[Commentary] Social Media Resistance, Bentuk Perlawanan Teranyar

Tulisan ini merupakan tanggapan ilmiah dari jurnal yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul THE ART OF RESISTANCE IN THE MIDDLE EAST, Asian Affairs, 43:3, 393-409, DOI: 10.1080/03068374.2012.720061, yang intisarinya telah dipublikasikan di tautan ini: http://ic-mes.org/politics/jurnal-seni-dan-resistensi-di-timur-tengah/

Sosmed resistensiSeni sebagai bentuk resistensi berjalan beriringan dengan perkembangan jaman. Jika Charles Tripp menyebut bentuk-bentuk seni untuk menyuarakan aspirasi terbatas hanya pada poster, seni grafiti dan seni rupa, maka sejalan dengan perubahan jaman – kita menemukan karya seni yang lebih kompleks, dan disampaikan bukan lagi di jalanan maupun tembok-tembok besar, melainkan di wadah yang nyaris tak terlihat, namun memiliki jangkauan yang lebih luas karena secara langsung dapat dilihat publik internasional, yaitu sosial media, yang kini lazim disebut social media resistence.

Media sosial, atau jejaring sosial, didefinisikan sebagai tempat online yang memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, membangun jaringan pribadi yang menghubungkan dia dengan pengguna lainnya (Lenhart, A., & Madden, M., 2007). Jejaring sosial merupakan wadah efektif untuk berbagi maupun mencari informasi yang dibutuhkan. Ellison (2007) mendefinisikan jejaring sosial sebagai wadah yang memungkinkan tiap individu untuk membangun profil yang dibuka kepada publik ataupun terbatas, ataupun mengartikulasikan daftar pengguna lain dan dengan siapa mereka berbagi koneksi. [1]

Sesuai definisi diatas, bisa dikatakan bahwa media sosial memberikan penggunanya plafform baru dalam bersosialiasi dan berinteraksi. Penggunanya tidak lagi terisolasi dalam ruang dan waktu, dan memberikan peluang sebesar-besarnya untuk berinteraksi dengan dunia global. Media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Google+, Path, dan lainnya, merupakan media yang sangat memiliki pengguna hingga ratusan juta di seluruh dunia. Sehingga, ketika Anda mengunggah sebuah gambar atau video, maka hanya dalam hitungan menit, postingan Anda bisa menjadi viral ke seluruh dunia.

Social media resistence juga dimanfaatkan sepenuhnya oleh kelompok-kelompok perlawanan di Timur Tengah. Sebutlah seperti kelompok perlawanan Palestina, yang memiliki sebuah halaman di Facebook dengan judul ‘Electronic Intifada’, yang aktif memberitakan kondisi terkini di Palestina. Ada juga halaman milik simpatisan Hizbullah yang hampir setiap jam mengabarkan berita yang terkait dengan Hizbullah.

Contoh yang paling nyata terkait social media resistence kita dapati dalam konflik Suriah. Kelompok Free Syrian Army, Jabhat al-Nusra, bahkan ISIS, memiliki halaman di Facebook, yang mengklaim tengah melawan pemerintahan Bashar al-Assad yang menurut mereka, telah melakukan kekejaman pada rakyatnya. Namun di saat yang sama, pemerintah Suriah dan pendukungnya juga memiliki halaman di Facebook, dan mengklaim bahwa pihaknya melakukan perlawanan terhadap terorisme di negaranya. Bentuk-bentuk karya seni yang digunakan dalam sosial media jauh lebih kompleks. Mulai dari poster, meme, video, hingga kalimat-kalimat indah yang menggugah para pembaca.

Bisa dibilang, kondisi Suriah hari ini merupakan salah satu korban ‘keganasan’ sosial media. Pasalnya, pihak pemberontak Suriah memanfaatkan sosial media untuk menggalang dukungan dengan menggunakan sentimen agama dan mazhab. Ketika bersinggungan dengan agama, kaum Muslim cenderung sensitif dan mudah terpengaruh, hingga akhirnya banyak dari mereka yang bergabung dengan kelompok pemberontak di Suriah. Banyak juga diantara mereka yang mengeluarkan bantuan sebagai bentuk simpati. Namun harap dicatat, dalam konflik Suriah bertebaran gambar-gambar dan video palsu yang diunggah oleh pemberontak untuk semakin mendeskreditkan Bashar al-Assad.

Charles Tripp mengajukan pertanyaan, bentuk seperti apa yang paling efektif digunakan dalam seni resistensi agar mudah dimengerti oleh masyarakat? Karena pastinya ada karya yang terkesan kurang jelas, membingungkan, atau bahkan palsu.

Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan resistensi di media sosial, contohnya dalam kasus Suriah, kedua belah pihak menggunakan bentuk karya seni yang hampir sama. Misalnya gambar-gambar, tulisan ataupun video. Dalam kasus seperti ini, mutlak diperlukan kejelian dalam menerima informasi. Bagaimana tidak, korban bom di Baghdad misalnya, diklaim oleh kubu pemberontak sebagai korban kekejaman Assad. Begitu pula dengan korban-korban kekejaman Israel di Palestina, disebut-sebut sebagai ulah tentara Suriah. Sampai hari ini, memasuki tahun kelima konflik Suriah, pemalsuan informasi masih terus terjadi.

Tanpa mengkerdilkan bentuk seni resistensi yang tersaji di tembok-tembok maupun jalanan, di tahun 2015 ini, social media resistence merupakan jenis perlawanan yang sangat berbahaya. Hanya dengan bermodalkan smartphone, Anda bisa mempengaruhi orang-orang lintas negara untuk bergerak. Maraknya pergerakan para jihadis menuju Suriah, atau kaburnya gadis-gadis belia dari rumahnya untuk bergabung dengan ISIS, hanyalah potret kecil dari dampak social media resistence.

———-

[1] Social Media Addiction, Resistance, and Influence of Awareness: Measurement of Psychology Students’ Resistance to Facebook Addiction, Doi:10.5901/mjss.2014.v5n8p456