Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Palestina di Bandara Israel

Petugas keamanan Israel membawa anjing ketika mereka berpatroli di pintu masuk bandara Ben Gurion, Tel Aviv 21 Agustus 2014 (AFP)

Petugas keamanan Israel membawa anjing ketika mereka berpatroli di pintu masuk bandara Ben Gurion, Tel Aviv 21 Agustus 2014 (AFP)

Oleh: Yara Hawari

Awal bulan Juli 2017, Haaretz melaporkan bahwa tiga wanita penduduk Israel berkebangsaan Palestina menuntut maskapai El Al dan Arkia karena tindak pelecehan yang mereka terima sebelum menaiki pesawat di Belgrade menuju Tel Aviv.

Salah seorang penggugat  menuturkan pada Haaretz bahwa mereka dipisahkan dari kelompok mereka dan digeledah bertelanjang karena, “Kami orang Arab dan kami perempuan.”

Diskriminasi rasis yang dihadapi orang Palestina selama bertahun-tahun telah banyak didokumentasikan, tapi diskriminasi gender masih sering diabaikan. Rasisme gender  terbukti sebagai alat yang efektif dalam melecehkan dan mempermalukan orang-orang, dan seringkali korbannya adalah para wanita. Apa yang menimpa ketiga wanita itu mengingatkan saya pada kejadian sama yang menimpa saya tiga tahun lalu.

Penerbangan yang salah

Saya telah menempah penerbangan ke Cyprus dari bandara Ben-Gurion melalui maskapai yang tidak saya ketahui. Malangnya ketika itu, saya tidak memperhatikan catatan kecil yang menyatakan bahwa penerbangan tersebut dioperasikan oleh maskapai Al El.

Sebenarnya saya menghindari terbang dengan Al El, selain karena saya memboikotnya, juga karena telah menjadi rahasia umum bahwa maskapai tersebut membolehkan petugas keamanan Israel untuk beroperasi di bandara-bandara asing dengan kedok petugas keamanan maskapai. Memang benar, Al Jazeera mendapat bocoran bahwa “Israel mempergunakan maskapai internasionalnya, Al El Airlines sebagai kedok badan intelijen mereka.”

Namun saya baru menyadari kesalahan saya saat terbang keluar Israel. Pada penerbangan pulang, saya tiba di meja pemeriksaan bandara Larnaca dan menyerahkan paspor saya,  kemudian digelandang oleh petugas keamanan Cypriot yang berkata bahwa saya harus menjalani pemeriksaan keamanan oleh maskapai tersebut.

Pria itu menggiring saya ke koridor yang menuju ke suatu ruangan kecil yang dipenuhi poster bertuliskan “Selamat datang di Israel” yang menunjukkan lokasi populer wisatawan seperti Laut Mati dan pantai-pantai Haifa maupun Tel Aviv. Ini tanda yang jelas bahwa saya berada di bawah hukum Israel.

Saya disuruh duduk dan diperkenalkan pada dua petugas keamanan Israel yang akan memeriksa saya. Mereka memeriksa semua barang di di koper saya, menanyai dari mana semua barang itu, dan mengambil barang elektronik saya sementara saya hanya diam memandang. Kemudian mereka menggeledah tubuh saya, di mana saya ditelanjangi hingga pakaian dalam.

Ketika mereka telah selesai, mereka menyuruh seorang petugas keamanan wanita untuk mengawal saya di bandara dengan perlakuan yang sama dengan yang diterima para wanita di Belgrade. Petugas ini bahkan mengikuti saya ke kamar kecil dan berdiri di depan pintu.

Enam dengan Bintang

Pelecehan ini tidak wajar karena terjadi di negeri asing, karena jika saya terbang dari Ben-Gurion, pelecehan seperti ini selalu terjadi. Sebagai warga Israel keturunan Palestina, saya cukup beruntung diizinkan terbang dan diberi sedikit kebebasan bergerak, hal yang tidak diberikan pada demikian banyak saudara Palestina saya, laki-laki maupun perempuan.

Namun proses untuk penerbangan ke luar negeri tidak pernah mudah. Bandara ini memberlakukan sistem keamanan yang sangat diskriminatif dan rasis. Sistem keamanan ini dijalankan dengan cara yang sangat kampungan. Setelah menanyakan berbagai pertanyaan seputar kedatangan, petugas keamanan akan memberi Anda kode batang (barcode) yang diawali dengan angka dari satu hingga enam. Satu adalah peringkat keamanan terendah, diberikan pada Yahudi Israel, dan enam adalah yang tertinggi diberikan pada warga Palestina, kulit berwarna, dan pekerja PBB atau NGO, organisasi nirlaba non pemerintah.

Mulai dari peringkat empat, Anda akan menerima pemeriksaan keamanan yang ketat. Lebih dari satu dekade saya mendapat peringkat enam, dan tiga kali saya mendapat enam dengan bintang, sepertinya menunjukkan ekstra berisiko.

Pemeriksaan keamanan yang menyertai adalah proses panjang dalam pemeriksaan setiap barang di tas tangan Anda, membongkar segalanya dan menggeledah tubuh. Seringkali saya diperiksa dua orang yang bertanya panjang lebar tentang identitas dan informasi keluarga saya.

Rutinitas yang Dibuat untuk Melecehkan

Kerapkali rutinitas ini sengaja dibuat untuk melecehkan wanita. Pada suatu ketika mereka menemukan tampon di tas saya, mereka mengacungkan tampon itu dan bertanya keras-keras dengan tatapan menuduh, “Apa ini?”

Semua penjaga dan penumpang menoleh. “Itu tampon,” kata saya.

“Apa? Untuk apa?” seorang petugas bertanya.

“Yang benar saja? Itu untuk haid,” kata saya.

Setelah diam lama, dengan alis naik sebelah ia menjawab, “Oke, oke, saya mengerti.”

Selesai masalah tampon, mereka memeriksa tubuh saya dengan sinar X. Setelah disinar, petugas itu memanggil petugas lain.

“Hallo, saya kepala keamanan,” kata petugas yang baru datang. “Saya perlu tahu, apakah Anda memakai beha push up?”

Di waktu lain, setelah pemeriksaan dengan sinar X, mereka menyuruh dua orang petugas wanita untuk memeriksa vagina saya.

Pelecehan gender ini juga sering terjadi di pos pemeriksaan di jalan. Kerap kali tatkala saya dihentikan oleh tentara Israel, saya ditanyai tentang status pernikahan dan kadang mereka menyuruh tentara-tentara lain untuk memelototi saya.

Insiden-insiden ini mungkin terlihat remeh dan tidak penting, namun jika telah menjadi bagian tetap dari rutinitas hidup Anda, jelas bahwa hal-hal ini sengaja dibuat agar Anda takluk pada penjajahan Israel. Jika saya tidak suka dengan perlakuan ini, seringkali petugas keamanan bandara menyuruh saya untuk bepergian lewat Yordania.

Sayang sekali, kecil kemungkinan para wanita yang menuntut maskapai tersebut mendapat kemenangan. Diskriminasi ras dan kekerasan amat kuat di Israel, dan tuntutan hukum di dalamnya tidak akan mengubah hal-hal itu. Namun demikian tindakan para wanita tersebut adalah hal yang berani dan menjadi contoh bagi yang lain untuk menggugat pelecehan gender oleh rezim penjajah Israel. (Penerjemah: Ira F.)

Yara Hawari adalah aktivis-pelajar keturunan Inggris Palestina, yang tulisannya terus didasarkan pada komitmennya untuk kemerdekaan Palestina. Ia berasal dari Galilee dan menghabiskan hidupnya antara Palestina dan Inggris. Saat ini dia sedang di tingkat akhir sebagai calon PhD di European Center for Palestine Studies di Universitas Exeter. Dia juga merupakan anggota yang membuat kebijakan Al-Shabaka dan menulis di berbagai media, termasuk Electronic Intifada dan Independent. sumber