Senjata Nuklir Israel Penghalang Perdamaian di Timur Tengah

rudal anti serangan udaraHanya ada sedikit harapan bagi terwujudnya perdamaian Timur Tengah, selama Israel masih bersikeras pada kebijakan nuklirnya yang ambigu dan menolak untuk menandatangani kesepakatan pelucutan senjata nuklir (NPT).

Diawal Mei, saat dunia menahan nafas menunggu dengan harap pada perundingan pelucutan senjata nuklir antara Presiden Donald Trump dan Presiden Korea Utara Kim Jong Un, serta mencerna keputusan Trump untuk menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran, sebuah pertemuan internasional membahas sikap Israel ini telah dilangsungkan di Jenewa. Selama beberapa hari, perwakilan dari puluhan negara membahas persiapan konferensi ke-5 peninjauan kembali ‘The Nuclear Proliferation Treaty (NPT)’ yang dijadwalkan akan diadakan pada tahun 2020.

Sebagaimana biasa, perwakilan Mesir menyerang Israel yang menolak menandatangani kesepakatan NPT. Perwakilan Iran untuk IAEA, Raza Najafi, mengambil kesempatan itu untuk menggali kerjasama nuklir antara AS dan rezim Zionis. Menurut kantor berita Iran, Najafi menekankan, negaranya berkomitmen penuh pada NPT.  Sementara Israel, seperti biasa, mengawasi kondisi dari luar arena, seperti yang dilakukannya pada akhir Juli, saat 122 negara menandatangani kesepakatan pelarangan pembuatan senjata nuklir dan segala hal yang terkait, seperti mengembangkan, menguji, memproduksi, menyebar, dan membuat cadangan/persediaan senjata. Sangat jelas sembilan negara pemilik nuklir dunia tidak membubuhkan tandatangan pada dokumen itu. Israel sebagai non-anggota IAEA ini, juga absen dalam penandatanganan. Iran menandatangani.

Selama lebih dari 5 dekade, Israel telah bermain di dua sisi. Dengan indikasi kuat bahwa tidak semua reaktor nuklirnya didesain untuk kegunaan damai, Israel tidak mengakui kepemilikan bom nuklir. Minggu lalu, The New Yorker melaporkan, tak lama setelah Trump terpilih sebagai presiden, ia menyetujui permintaan PM Israel, Benyamin Netanyahu, untuk menandatangani surat perjanjian  “tidak menekan Israel menyerahkan senjata nuklirnya”. Menurut laporan ini, 3 penguasa Gedung Putih sebelumnya juga telah menandatangani komitmen yang sama. Komitmen kepresidenan AS memiliki batasan. Menurut The New Yorker, ada pemahaman tidak tertulis dengan Israel mengenai keberlangsungan kebijakan nuklirnya. Dengan kata lain, Israel tidak dapat mengakui bahwa pihaknya memiliki senjata nuklir.

Sikap ambigu ini akan memberi alasan bagi AS untuk melindungi Israel melalui jalur diplomatik, dan untuk melepaskan Israel dari tekanan Dunia Internasional agar bergabung ke dalam NPT (kesepakatan perlucutan nuklir). Hal ini juga yg membuat Israel dapat menghindar dari pengawasan IAEA pada reaktornya. Akibatnya orang Israel sendiri tidak tahu tentang kondisi reaktor nuklir tua di selatan kota Dimona, dan apakah tingkat keamanannya sudah sesuai dengan standar keselamatan internasional.

Dalam rangka menjaga nuklirnya, Israel bahwa melarang wartawannya untuk mengacu langsung pada kemampuan nuklir Israel. Saat mereka menulis tentang nuklir, mereka diharuskan bersembunyi di balik pernyataan yang tidak masuk akal ‘berdasarkan sumber asing’.

Seiring waktu, kebijakan ambigu ini akhirnya menjadi kebijakan penipuan. Pada tahun 1976, Menteri Pertahanan yang kemudian menjadi anggota Knesset, Moshe Dayan, dalam wawancara dengan TV Perancis mengakui bahwa Israel memiliki kemampuan untuk membuat bom nuklir. Bila negara Arab memperkenalkan bom nuklir di Timur Tengah satu saat nanti, kata Dayan, “penguasa Israel akan lebih dahulu memilikinya — tapi tentu bukan untuk menggunakannya terlebih dahulu.”

Tahun 1996, Perdana Menteri Simon Perez, dalam wawancara dengan surat kabar Israel, Maariv, mengatakan, “Beri saya kedamaian, maka saya akan menghentikan program nuklir ini.”
Berbicara pada wartawan tahun 1998, Perez bersesumbar bahwa Israel membangun nuklir, bukan untuk ‘menciptakan Hiroshima, tapi Oslo’, merujuk pada perjanjian damai Israel Palestina tahun 1993, yang dikenal sebagai kesepakatan Oslo.

Tahun 2006, Direktur CIA Robert Gates (yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan AS), dalam Sidang Dengar Pendapat Senat, menyatakan bahwasanya Iran “dikelilingi negara-negara pemilik senjata nuklir: Pakistan di Timur, Rusia di Utara, Israel di Barat, dan kita [AS] di Teluk Persia.”

Inilah mengapa Israel dapat melakukan keduanya: mempertahankan nuklirnya dan menghalangi pengawasan terhadap semua fasilitas nuklirnya.

Saat menjelaskan dukungannya pada ambiguitas nuklir Israel dalam konferensi Jenewa, AS mengatakan bahwa negara-negara di wilayah yang mencoba untuk memiliki senjata pembunuh masal [nuklir] telah melanggar komitmen NPT. Untuk menjelaskan bahwa yang dimaksud AS bukanlah Israel, AS menambahkan kalimat: “negara-negara ini menolak untuk mengakui dan melibatkan Israel sebagai negara berdaulat.. (dan) melakukan aksi memecah-belah, untuk mengasingkan Israel.”

Lebih jauh lagi, AS mengkritik perundingan nuklir yang dilangsungkan pendahulu Trump (era Obama, 2010-2015), dengan menggambarkan bahwa perundingan itu hanya terbatas pada isu senjata nuklir dan mengabaikan isu politik dan keamanan di wilayah Timur Tengah.

Benar, cita-cita untuk menghilangkan senjata nuklir di Timur Tengah tidak bisa dicapai tanpa membahas isu politik dan keamanan di Timur Tengah, Namun, isu-isu ini juga tidak dapat dibahas tanpa menyelesaikan problem pendudukan Israel yang berkepanjangan di Palestina dan menghidupkan kembali upara perdamaian tahun 2002 (Arab Peace Initiative) yang terbengkalai, yang menargetkan bahwa negara-negara Arab akan menormalisasi hubungan dengan Israel jika Israel mundur dari wilayah Palestina yang didudukinya.

Untuk menghindari keriuhan yang dapat menganggu upaya diplomatik Israel-Palestina yang selalu menemui jalan buntu selama beberapa tahun terakhir, AS dan sekutunya yang dikenal dengan nama Kuartet Timur Tengah (AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa) telah mengabaikan penolakan Israel untuk bergabung NPT. Penarikan AS dari kesepakatan nuklir dengan Iran, pemindahan kedutaan AS di Israel ke Yerusalem, boikot terhadap Unesco, dan yang terbaru, perang dagang, semua ini melemahkan pengaruh pemerintahan Trump di arena diplomatik internasional. Hubungan erat antara Israel dan Trump bisa jadi membuktikan awal dari berakhirnya kebijakan ambigu nuklir Israel, dan tembakan pembuka dalam persaingan senjata nuklir liar di Timur Tengah.

(diterjemahkan dari tulisan Akiva Eldar, di Al-Monitor, oleh Nita H.)