Rangkuman Berita Timteng Rabu 13 September 2017

penangkapan ulama di saudiJakarta, ICMES: . Lembaga Persatuan Ulama Muslim Internasional mengecam tindakan otoritas Arab Saudi menangkap sejumlah ulama di negara ini, termasuk Syeikh Salman al-Ouda.

Kepala Dewan Strategi Hubungan Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi menegaskan negaranya siap menghadapi skenario terburuk dalam menghadapi tekanan Amerika Serikat (AS).

Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheith menyerukan kepada otoritas Kurdistan Irak agar tetap membuka pintu dialog yang menjamin integritas dan kedualatan Negeri 1001 Malam ini.

Berita selengkapnya;

Persatuan Ulama Muslim Internasional Kecam Penangkapan Sejumlah Ulama Di Saudi

Lembaga Persatuan Ulama Muslim Internasional mengecam tindakan otoritas Arab Saudi menangkap sejumlah ulama di negara ini, termasuk Syeikh Salman al-Ouda.  Sekjen lembaga ini, Ali Mohiuddin Al-Quradaghi, dalam statemennya yang dirilis Senin (11/9/2017) mendesak otoritas Saudi agar membebaskan mereka “secepatnya”.

Dia menyebutkan bahwa Syeikh Al-Ouda yang merupakan anggota Dewan Pengawas Persatuan Ulama Muslim Internasional  “tidak melakukan apapun di tengah krisis antarnegara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) kecuali mendoakan persatuan negara-negara ini, namun doa ini mengenai krisis hubungan Qatar dengan negara-negara GCC lainnya ini ternyata membangkitkan kemarahan di Kerajaan (Saudi).”

Al-Ouda dalam cuitan terbarunya di Twitter menuliskan, “Ya Tuhan kami, segala puji bagimu, kami tak akan mampu untuk mengungkapkan pujian kepadaMu selayak pujianMu kepada DzatMu sendiri. Ya Allah, damaikan hati mereka untuk apa yang padanya terdapat kebaikan bagi  rakyat mereka.”

Cuitan ini diposting oleh al-Ouda setelah pada Sabtu lalu (9/9/2017) terjalin kontak telefon Emir Qatar Tamim bin Hamad al-Thani dengan Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman al-Saud.

Persatuan Ulama Muslim Internasional mengimbau “Khadim al-Haramain al-Syarifaian (Raja Salman Bin Abdul Aziz) segera membebaskan para ulama dan da’i yang telah ditangkap, dan tidak mengusik kebebasan mereka.”

Organisasi ini juga meminta Saudi “mengutamakan kebijaksanaan dalam menyikapi krisis Teluk dan memperlakukan para ulama itu, dan tidak memenjarakan mereka berkenaan dengan persoalan perselisihan politik.”

Belakangan ini kabar penangkapan tiga da’i ternama Saudi, yaitu Syeikh Salman al-Ouda, Syeikh Awad al-Qarni, dan Syeikh Ali al-Amri, telah menjadi berita yang viral di media sosial Arab.  Bahkan beredar pula bahwa masih ada nama 20 tokoh lain yang tercantum dalam daftar penangkapan namun belum dipublikasi.

Khalid bin Fahd al-Ouda melalui akun Twitter-nya Minggu lalu (10/9/2017) menyebutkan bahwa saudaranya, Syeikh Salman al-Ouda, telah diciduk oleh otoritas Saudi, namun sampai sekarang belum ada penjelasan resmi dari pemerintah Saudi tentang ini.  Khalid membuat hashtag  berbahasa Arab yang artinya “penangkapan Syeikh Salman al-Ouda”, tapi tidak menyebutkan kapan saudaranya ini ditangkap, mengapa, dan dibawa kemana.

Seakan menanggapi kasus-kasus penangkapan ini, Menteri Luar Negeri Qatar Mohammad bin Abdurrahman al-Thani dalam rapat pembukaan Dewan HAM di Jenewa, Swiss, Senin (11/9/2017), menyebut kubu Saudi telah melakukan “teror pemikiran” karena telah menghukum warga negara yang justru bersimpati kepada Qatar.

“Orang yang menuding lawan-lawan politiknya di dalam dan luar negeri sebagai teroris hanya lantaran mereka tidak sependapat dengannya tidaklah serius dalam memerangi teroris,” ungkapnya. (rayalyoum)

Soal Tekanan AS, Iran Nyatakan Siap Hadapi Resiko Terburuk

Kepala Dewan Strategi Hubungan Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi menegaskan negaranya siap menghadapi skenario terburuk dalam menghadapi tekanan Amerika Serikat (AS) terkait dengan perjanjian nuklir Iran dengan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman yang mewakili Uni Eropa. Dia juga mengecam keras sikap Eropa terhadap krisis Suriah, menyebut ISIS sebagai produk negara-negara musuh Suriah, memperkirakan kelompok teroris takfiri ini masih akan bertahan dan menyebar ke pelbagai penjuru dunia, dan menyebut krisis Qatar sebagai cara Saudi untuk cuci tangan dalam krisis Suriah.

“Ada skenario terburuk mengenai masa depan, yaitu keluarnya semua pihak dari perjanjian ini, dan kami siap menghadapi semua skenario yang ada, bahkan skenario yang paling buruk,” ungkap Kharrazi dalam pertemuan dengan mantan menlu Australia Gareth Evans dan rombongannya di kantor dewan tersebut di Teheran, Selasa (12/9/2017).

Kharrazi yang juga mantan menlu Iran berharap Uni Eropa (UE) dapat bersikap independen dan resisten di depan tekanan AS.

Dia memastikan Iran berbeda dengan Korut sehingga tidak akan berusaha mengusai senjata nuklir karena kepemilikan senjata pemusnah massal ini sudah dinyatakan terlarang dan haram dalam fatwa Pemimpin Besar Iran Grand Ayatullah Sayyid Ali Khamenei yang juga merupakan sosok marja’ atau ulama panutan.

“Kami hanya ingin meraih teknologi nuklir tujuan damai… Filosofi kekuatan di Republik Islam Iran berbeda, dan pengaruh yang kami miliki di kawasan tidak bertumpu pada kekuatan dan senjata,” ujarnya.

Mengenai krisis Suriah dia mengatakan, “Esensi krisis Suriah sudah berubah, dan rasa percaya diri pemerintah Suriah untuk memasuki perundingan politik sudah meningkat menyusul kemenangannya belakangan ini.”

Dia lantas mengritik sikap negara-negara Eropa terhadap Suriah selama ini dan menyebutnya sebagai kesalahan yang fatal.

“Pertanyaan utamanya ialah mengapa sedemikian keliru dalam masalah Suriah. Eropa salah karena tak dapat menangkap bahaya ISIS.  Ada negara-negara tertentu yang mendanai dan mempersenjatai para pemberontak dan membekali para teroris. Eropa salah perhitungan, sedangkan kami sejak awal sudah tepat mengidentifikasi nasib campur tangan asing di Suriah, dan kami tidak melakukan kesalahan yang mereka perbuat,” katanya.

Menurutnya, krisis hubungan Qatar dengan Arab Saudi mengindikasikan perselisihan keduanya dalam isu Suriah.

“Saudi ingin mengesankan dirinya tak berdosa, padahal Saudilah biang kerok krisis ini karena telah menebar idologi takfiri Wahabi dan menyulut krisis ini dengan mengirim dan senjata,” katanya.

Kharrazi menambahkan bahwa ISIS ada karena ada dukungan dari negara-negara yang berambisi menggulingkan pemerintah Suriah melalui aksi militer sebagaimana terjadi di Libya, sementara Iran dan Rusia tetap akan bertahan di Suriah selagi ada permintaan dari pemerintah Damaskus.

Mengenai masa depan ISIS, dia memperkirakan organisasi teroris ini masih akan tetap bertahan meskipun dengan skala terbatas.

“Kami memperkirakan ISIS tidak akan musnah seketika, melainkan masih akan mengubah strategi, masih akan melancarkan aksi-aksi teror bersama kelompok-kelompok kecil, dan menyebar ke Eropa, Asia, Asia Tengah, Afrika utara, dan berbagai titik kawasan lain,” katanya.

Di pihak lain, Gareth Evans menyatakan Australia akan selalu konsisten pada perjanjian sehingga Negeri Kanguru ini kecewa atas sikap Presiden AS Donald Trump terhadap perjanjian nuklir Iran, dan ini menjadi tantangan tersendiri dalam hubungan Canberra dengan Washington. (irna/aljazeera)

Liga Arab Kecam Rencana Referendum Kemerekaan Kurdistan Irak

Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheith menyerukan kepada otoritas Kurdistan Irak agar tetap membuka pintu dialog yang menjamin integritas dan kedualatan Negeri 1001 Malam ini.

Dalam kata sambutannya pada sidang para menlu Liga Arab di markas organisasi ini di Kairo, Mesir, Selasa (12/9/2017) menegaskan, “Kelestarian Irak dalam kesatuan federal dengan semua etnis dan komponennya merupakan kemasalahatan bagi Irak dengan Arab dan Kurdinya maupun bagi seluruh bangsa Arab.”

Dia menambahkan, “Kami mengimbau saudara-saudara Kurdi kami supaya memberi kesempatan dialog untuk menjaga konstitusi di mana mereka ikut berpartisipasi dalam pembuatannya dan demi menjaga sistem yang menjaga Irak dan kesatuannya.”

Sebelumnya di hari yang sama parlemen Irak menolak referendum Kurdistan yang dijadwalkan berlangsung pada 25 September mendatang, dan mendesak Perdana Menteri Irak Haeder Abadi supaya “menempuh segala tindakan untuk menjaga kesatuan Irak.”

Di pihak lain, pemimpin Kurdistan Masoud Barzani menyatakan pihaknya “tidak menggubris  ancaman kekanakan untuk menyulut perang.”  Dia juga menambahkan bahwa Kurdistan “akan membela diri” jika ada orang yang bermaksud membuktikan ancaman ini.

Rencana referendum kemerdekaan Kurdistan ditentang oleh sejumlah negara, terutama Turki dan Iran. (alalam)