ISIS, Video Palsu, dan Kehancuran Suriah

James Foley saat masih hidup. (Foto: abcnews.go.com)

James Foley saat masih hidup. (Foto: abcnews.go.com)

Oleh: Putu Heri

Masih ingatkah Anda dengan James Foley, seorang wartawan asal Amerika Serikat (AS) yang dipenggal ISIS? Tahun 2014 lalu, video eksekusi tersebut menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Presiden AS Barack Obama bereaksi keras, mengutuk kekejaman ISIS, dan berjanji akan mengerahkan kekuatan militer sebagai bagian dari operasi penyelamatan warga dunia dari ancaman teroris tersebut.

Namun tak lama berselang, Bouthaina Shaaban, juru bicara pemerintah Suriah menyatakan bahwa James Foley telah tewas tahun sebelumnya (2013) dan hal ini telah diketahui oleh PBB.

“James Foley ditangkap oleh Free Syrian Army dan dijual kepada kelompok ISIS. Anda bisa memeriksa data ini di PBB. Ia telah tewas tahun lalu, bukan baru-baru ini. Hanya saja, gambarnya baru dirilis sekarang. Kami memiliki informasi yang pasti, demikian pula halnya dengan PBB,“ jelasnya, seperti dikutip The Daily Mail.

Mengacu pada pernyataan Bouthania Shaaban, bukankah itu berarti bahwa video yang beredar merupakan video palsu? Hal itu diperkuat dengan analisis yang dirilis oleh Infowars. Sebagaimana dikutip dari seorang ahli forensik asal Inggris, disebutkan bahwa eksekusi James Foley tersebut kemungkinan menggunakan tipuan kamera.

***

Hampir setahun setelah serangan itu dimulai, kita menemukan fakta baru. Sebuah video yang dirilis oleh kelompok hacker CyberBerkut menunjukkan proses pembuatan video eksekusi yang dilakukan di sebuah studio.

Dalam video yang berdurasi kurang lebih 3,5 menit ini, seorang algojo ISIS Jihad John alias Mohammad Emwazi tampak berdiri di depan layar, di samping sandera yang berlutut mengenakan jumpsuit oranye. Tampak beberapa orang kru produksi di tempat tersebut, sebagaimana dilaporkan Leaksource. Gurun, efek mesin angin yang tampak dalam video memiliki kemiripan dengan video eksekusi James Foley. Video itu berasal dari ponsel salah satu staf Senator McCain ketika sedang berkunjung ke Ukraina.

Dari temuan-temuan ini, saya menyimpulkan bahwa ada 2 jenis video eksekusi yang beredar saat ini, yaitu:

Pertama, video yang memang benar-benar diambil saat ISIS melakukan eksekusi terhadap tawanan. Beragam cara eksekusi telah pernah dipraktekkan oleh kelompok ini, misalnya dengan menembak dari jarak dekat, memenggal kepala, hingga memasukkan tawanan ke dalam sangkar dan kemudian dibakar. Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, dan para ahli setuju bahwa terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan
tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan. Jadi, ISIS sengaja melakukan teror dan eksekusi dengan cara-cara yang keji, lantas menyebarluaskan video eksekusi tersebut untuk menciptakan rasa takut dan resah kepada masyarakat, khususnya bagi penduduk setempat sehingga mereka tidak berani melawan.

Jenis kedua adalah video yang dibuat di studio sebagaimana yang diungkap oleh CyberBerkut. Korban yang dipilih bukan masyarakat ataupun tentara setempat, melainkan wartawan. Setidaknya, ada empat nama korban yang memiliki ‘value lebih’ dan mengundang efek yang lebih besar ketika video eksekusi terhadap mereka disebarkan — yaitu James Foley dan Steven Sotloff, juga Kenji Goto dan Haruna Yukawa yang berasal dari Jepang.

Sebut saja eksekusi James Foley, yang berprofesi sebagai wartawan. Seharusnya para wartawan mendapat jaminan perlindungan di medan perang. Sehingga ketika ia dieksekusi oleh ISIS, mungkinkah ada media yang luput memberitakannya? Sepertinya tidak, eksekusi James Foley ini menjadi headline di media-media nasional dan internasional. Efek yang tercipta menjadi lebih dramatis, sehingga tujuan untuk menggiring opini publik pun berhasil.

Lantas, siapakah dalang dibalik pembuatan video eksekusi di dalam studio tersebut?

Jika kita kembali melihat ke belakang, pada tahun 2013, Presiden Barack Obama pernah berencana menyerang Suriah. Ia menuduh Pemerintah Suriah telah melakukan pembantaian terhadap rakyatnya dengan menggunakan senjata kimia di Ghouta yang menelan ratusan korban jiwa. Namun rencana itu sama sekali tidak mendapatkan restu baik itu dari tentara maupun rakyatnya.

Menurut polling yang dilakukan CNN, saat itu sebanyak 60% penduduk AS yang ditanya tentang rencana Presiden Obama menyerang Suriah menyatakan bahwa hal tersebut merupakan ide yang buruk. Sedangkan survey oleh Gallup menyebutkan ada 51% penduduk Amerika yang menentang wacana serangan tersebut.

Rakyat AS beramai-ramai mendatangi Gedung Putih, membawa spanduk yang menyuarakan penolakan mereka. Sedangkan tentara AS melakukan kampanye di media sosial dengan mengunggah foto mereka yang disertai alasan mereka tidak ingin berperang di Suriah. Kita tahu, di Suriah ada kelompok teroris affiliasi Al-Qaeda yang memusuhi Presiden Assad, tentara Suriah dan pendukungnya. Sehingga, jika tentara AS turut menggempur tentara Suriah, bukankah hal itu berarti bahwa mereka merupakan sekutu dari Al-Qaeda? Padahal, selama ini AS memerangi Al-Qaeda dan affiliasinya di berbagai negara Arab dengan dalih perang melawan terorisme.

Namun tahun lalu, ketika video eksekusi James Foley dirilis, dan Presiden Obama ancang-ancang mengerahkan tentaranya untuk menyerang ISIS di Suriah, tidak muncul banyak penentangan. Akhirnya, pada tanggal 23 September 2014, AS bersama Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania (yang menyebut dirinya sebagai pasukan koalisi anti-ISIS) mulai mengebom Suriah. Serangan dipusatkan pada wilayah Raqqa yang dikuasai ISIS.

Siapa yang diuntungkan dengan propaganda video palsu James Foley tersebut? Tentu saja AS dan sekutunya. Akhirnya mereka mendapatkan semacam ‘legitimasi’ untuk melakukan invansi militer secara langsung. Benar, mereka mengklaim tengah berperang melawan ISIS, yang merupakan musuh kemanusiaan dan perdamaian. Tapi bukankah menyerang sebuah negara yang berdaulat merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional?

***

Dari data yang dirilis PBB, total jumlah korban perang Suriah sejak 15 Maret 2011 – 15 Januari 2015 mencapai 220,000 jiwa. Sedangkan menurut Syrian Observatory for Human Rights, sejak 15 Maret 2011 – 15 Januari 2015 jumlah korban mencapai 230,618–320,618 jiwa. Mengingat perang masih berkecamuk, maka bisa dipastikan jumlah ini akan terus meningkat. Suriah berada dalam kondisi hancur akibat terorisme, dan serangan dari pasukan koalisi anti-ISIS yang dipimpin AS sama sekali tidak membuat kondisi negara itu membaik, melainkan semakin bertambah parah.

William Boardman menyebut serangan brutal Arab Saudi dan koalisinya terhadap Yaman sebagai bentuk ‘buta militer’ karena menyerang membabi-buta dari udara, padahal yang lawan yang hendak mereka serang adalah pasukan Ansarullah yang berada di jalur darat. Siapakah yang menjadi korban paling banyak atas serangan seperti ini? Tak lain warga sipil yang tak berdosa. Serupa dengan yang terjadi di Yaman, hal itu pula yang dilakukan AS di Suriah. Mereka mengklaim memerangi ISIS, namun tidak ada satupun tentara yang dikerahkan di jalur darat.

Bagaimanapun juga pada akhirnya, perang akan berujung pada kehancuran. Kemanakah para pegiat HAM, juga masyarakat internasional, yang telah termakan propaganda AS dan sekutunya? Kebanyakan dari mereka memilih bungkam melihat kawanan penjahat kemanusiaan tersebut membunuhi rakyat Suriah.