[Jurnal] Iran vs Israel di Timur Tengah (2)

[Baca bagian pertama]

HizbullahPeran Israel dalam Menguatnya Posisi Syiah

Hubungan erat antara Iran dan Syiah Lebanon secara substansial diperkuat oleh invasi dan pendudukan wilayah Lebanon oleh Israel. Pada bulan Maret tahun 1978, Israel meluncurkan serangan yang dikenal sebagai Operasi Litani. Diperkirakan 1.100 penduduk Lebanon dan Palestina, kebanyakan warga sipil, tewas dalam serangan Israel. Selain itu, ratusan ribu penduduk di wilayah selatan harus meninggalkan rumah dan pindah ke utara menuju Beirut. Migrasi luas ini memberikan kontribusi terhadap radikalisasi Syiah.

Meskipun banyak korban, invansi tahun 1978 terbilang gagal untuk mencapai tujuan Israel yaitu membasmi basis PLO dari perbatasan utara Israel-Lebanon. Invasi kembali dilakukan pada tahun 1982, dikenal sebagai ‘Operasi Perdamaian untuk Galilea’, berusaha untuk benar-benar menghancurkan kekuatan politik dan militer PLO dari Lebanon. Serangan besar-besaran Israel secara substansial telah meningkatkan radikalisasi Syiah Lebanon, melemahkan AMAL moderat, dan ironisnya, hal inilah yang menjadi awal penciptaan dan meningkatnya kekuatan Hizbullah.

Awalnya, kaum Syiah di selatan dibantu Israel untuk mengusir PLO. Alih-alih mengambil keuntungan dari kerjasama Syiah ini, Israel lebih suka bekerja dengan South Lebanon Army (SLA), milisi Kristen Lebanon yang dibiayai dan dilatih oleh Israel. Secara bertahap, kebijakan serta pendudukan Israel di Lebanon membuat sebagian besar komunitas Syiah memusuhi Israel.

Hizbullah yang kemudian memimpin dalam perlawanan terhadap Israel. Salah satu prestasi Hizbullah yang paling penting adalah perlawanan terhadap pendudukan Israel di wilayah yang oleh Israel disebut sebagai ‘zona keamanan di Lebanon selatan’, yang menyebabkan penarikan tentara Israel pada Mei 2000. Setelah Operasi Litani pada tahun 1978, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 425 menuntut penarikan tanpa syarat pasukan Israel dari Lebanon, dan United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) diciptakan untuk mengawasi penuh pelaksanaan resolusi. Israel menolak resolusi tersebut dan mempertahankan keberadaannya di Lebanon selatan. Operasi selanjutnya tahun 1982 semakin menguatkan posisi Israel. Sebelum mundur ke perbatasan internasional pada tahun 1985, tentara Israel menciptakan zona keamanan sekitar 440 mil persegi (sekitar 10 persen dari wilayah Lebanon, menetapkan zona penyangga utara dari perbatasan Lebanon-Israel. Zona itu dilindungi oleh SLA.

Rencana ini tidak bekerja dengan baik. Sebaliknya, Hizbullah terlibat gesekan dengan Israel. Dengan model perlawanan gerilya yang klasik, Hizbullah mampu mengeksploitasi kerentanan Israel di zona keamanan dengan melancarkan serangan jarak jauh (menggunakan mortir, roket anti-tank, dan bom pinggir jalan). Yang tak kalah penting, dengan rekaman video serangan militer yang disiarkan di televisi, Hizbullah melakukan perang psikologis dengan Israel dan akhirnya berhasil memobilisasi opini publik.

Secara bertahap, publik Israel mulai bosan dengan kebuntuan perang di Lebanon dan jatuhnya banyak korban. Akhirnya, pada akhir 1990-an, opini masyarakat Israel telah terpecah terkait kebijakan mempertahankan zona keamanan di Libanon selatan. Sebagian rakyat Israel menilai zona tersebut berkontribusi terhadap perlindungan kota-kota Israel di utara. Di sisi lain, beberapa ahli strategi Israel menyimpulkan bahwa perang melawan tentara gerilya di negara asing tidak akan bisa meraih kemenangan. Sebuah gerakan akar rumput yang disebut Four Mothers (yang anak-anaknya tewas di Lebanon) membantu untuk menggalang opini publik Israel untuk mendukung penarikan tentara. Ujungnya, jumlah rakyat Israel yang memandang bahwa tidak ada keuntungan apapun dari pendudukan di Lebanon terus meningkat.

Akhirnya Perdana Menteri Israel Ehud Barak memutuskan untuk meninggalkan strategi lama (melakukan pendudukan di darat). Belajar dari pengalaman Perang Teluk dan perang di Kosovo, Israel memutuskan bahwa pertempuran dari udara akan memungkinkan Israel untuk berada dalam posisi yang lebih unggul. Dengan demikian, tentara Israel melakukan penarikan dari Lebanon selatan (yang disebut dengan Operation Stamina) pada Mei 2000. Namun, beberapa pihak Israel menyuarakan keprihatinan karena Hizbullah menggambarkan penarikan itu sebagai kekalahan Israel.

Israel dan Iran Berhadap-hadapan di Lebanon

Mengingat peran penting Iran dalam menciptakan dan mendukung Hizbullah,
penarikan Israel dipandang sebagai kemenangan Republik Islam. Tak heran menteri luar negeri Iran, Kamal Kharazi, adalah pembesar asing pertama yang mengunjungi Lebanon tak lama setelah penarikan Israel. Ia menggambarkan peristiwa ini sebagai ‘kemenangan bagi semua umat Islam di seluruh dunia’.
Para pejabat Iran berpendapat bahwa penarikan Israel merupakan validasi argumen lama mereka bahwa perlawanan militer dan kemartiran, dan bukan negosiasi, adalah satu-satunya cara untuk membebaskan tanah kaum Muslim Arab. Dengan kata lain, negosiasi dengan Israel (pendekatan yang dilakukan oleh Otoritas Palestina (PA) dan negara-negara Arab lainnya), akan menyebabkan lebih banyak konsesi dan kekecewaan bagi aspirasi Palestina dan Arab.

Penarikan Israel dari Lebanon selatan meninggalkan isu penting yang belum terselesaikan. Wilayah sejauh 100 mil persegi yang dikenal sebagai Shebaa Farms terletak di sudut yang merupakan pertemuan perbatasan antara Suriah, Israel dan Lebanon. Kepemilikan lahan pertanian ini menjadi perdebatan. Israel menegaskan bahwa Shebaa Farms adalah bagian dari Dataran Tinggi Golan yang disita dari Suriah pada tahun1967, dan karena itu kepemilikannya harus diputuskan dalam negosiasi dengan Damaskus. Sementara itu, Israel juga menerima bahwa sebagian kecil dari Shebaa Farms adalah wilayah Lebanon. Namun Lebanon mengatakan bahwa Shebaa Farms seluruhnya adalah wilayah Lebanon dan Israel harus angkat kaki dari sana sesuai Resolusi PBB 425 pada tahun 1978. Ini adalah sengketa yang belum terselesaikan. Shebaa Farms telah memberikan legitimasi yang lebih besar terhadap perlawanan Hizbullah, terutama dalam perang perikutnya yang mencapai puncaknya pada tahun 2006.

Setelah 34 hari pertempuran tanpa kemenangan yang menentukan oleh kedua sisi, gencatan senjata pun akhirnya disepakati. Tentu, pemerintah Israel, Iran dan pemimpin Hizbullah mengklaim bahwa mereka dapat mencapai tujuan strategis mereka. Perdana Menteri Ehud Olmert mengatakan, ‘War had changed the strategic balance against Hezbollah…Party of God is no longer a state within a state’. Banyak orang Israel tidak setuju dengan klaim itu. Benjamin Netanyahu, mantan perdana menteri dan pemimpin oposisi
sayap kanan menyatakan, ‘There were many failures, failures in identifying the threat, failure in preparing to meet the threat, failures in the management of the war, and failures in the management of the home front’.

Di sisi lain, Nasrallah menyatakan bahwa pejuangnya mencapai ‘kemenangan bersejarah strategis’ dalam melawan Israel. Ia menegaskan bahwa Hizbullah berhasil memukul Israel sementara ‘Tentara Arab yang besar’ kalah melawan Israel. Tentu saja, kemampuan Hizbullah dalam mempertahankan konfrontasi militer dengan tenatara yang paling kuat di Timur Tengah telah membuat persepsi baru: Arab dan Muslim menang. Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, menggemakan sentimen ini dalam sebuah pesan kepada Nasrallah, “Anda telah menghancurkan mitos bahwa tentara Zionis tidak bisa terkalahkan.”

Dalam perang 2006, pejuang Hizbullah mampu mempertahankan pertempuran melawan Israel selama lebih dari sebulan. Akibatnya, popularitas Hizbullah dan pendukungnya, Iran, telah meningkat secara luas di kalangan masyarakat Arab dan Muslim. Setelah awalnya ragu, pemerintah Sunni di wilayah tersebut merasa terdorong untuk mendukung Hizbullah. Bahkan Ayman al-Zawahiri, wakil pemimpin Al Qaeda, merilis sebuah rekaman yang mendukung perjuangan Hizbullah melawan Israel.

Kesimpulan

Pada pertengahan Agustus 2006, pertempuran antara Israel dan Hizbullah berhenti, tetapi akar konflik harus ditangani untuk memastikan perdamaian permanen. Kekuatan militer jarang memberikan solusi jangka panjang. Sejarah mengajarkan kita bahwa pemberontakan tidak dapat dikalahkan secara eksklusif dengan cara militer. Akhirnya, solusi panjang untuk Hizbullah Israel- hanya menjadi salah satu dari sekian banyak sengketa antara Israel dan tetangganya. Pemulihan hubungan Iran Israel secara substansial akan meningkatkan prospek perdamaian tersebut. Selain ideologi, kepentingan geopolitik terbuka untuk Teheran dan Tel Aviv. Variasi ini mencerminkan persaingan antara pragmatisme dan dogmatisme di kedua negara. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri Iran yang didorong oleh pertimbangan ideologis akan tercermin dengan permusuhan terhadap Israel, sementara kebijakan luar negeri yang berdasar kepentingan nasional akan menerima koeksistensi dan akomodasi dengan Israel.

Di sisi Israel, ada juga dua pendekatan dalam memandang Iran. Salah satunya menekankan pentingnya geostrategis dari melihat Iran sebagai non-Arab, negara Timur Tengah non-Sunni, yang dalam waktu yang lama pernah memiliki hubungan baik dengan orang-orang Yahudi dan Israel. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa nada ekstrimis dalam kepemimpinan Iran saat ini adalah sementara dan bahwa Tel Aviv harus tetap memelihara kontak dengan orang-orang Iran, yang akan hidup lebih lama dibandingkan Republik Islam. Yang paling penting, Israel akan selalu peduli tentang kesejahteraan sekitar 25.000 Yahudi Iran (komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah di luar Israel). Namun ada kelompok di Israel lainnya yang percaya bahwa rezim Islam di Teheran akan terus bertahan dan karenanya, Israel harus ‘terjaga’ dari kebijakan perifernya.

Hubungan jangka panjang, baik bermusuhan atau persahabatan antara dua negara akan dibentuk oleh perkembangan setidaknya dalam tiga bidang. Pertama, karena berdirinya Republik Islam, karakterisasi utama dari kebijakan Iran memiliki faksionalisme. Elemen moderat dan ekstrimis mengejar kebijakan dan tujuan yang kadang bertentangan. Permusauhan faksi moderat terhadap Israel lebih lemah dibandingkan dengan kubu konservatif.

Kedua, sejak tahun 1979, Iran telah dianggap musuh utama AS. Hubungan diplomatik antara kedua negara diputus pada tahun 1980, dan lebih dari dua dekade kemudian, Presiden Bush melabeli Iran sebagai anggota dari ‘poros kejahatan’ global. Perang dingin antara Tel Aviv dan Teheran dapat dilihat sebagai sebab dan efek dari ketegangan antara Teheran dan Washington. Dengan kata lain, permusuhan antara Iran dan Israel memperburuk hubungan Amerika-Iran yang sudah tegang.

Ketiga, area utama pertentangan antara Teheran dan Tel Aviv adalah konflik antara Israel dan Palestina. Simpati dan dukungan Iran untuk Palestina telah terus-menerus disampaikan dalam kebijakan Iran sejak akhir 1940-an, jauh sebelum revolusi Islam. Eskalasi kekerasan dan penderitaan rakyat Palestina telah memperdalam kebencian terhadap Israel. Penyelesaian konflik Israel-Palestina akan sangat berkontribusi untukstabilitas di kawasan dan menghapus sumber utama ketegangan antara Tel Aviv dan Teheran.

[1] Professor of Political Science and Director of the Center for Middle Eastern Studies , Indiana University of Pennsylvania.

Notes:

1. These figures were cited by former President Jimmy Carter in an Op-Ed, ‘Stop the Band-Aid
Treatment’,Washington Post, 1 Aug. 2006.
2. Helene Cooper, ‘Rice’s Hurdles on Middle East Begin at Home’,New York Times, 10 Aug. 2006.
3. King Abdullah of Jordan warned of an emerging ‘Shiite Crescent’ and President Husni Mubarak of
Egypt declared that the Shiite communities in Iraq and elsewhere in the Arab world were more
loyal to Iran than to their own states.
4. Shortly after the war started, the Saudi cabinet issued a statement saying that ‘Some elements and
groups have got loose and slipped into taking decisions on their own that Israel has exploited to
wage a ferocious war against Lebanon’. The statement added, ‘Saudi Arabia stands together with
the legitimate and reasonable-minded national forces in Lebanon and occupied Palestine to combat
these dangers to the Arab and Muslim nation’. ‘Saudi Arabia Blames Hezbollah for Israel Offensive
on Lebanon’, Reuters, 17 July 2006.
5. For example, Muhammad Habib, deputy leader of the Muslim Brotherhood, Egypt’s largest Islamic
Sunni group, issued a religious edict, saying ‘Hezbollah is defending the whole Islamic nation’.
Associated Press, ‘Saudi Religious Leader Blasts Hezbollah’, 5 Aug. 2006.
6. Israeli sources claim that hundreds of Hezbollah fighters were killed. The Lebanese organisation did
not issue any account of its casualties.
7. Michael Slackman, ‘Iran Hangs in Suspense as War Offers New Strength and Sudden Weakness’,
New York Times, 30 July 2006.
8. Seymour Hersh claims that Israel had devised a plan for attacking Hezbollah well before the
12 July kidnappings. See Seymour M. Hersh, ‘Watching Lebanon’, New Yorker, available at
,http://www.newyorker.com.(accessed 14 Aug. 2006).
9. Amal Saad-Ghorayeb,Hezbollah’s Outlook in the Current Conflict, Carnegie Endowment, available at
,http://www.carnegieendowment.org.(accessed 11 Aug. 2006).
10. Muhammad Tabaar, ‘Iran’s Role in Crisis Still Murky’,British Broadcasting Corporation, available at
,http://newsbote.bbc.co.uk.(accessed 24 July 2006).
11. For a detailed analysis see Gawdat Bahgat,Israel and the Persian Gulf(Gainesville, FL: University
Press of Florida, 2006).
12. R.K. Ramazani, ‘Iran and the Arab-Israeli Conflict’,Middle East Journal, Vol. 32, No. 4 (Fall 1978),
pp.412–28, p.414.
13. Joseph Alpher, ‘Israel and the Iran –Iraq War’, in Efraim Karsh (ed.),The Iran–Iraq War: Impact and
Implications(New York: St Martin’s Press, 1989), pp.154–68, p.157.
14. Barbara Harff, ‘Minorities, Rebellion, and Repression in North Africa and the Middle East’, in Ted
Robert Gurr (ed.),Minorities at Risk: A Global View of Ethno-Political Conflicts(Washington, DC:
United States Institute of Peace Press, 1993), pp.216– 51, p.239.
15. Helena Cobban, ‘The Growth of Shiite Power in Lebanon and Its Implications for the Future’, in Juan
R.I. Cole and Nikki R. Keddie (eds),Shi’ism and Social Protest(New Haven, CT: Yale University
Press, 1986), pp.137– 55, p.144.
16. After arriving in Libya in August 1978, Imam Mus al-Sadr disappeared under circumstances that
remain mysterious. While Libya claims that al-Sadr left the country on an Alitalia flight bound for
Rome, only his luggage and an impostor arrived. Most AMAL leaders believe that the Libyan government is responsible for the disappearance of their leader.
17. John L. Esposito,The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Volume 2(New York:
Oxford University Press, 1995), p.346.
18. Cobban, ‘The Growth of Shiite Power’, p.139.
19. Augustus Richard Norton, ‘Insecurity Zones in South Lebanon’,Journal of Palestine Studies, Vol. 23,
No. 1 (Fall 1993), pp.61–79, p.65.
20. As a result of this invasion the PLO moved its operations to Tunis.
21. The gunmen who carried out the assassination attempt were followers of Abu Nidal, an extremist
dissident who is a sworn-enemy of the PLO.
22. For example see Alan Philps, ‘Barak Tries to Salvage Dignity for Shaken Israel’,Daily Telegraph,
28 May 2000.
23. Tony Allen-Mills, ‘Villagers Braced for the First Attack in Israeli Border Limbo’,Sunday Times,
4 June 2000.
24. For an Israeli prospective on the disputed land see Asher Kaufman, ‘Who Owns the Shebaa Farms?
Chronicle of a Territorial Dispute’,Middle East Journal, Vol. 56, No. 4 (Fall 2002), pp.576–95.
25. Sheera Claire Frenkel, ‘Olmert – We Will Continue to Pursue Hezbollah Everywhere’,Jerusalem Post,
14 Aug. 2006.
26. Donald Macintyre, ‘Israel’s Verdict: We Lost the War’,Independent, 15 Aug. 2006.
27. Paul Reynolds, ‘New Phase in Mid-East Power Struggle’,British Broadcasting Corporation, available
at,http://newsvote.bbc.co.uk.(accessed 16 Aug. 2006).
28. Associate Press, ‘Iran Leader Praises Hezbollah Resistance’, available at,http://www.nytimes.com.
(accessed 16 Aug. 2006).
29. International Institute for Strategic Studies, ‘The War in Lebanon: Strategic Consequences’,Strategic
Comments, Vol. 12, No. 6 (July 2006), pp.1– 2.
30. Neil MacFarquhar, ‘Tide of Arab Opinion Turning to Hezbollah’,International Herald Tribune,
29 July 2006.
31. Bill Samii, ‘Iran: Is Tehran Protecting Its Investment in Hezbollah?’,Payvand, available at ,http://
www.payvand.com.(accessed 14 Aug. 2006).
32.New York Times, ‘News Analysis: Iraq Supporting Lebanon’, 31 July 2006.
33. Cited in Kaveh L. Afrasiabi, ‘Tehran Teeters on the Path to War’,Asia Times, available at ,http://
www.atimes.com.(accessed 2 Aug. 2006).