 November 2012 hingga 30 Januari 2013. Pengamatan dengan menyimak pemberitaan media cetak maupun media internet.

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Luar Negeri Indonesia tidak terlepas dari peran Presiden. Menurut pandangan Mehdawi, Presiden Indonesia pertama, Soekarno memberikan landasan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Palestina. Pada masa Presiden Soekarno, Indonesia aktif dalam forum KAA (Konferensi Asia Afrika) dan OKI (Organisasi Konferensi Islam). Dalam KAA, Indonesia memimpin dalam upaya mendukung Palestina. KAA meningkatkan prestige Indonesia di mata dunia terutama di negara-negara di Asia dan Afrika. Dukungan Indonesia terhadap Palestina pada masa Soekarno dinilai Mehdawi sebatas retorika. Karena Indonesia saat itu baru melakukan pembangunan pasca perang sehingga tidak dapat memberi bantuan yang nyata kepada Palestina.

Menurut penuturan Duta Besar Palestina dan Berkuasa Penuh, Farid N. Mehdawi, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia sangat erat berhubungan dengan pihak Barat (Amerika Serikat dan sekutunya). Pemerintahan era Soeharto dinilai tidak aktif melakukan politik luar negeri di kawasan Timur Tengah, terutama untuk penyelesaian konflik Palestina dan Israel. Pada masa pemerintahan Soeharto, Soeharto memberikan perhatian khusus pada Palestina. Kebijakan Luar Negeri Indonesia pada masa Soeharto lebih mendekatkan diri pada ‘Barat’. Presiden Soeharto memperkenalkan open-door policy dalam rangka untuk menarik arus bantuan asing dan investasi asing. Hal tersebut dimaksudkan untuk rehabilitasi ekonomi nasional (Perwita, 2007:14).

Pada tahun 1987, Presiden Soeharto menerima kunjungan pimpinan PLO, Yasser Arafat. Dalam pertemuan ini, Yasser meminta dukungan Indonesia terhadap pendirian negara Palestina. Soeharto memberikan dukungan kepada Palestina (Perwita, 2007:75). Maka pada tahun 1989 hubungan diplomatik Indonesia dengan Palestina mulai ‘akrab’ ditandai dengan berdirinya Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Setelah Kedutaan besar dibuka di Jakarta, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyatakan Indonesia tidak akan pernah mengakui Israel sebagai negara selama Israel tidak menyelesaikan permasalahannya dengan negara-negara di Timur Tengah (Azra, 2006: 102). Diakui oleh Mehdawi, Ali Alatas sangat gigih memperjuangkan Palestina untuk merdeka. Ali Alatas sangat tegas menolak hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel. Untuk konstruksi hubungan diplomasi dan dukungan Indonesia terhadap Palestina pada masa pemerintahan Soeharto, dipandang Mehdawi tidak signifikan dalam peningkatan hubungan bilateral Indonesia dan Palestina.

Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati, dinilai Mehdawi tidak ada tindakan yang berarti dalam peningkatan hubungan Indonesia dan Palestina. Namun pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat tindakan untuk meningkatkan hubungan Indonesia dengan Palestina. Pada tahun 2008, Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda mengundang pada Menteri Luar Negeri di negara-negara Asia dan Afrika. Hal tersebut untuk penyelenggaraan NASSP (New Asia Africa Strategic Partnership). Dalam NAASP, konferensi membahas mengenai dukungan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Dalam NASSP Capacity Building, Indonesia melakukan perjanjian dengan Palestina untuk melatih 1000 orang kader warga Palestina. Hal tersebut dimulai dengan kedatangan pimpinan PLO, Mahmoud Abbas pada Bali Democracy Forum tahun 2008. Hubungan bilateral Indonesia dan Palestina mencakup ekonomi, capacity building, diplomasi dan politik yang berlangsung tahun 2008 hingga 2013. Selain itu, Indonesia turut memberi sumbangan untuk pendirian Bank berbasis syariah hingga pembangunan rumah sakit di Jalur Gaza. Bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina di Jalur Gaza merupakan bantuan dari berbagai organisasi dan masyarakat Indonesia. Kebijakan politik luar negeri dipandang Mehdawi sebagai pembaharuan kebijakan luar negeri yang bersifat nyata dan tidak pernah terjadi sebelum kepemimpinan Yudhoyono. Selain itu, dukungan dan bantuan dari rakyat Indonesia mendapatkan apresiasi Mehdawi sebagai tindakan nyata dukungan untuk Palestina.

Dalam rangka mendukung kemitraan strategis NAASP, Kementerian Luar Negeri RI memberikan sejumlah pelatihan kepada warga Palestina. Pusdiklat Kementerian Luar Negeri Indonesia telah memberikan pelatihan bagi 10 pejabat menengah Palestina dalam pelatihan diplomatik pada tahun 2008. Sebanyak 5 orang Duta Besar Palestina juga telah mengikuti pelatihan diplomatik tingkat senior pada tahun 2009. Sebanyak 5 orang pejabat Palestina telah pula mengambil bagian dalam pelatihan protokol dan pejabat tinggi Palestina telah pula mengikuti pelatihan capacity building di Pusdiklat. Selain itu, 5 warga Palestina mengikuti pelatihan bahasa Indonesia selama 7 bulan untuk kemudian mengikuti pelatihan diplomatik tingkat junior bulan Maret 2010. Tidak hanya dari segi politis, untuk mendorong kemandirian ekonomi Palestina, maka Kementerian Luar Negeri memberi pembekalan kepada 7 warga Palestina dalam bentuk pelatihan. Pelatihan ini dalam pengembangan Usaha Kecil dan Menengah. (http://www.deplu.go.id/Pages/NewsKemlu.aspx?IDP=198&l=id, diakses pada 25 Januari 2013)

Menurut pandangan Mehdawi, Presiden Yudhoyono sangat efektif dalam melakukan komunikasi dengan pemerintah Palestina. Selain itu, Yudhoyono memahami konstelasi politik internasional sehingga kebijakan luar negeri di bawah pemerintahannya menggambarkan kepemimpinannya yang stabil. Pada masa pemerintahan Yudhoyono periode pertama, pada 2006, Yudhoyono mendatangi Mehdawi dan menanyakan bentuk bantuan dari Indonesia yang dibutuhkan oleh Palestina. Menurut Mehdawi, tindakan tersebut cukup berkesan dan tulus untuk membantu Palestina. Sejak pertemuan tersebut, kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina cukup aktif dalam forum internasional menyuarakan perdamaian dan berdirinya Palestina sebagai negara yang berdaulat.

Dalam kancah internasional, Indonesia aktif terlibat untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina. Pada tanggal 8-10 Juni 2009, Indonesia telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan United Nations Asian and Pacific Meeting on the Question of Palestine dengan tema Strengthening International Consensus on The Urgency of Achieving a Two-State Solution (Pertemuan Regional). Pertemuan tersebut  dilanjutkan dengan pertemuan United Nations Forum of Civil Society in Support of the Palestinian People (Forum Publik) pada tanggal 10 Mei 2009. Kedua pertemuan tersebut merupakan program dari Committee on the Exercise of the Inalienable Rights of the Palestinian People (Komite Palestina) PBB dalam menjalankan mandatnya menggalang dukungan masyarakat internasional terhadap penyelesaian damai konflik Israel-Palestina (http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=15&l=id, Diakses 25 Januari 2013).

Dukungan Indonesia untuk peningkatan status Palestina sebagai negara non anggota PBB telah dimulai pada tahun 2011. Pada Pertemuan Tingkat Menteri ke-16 GNB (Gerakan Non Blok) di Bali, tanggal 23-27 Maret 2011, Indonesia mengusulkan penggalangan suara terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota PBB. GNB mendukung gagasan Indonesia melalui Non Alligned MovementNAM Ministerial Committee untuk penggalangan suara terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota PBB. Dalam penggalangan suara tersebut, dukungan untuk negara Palestina mencapai 112 negara. Di sela-sela pelaksanaan GNB, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki. Dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Riad Malki mengharapkan dukungan penuh dan bantuan dari Indonesia agar bangsa Palestina dapat mengatasi hambatan dan menggalang dukungan untuk pengakuan negara Palestina Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan Indonesia akan terus memberikan dukungan untuk berdirinya Palestina sebagai negara berdaulat. (www.embassyofindonesia.org/features/pdf/Diplomasi_2011.pdf, diakses 25 Januari 2013).

Pada Sidang Majelis Umum PBB di New York tanggal 29 November 2012, menjadi babak sejarah bagi Palestina. Sebanyak 188 negara hadir, hanya dua negara yang hadir diwakili oleh Menteri Luar Negeri, selebihnya diwaliki oleh para diplomat. Dua orang Menteri Luar Negeri yang hadir dalam Sidang Mejelis PBB tersebut yaitu Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Kedua Menteri tersbut menyampaikan pidato di depan Sidang Majelis PBB. Ahmet Davutoglu dalam pidatonya mendesak PBB agar meningkatkan status Palestina menjadi negara non anggota PBB. Kehadiran kedua orang Menteri Luar Negeri dalam Sidang Majelis Umum PBB dinilai Mehdawi merupakan dukungan yang nyata. Selain berpidato, kedua orang Menteri memberikan argumen dukungan kepada Palestina dalam forum internasional tersebut.

Kesimpulan

Dalam mencapai kepentingan nasional, Indonesia menjalankan kebijakan luar negeri bebas aktif. Kebijakan luar negeri Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh kondisi di dalam negeri. Dalam kebijakan luar negeri terhadap Palestina, Indonesia memperhitungkan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Mayoritas penduduk akan mendukung terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Namun, kesamaan identitas agama, tidak dapat dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Kebijakan Luar Negeri Indonesia berdasarkan amanat konstitusi. Maka, sesuai dengan isi konstitusi, Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Dukungan Indonesia terhadap Palestina sebagai negara yang berdaulat sebagai bagian upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Pola komunikasi internasional melalui kebijakan Luar Negeri setiap Presiden di Indonesia menentukan perkembangan hubungan bilateral Indonesia dan Palestina. Era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipandang perwakilan pemerintah Palestina membawa pembaharuan. Bahkan dukungan yang diberikan pun, tidak sebatas pertemuan formal melainkan dengan tindakan yang nyata. Bantuan teknis hingga bantuan diplomatik dan politik diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada warga Palestina sejak tahun 2008 merupakan bentuk nyata dari sebuah dukungan.

Komunikasi internasional yang dilakukan Indonesia untuk memberikan solusi perdamaian bagi konflik Palestina-Israel dengan aktif dalam forum internasional. Dalam kancah regional di tingkat ASEAN, di kawasan Asia dan Afrika hingga di tingkat PBB, Indonesia konsisten menyuarakan perdamaian dan penggalangan dukungan Palestina sebagai negara. Walaupun Indonesia belum menempati posisi sentral, namun Indonesia memiliki pengaruh lobi dalam setiap forum internasional. Komunikasi internasional yang dijalankan Indonesia dalam menyuarakan perdamaian bagi Palestina konsisten seiring penolakan Indonesia untuk hubungan diplomatik dengan Israel.

[1] Pengajar FIKOM Universitas Budi Luhur, Jakarta; menjadi Peneliti di ICMES sejak 2015, ica.wulansari3@gmail.com

 ——

Daftar Pustaka

Abbas, Bakri (2003), Komunikasi Internasional Peran dan Permasalahannya. Jakarta, Yayasan Kampus Tercinta IISIP.

Azra, Azyumardi (2006), Indonesia, Islam, and Democracy. Dinamics in a Global context. Jakarta, Solstice publishing an imprint of Equinox Publishing.

Eby Hara, Abubakar (2011). Pengantar Analisis Politik Luar Negeri Dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung, Nuansa.

Kriyantono R. (2006). Teknik Praktik Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, dan Komunikasi Pemasaran. Jakarta, Kencana.

Mulyana, Deddy (2010). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Rosda.

Perwita, Anak Agung Banyu (2007). Indonesia and the Muslim World. Islam Secularism in the Foreign Policy of Soeharto and beyond. Copenhagen, NIAS press.

Shoelhi, Mohammad (2009), Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung, Simbiosa Rekatama Media.

Shoelhi, Mohammad (2011), Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional. Bandung, Simbiosa Rekatama Media.

DILARANG MENGUTIP ISI MAKALAH INI TANPA MENYEBUTKAN SUMBER DAN NAMA PENULIS