Mengenali Cara Kerja ISIS

Kali ini ICMES menerjemahkan sebagian isi laporan panjang yang ditulis jurnalis media Jerman, Spiegel, pada tahun 2015. Menurut kami, laporan ini penting untuk dipelajari untuk mewaspadai implementasi cara kerja infiltrasi ISIS di Indonesia. Isi laporan ini adalah bahasan atas dokumen rahasia yang ditulis pendiri ISIS, Haji Bakr, dan menjelaskan mengapa kelompok ini bisa berkembang dengan cepat di Suriah, serta menunjukkan bahwa ISIS sebenarnya tidak dikendalikan oleh fanatisme agama, melainkan kalkulasi politik yang berdarah dingin.

Catatan editor:

-Teks asli menggunakan istilah Islamic State (IS), namun karena di Indonesia kelompok ini lebih dikenal dengan ISIS, terjemahan ini menggunakan nama ISIS.

-Dalam artikel ini, ISIS disebut ‘jihadis’/’Islamis’ oleh si penulis, sementara milisi non-ISIS disebut sebagai ‘pemberontak’ [rebel]. Spiegel memposisikan ISIS pelaku teror, sementara ‘pemberontak’ tidak.

—-

Dokumen Rahasia yang Mengungkap Struktur ISIS

Oleh: Christoph Reuter

Terasing. Sopan. Memperdaya. Sangat perhatian. Terkendali. Tidak jujur. Tidak dimengerti. Dendam. Para pemberontak dari utara Suriah, mengingat pertemuan dengan lelaki itu, dan mengenangnya dalam beberapa sisi yang berbeda. Tapi mereka setuju pada satu hal, “Kita tidak pernah tahu dengan pasti, siapa yang duduk di seberang kita.”

Kenyataannya, bahkan mereka yang menembak dan membunuh lelaki itu, setelah baku tembak singkat di kota Tal Rifat pada Januari pagi 2014, tidak mengetahui identitas sesungguhnya dari pria tinggi berusia sekitar akhir limapuluh tahun itu. Mereka tidak menyadari telah membunuh seorang pemimpin strategi dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya ‘Islamic State’ / ISIS. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja; sesuatu yang jarang terjadi, salah perhitungan fatal dari seorang ahli perencanaan yang brilian. Pemberontak lokal menyimpan tubuhnya dalam sebuah lemari pendingin, dengan maksud menguburkannya kemudian. Namun tak lama setelah mengetahui betapa penting pria itu, mereka mengeluarkan kembali jasadnya.

Samir Abd Muhammad al-Khlifawi adalah nama asli dari pria Irak tersebut. Perawakan kurus, berjanggut putih. Tak ada yang mengenalinya dengan nama itu. Bahkan nama samarannya, Haji Bakr, tak diketahui secara luas. Tapi justru itu adalah salah satu bagian dari rencana. Mantan kolonel pada Dinas Intelejen Pertahanan Angkatan Udara Saddam Hussein itu secara diam-diam telah mengendalikan ISIS selama bertahun-tahun. Bekas anggota dari kelompok ini berulang kali mengatakan bahwa dia adalah salah satu tokoh utama, namun tidak pernah jelas diketahui dengan pasti apa perannya. Tapi ketika sang arsitek ISIS tewas, dia meninggalkan sesuatu yang amat dirahasiakannya: sebuah cetak biru [blueprint] organisasi ini. Sebuah dokumen penuh dengan tulisan tangan berupa skema organisasi, daftar dan jadwal, yang menggambarkan bagaimana sebuah negara secara bertahap ditaklukkan.

SPIEGEL telah mendapat akses istimewa pada 31 halaman dokumen ini, di antaranya terdiri dari beberapa halaman yang ditempel bersama. Berkas itu mengungkapkan arahan yang berlapis-lapis dan pedoman aksi, beberapa di antaranya telah teruji, dan yang lain baru dirancang untuk situasi anarkis di teritori pemberontak Suriah. Sepertinya, dokumen ini adalah sumber pergerakan teroris yang paling ‘berhasil’ dalam sejarah belakangan ini.

Sampai sekarang, banyak informasi ISIS datang dari pejuang yang membelot dan data yang diperoleh dari ISIS yang disita di Baghdad. Tapi tak satupun dari informasi itu dapat menggambarkan mengapa kelompok ini bisa berkembang dengan cepat dan menjadi penting, sebelum serangan udara akhir musim panas 2014 yang menghentikan barisan kemenangannya.

Untuk pertama kali, dokumen Haji Bakr memungkinkan kita untuk menyimpulkan bagaimana sesungguhnya ISIS diorganisir dan apa peran yang dimainkan oleh mantan pejabat pemerintahan era Saddam Husein. Hal paling penting, dokumen ini menunjukkan bagaimana pengambilalihan Suriah utara direncanakan, membuat kelompok ini kemudian bisa masuk ke Irak. Selain itu, penelitian berbulan-bulan yang dilakukan SPIEGEL di Suriah, sebagaimana rekaman baru yang ditemukan kemudian khusus untuk SPIEGEL, menunjukkan bahwa perintah Haji Bakr telah dilaksanakan dengan sangat teliti.

Dokumen Bakr lama tersembunyi dalam sebuah ruang kecil tambahan pada sebuah rumah saat peperangan di utara Suriah. Keberadaannya pertama kali dilaporkan oleh saksi mata,  yang melihatnya di rumah Haji Bakr tidak lama setelah kematiannya. Pada Apri 2014, satu halaman telah diselundupkan ke Turki, dan SPEIGEL berhasil memeriksanya untuk pertama kali. Setelah SPIEGEL mencapai Tal Rifaat pada November 2014, barulah bisa dilakukan analisa keseluruhan arsip yang ditulis tangan ini.

 

Tulisan tangan Haji Bakr, tentang struktur administrasi Negara Islam.

Tulisan tangan Haji Bakr, tentang struktur administrasi Negara Islam.

 

“Kekhawatiran terbesar kami adalah bila dokumen ini jatuh ke tangan yang salah sehingga tidak akan pernah diketahui,” ujar lelaki yang telah menyimpan catatan Haji Bakr setalah menariknya dari bawah tumpukan kotak dan kain penutup. Pria ini, karena takut akan serangan pasukan berani mati ISIS, minta dirahasiakan namanya.

Rencana Utama

Sejarah dokumen ini dimulai saat masih sedikit orang yang mendengar tentang “Negara Islam”. Saat Haji Bakr, seorang berkebangsaan Irak, melakukan perjalanan ke Suriah bersama satu rombongan kecil di akhir 2012, sepertinya dia memiliki rencana yang tidak masuk akal: ISIS akan merebut sebanyak mungkin wilayah di Suriah. Lalu, ia akan menjadikan Suriah sebagai tempat pijakan untuk menyerang Irak.

Bakr memilih tempat tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu mencolok di Tal Rifaat, utara Aleppo. Kota itu adalah pilihan yang baik. Tahun 1980-an, banyak penghuninya pergi bekerja ke negara-negara Teluk, seperti Saudi Arabia. Saat kembali, mereka membawa serta keyakinan radikal dan jejaringnya. Tahun 2013, Tal Rifaat menjadi daerah kuat ISIS di provinsi Aleppo, dengan ratusan  pejuang ditempatkan disana.

Di sana, sang ‘Pemimpin Bayangan’ begitu orang menyebut Haji Bakr, merancang struktur Negara Islam, secara keseluruhan sampai ke tingkat terendah. Daftar yang dihimpun berhubungan dengan penyusupan bertahap pada kampung dan dipertimbangkan dengan teliti siapa yang akan mengawasi siapa. Menggunakan pena, dia menggambarkan rantai kepemimpinan. Meskipun kemungkinan ini hanya kebetulan, alat tulis itu berasal dari Kementerian Pertahanan Suriah dan mengenakan kop surat dari departemen yang bertanggung jawab atas akomodasi dan perabotan.

Apa yang Bakr tulis, halaman demi halaman, dengan teliti menggambar kotak-kotak untuk tanggungjawab tiap individu, yang tidak lain merupakan cetak biru sebuah operasi pengambilalihan. Itu bukan pernyataan publik terkait keimanan, tapi sebuah perencanaan teliti untuk sebuah “Intelejen Negara Islam”– kekhalifahan yang dijalankan oleh sebuah organisasi mirip badan intelejen Jerman Timur ‘Stasi’ yang dikenal jahat.

Struktur ISIS - yang sudah dibuat ulang dlm bentuk digital

Struktur ISIS – yang sudah dibuat ulang dlm bentuk digital

Cetak biru ini telah diimplementasikan dengan ketepatan yang mengagumkan pada bulan-bulan berikutnya. Rencana akan selalu dimulai dengan detail yang sama: kelompok akan merekrut pengikutnya melalui kebohongan dengan pembukaan kantor Dakwah, sebuah pusat penyebaran Islam. Bagi yang mendengar ceramah dan menghadiri kajian tentang kehidupan Islami, satu atau dua orang dipilih dan ditugaskan untuk memata-matai kampungnya dan memenuhi informasi yang lengkap. Untuk itu, Haji Bakr menyusun daftar pertanyaan sebagai berikut:

-daftar keluarga yang berpengaruh

-nama orang yang berpengaruh di keluarga tersebut

-darimana sumber pemasukan pendapatannya

-nama-nama dan pasukan (pemberontak) yang ditahan

-nama-nama pemimpin, yang mengendalikan pasukan dan apa orientasi politiknya

-aktifitas ilegal (sesuai aturan Hukum Suriah), yang dapat digunakan untuk pemerasan kepada mereka jika dibutuhkan.

Mata-mata diberitahu juga untuk mencatat rincian, apakah seseorang itu pelaku kriminal, atau homoseksual, atau pernah terlibat dalam hubungan gelap, sehingga info ini bisa dijadikan amunisi untuk pemerasan di kemudian hari. “Kami akan menunjuk orang yang paling pintar sebagai guru agama (syekh),” Bakr mencatat. “Kami akan melatih mereka untuk beberapa saat dan menyebarkannya.”

Sebagai catatan tambahan, ia telah menambahkan bahwa beberapa ‘saudara’ [ikhwan] akan dipilih di tiap kota untuk menikahi anak-anak perempuan dari keluarga yang berpengaruh, hal ini untuk mempermudah masuk ke keluarga-keluarga itu tanpa mereka sadari.

Mata-mata bertugas untuk mencari tahu sebanyak mungkin mengenai situai kota yg menjadi target. Siapa yang tinggal di sana, siapa yang bertugas, keluarga mana yang agamis, dari sekolah Islam mana mereka mendapatkan ilmu agama, berapa jumlah masjid di sana, siapa imamnya, berapa istri dan anak yang mereka punya, dan berapa usianya. Rincian lain termasuk bagaimana khotbah imamnya, apa dia terbuka untuk kaum Sufi, atau aliran-aliran lain Islam, apakah dia ada di sisi oposisi atau sejalan dengan rezim penguasa, apa posisinya dalam jihad. Bakr juga meminta jawaban atas pertanyaan seperti: apa imam mendapatkan gaji? Bila iya, siapa yang membayarnya? Siapa yang menunjuknya? Dan terakhir: berapa orang di kampung itu yang membela demokrasi?

Agen-agen ini berfungsi sebagai sinyal gelombang, yang dikirim keluar untuk menyusuri patahan kecil, sebagaimana celah lama yang sudah ada dalam lapisan bawah masyarakat. Singkatnya, apapun informasi yang dapat digunakan untuk memecah-belah dan menaklukkan penduduk lokal. Para informan termasuk mantan mata-mata intelejen, dan ada juga dari pihak oposisi rezim Assad yang berselisih dengan satu kelompok pemberontak. Beberapa dari mereka adalah pemuda dan remaja yang membutuhkan uang atau menganggap pekerjaan ini menarik. Kebanyakan dari informan pada daftar Bakr, seperti yang berasal dari Tal Rifaat, berusia awal 20-an, bahkan lebih muda, sekitar 16 atau 17 tahun.

Rencana juga mencakup bidang seperti keuangan, sekolah, penitipan anak, media massa, dan transportasi. Tapi selalu ada pengulangan tema inti, yaitu dengan detail dituliskan skema organisasi dan daftar tanggungjawab dan pelaporan yang diminta: penjagaan, pengintaian, pembunuhan, dan penculikan.

Untuk setiap dewan di propinsi, Bakr telah menempatkan seorang Emir, atau komandan, yang bertugas membunuh, menculik, menembak, komunikasi dan pembuatan sandi; begitu juga seorang emir mengawasi emir yang lain–apabila mereka tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Inti dari negara ‘ketuhanan’ ini adalah untuk menjadi jam kerja yang kejam dari satu sel dan struktur komando yang dirancang untuk menyebarkan rasa takut.

Sejak awal, rencananya adalah memiliki agen intelijen yang bekerja secara paralel, bahkan sampai tingkat provinsi. Satu pimpinan departemen intelijen umum akan melapor pada “emir keamanan” di satu wilayah yang bertugas mengawasi para deputi emir. Kepala sel mata-mata dan  seorang “manejer pelayanan dan informasi intelejen” untuk wilayah distrik melapor pada tiap-tiap deputi emir ini. Mata-mata di tingkat lokal melapor kepada deputi emir di wilayah distrik. Tujuannya agar tiap orang turut mengawasi orang lain. Mereka yang bertugas dalam pelatihan “hakim syariah dalam pertemuan intelijen” juga melapor pada emir distrik,  sementara sebuah departemen terpisah “petugas keamanan”  ditugaskan untuk emir regional.

Struktur ISIS, tulisan tangan Haji Bakr [foto:Spiegel]

Struktur ISIS, tulisan tangan Haji Bakr [foto:Spiegel]

 Dewan Syariah atau pengadilan, diharuskan untuk patuh; semua ini untuk satu tujuan: pengawasan dan kontrol. Bahkan kata yang digunakan Bakr untuk ‘muslim sejati’ adalah takwin; ini bukanlah istilah agama tapi istilah teknis yang diartikan sebagai “pelaksanaan”, kata ini lazim digunakan pada geologi atau konstruksi.

Kata itu juga pernah terkenal pada 1200 tahun yang lalu,  ketika ahli kimia Syiah, Jabbar ibn Hayyan, menggunakannya untuk menggambarkan kehidupan artifisial [tiruan]. Pada abad ke-9, dalam bukunya ‘Book of Stone’ seorang Persia Jabir ibnu Hayyan menulis -menggunakan tulisan rahasia dan kode- tentang penciptaan manusia kerdil (homunculus) “Tujuannya adalah untuk mengelabui semua, kecuali mereka yang mencintai Tuhan.” Mungkin hal ini sama seperti  strategi IS, meski kelompok ini melihat Syiah sebagai pembelot yang menyimpang dari ajaran Islam. Tapi untuk Haji Bakr, Tuhan dan keyakinan berusia 1400 tahun [keyakinan agama] digunakannya sebagai bagian dari cara-cara untuk mencapai tujuannya.

Awal Mula di Irak

Sepertinya George Orwell telah menjadi acuan dari dikembangkannya ‘pengawasan ketakutan’ ini. Namun lebih sederhana lagi. Bakr hanya sedikit mengubah apa yang telah dia pelajari di masa lalu: aparat keamanan Sadam Hussein yang ada dimana-mana, dimana tak seorang pun, bahkan jenderal dari agen intelijen sekalipun, bisa yakin bahwa mereka tidak dimata-matai.

Penulis ekspatriat Irak, Kanan Makiya, menggambarkan “Republik Ketakutan” ini dalam bukunya, dimana warga Irak [dulu] dengan mudah menghilang dan Saddam dapat menuntaskan pelantikannya tahun 1979 engan mengungkap persekongkolan palsu.

Ada alasan sederhana mengapa dalam tulisan Bakr tidak disebut sama sekali tentang kenabian atau klaim bahwa pendirian Negara Islam merupakan perintah Tuhan: dia percaya bahwasanya keyakinan agama yang fanatik saja tidak cukup untuk meraih kemenangan. Namun dia percaya bahwa keyakinan dari orang lain dapat dieksploitasi.

Tahun 2010, Bakr dan kelompok kecil dari pejabat intelejen Irak menjadikan Abu Bakr Al Baghdadi sebagai emir, dan selanjutnya “khalifah”, pemimpin resmi Negara Islam. Alasan mereka karena Baghdadi, seorang  ulama terpelajar, akan membuat kelompok ini tampak agamis.

Bakr adalah “seorang nasionalis bukan seorang Islamis,” kata wartawan Irak, Hisham al Hashimi, saat ia mengingat Bakr yang mantan pejabat karir itu; Bakr pernah ditempatkan dengan sepupu Hashimi di pangkalan udara Habbaniya. “Kolonel Samir,” begitu Hashimi memanggilnya, “adalah seorang yang cerdas, tenang, dan ahli logistik hebat.” Namun ketika Paul Bremer, pimpinan otoritas AS di Baghdad, “membubarkan tentara Irak melalui surat perintah pada bulan Mei 2003, dia merasa getir dan menganggur.”

Akibat surat perintah Bremer, ribuan anggota militer dari kalangan Sunni yang amat terlatih dirampas kehidupannya. Dengan cara itum AS telah menciptakan musuh intelijen yang teramat marah sekaligus pintar. Bakr kemudian bergerak di bawah tanah dan menemui Abu Musab al Zarqawi, di Provinsi Anbar, di barat Irak. Zarqawi adalah seorang kelahiran Jordania, yang sebelumnya mendirikan sebuah kamp pelatihan para teroris internasional di Afghanistan. Sejak 2003, Zarqawi meraih keterkenalan di dunia teror dan dianggap sebagai otak dari serangan terhadap pasukan PBB, AS, dan Muslim Syiah di Irak. Bahkan dia terlalu radikal bagi Osama bin Laden, pemimpin al Qaida sebelumnya. Zarqawi tewas dalam serangan udara AS tahun 2006.

Meski Partai Baath yang dominan di Irak adalah partai sekuler, kedua sistem itu [sekuler dan ISIS] memiliki satu keyakinan bersama bahwa yang mengatur masyarakat haruslah kelompok elit yang tidak bertanggungjawab pada siapapun – demi sebuah ‘rencana besar’, baik yang disahkan oleh Tuhan atau mitos Kejayaan Arab. Rahasia kesuksesan ISIS terletak pada kombinasi dari hal yang bertolak belakang, yaitu kepercayaan fanatik dari satu kelompok dan kalkulasi strategis dari kelompok yang lain.

Bakr secara bertahap menjadi salah satu pimpinan militer di Irak, dan sempat dipenjara pada 2006-2008 di kamp militer Bucca yang dibuat AS dan penjara Abu Gharib. Dia selamat dari gelombang penangkapan dan pembunuhan oleh unit khusus Amerika dan Irak, yang mengancam keberadaan organisasi perintis  berdirinya ‘Negara Islam Irak’ tahun 2010.

Untuk Bakr dan beberapa pejabat tinggi lain, masa penjara itu merupakan kesempatan untuk menghimpun kekuatan dalam lingkaran yang lebih kecil dari ‘jihadis’. Mereka memanfaatkan waktu yang mereka punyai di kamp Bucca untuk membangun jaringan lebih besar, tetapi para pemimpin utamanya telah saling kenal satu sama lain dalam waktu yang lama. Haji Bakr dan pejabat lain pernah bertugas di unit rahasia di divisi anti pesawat udara [di militer Irak]. Dua pemimpin ISIS yang lain berasal dari sebuah komunitas kecil muslim Sunni Turkmenistan di kota Tal Afar. Satu dari mereka adalah [mantan] pejabat tinggi intelejen.

Tahun 2010, ide untuk mengalahkan kekuatan militer pemerintah Irak sepertinya sia-sia. Tapi satu organisasi gerakan bawah tanah yang kuat terbentuk melalui tindakan teror dan jaringan pelindung. Ketika perlawanan terhadap kediktatoran dinasti Assad  dimulai di Suriah, pemimpin organisasi ini merasa memperoleh kesempatan. Akhir 2012, khususnya di Suriah utara, kekuatan rezim Assad telah dikalahkan dan diusir. Sebagai gantinya, sekarang di sana terdapat dewan lokal dan pasukan pemberontak, bagian kerusuhan yang berbaur dan tak ada yang dapat melacaknya. Ini adalah situasi rapuh dimana kelompok yang ingin dimanfaatkan oleh para mantan tentara Irak yang tergabung dalam ISIS ini.

Usaha untuk menjelaskan IS dan perkembangannya yang cepat dalam meraih kekuasan, berbeda-beda tergantung siapa yang menjelaskannya. Ahli terorisme melihat ISIS sebagai cabang Al Qaida dan memandang bahwa ketiadaan serangan besar yang dilakukan ISIS saat itu sebagai kekurangan kapasitas dari organisasi teror ini. Ahli kriminolog melihat ISIS seperti perusahaan mafia yang tujuannya memaksimalkan keuntungan [materi]. Para pengamat kemanusiaan menganalisis pernyataan-pernyataan ‘relijus’ dari media ISIS terkait ‘perang akhir zaman’, pemujaan kematian dan kepercayaan bahwa ISIS berperan pada tugas ‘mulia’ tersebut.

Tapi pandangan tentang perang akhir zaman saja tidak cukup untuk bisa mengambil alih sebuah kota, apalagi negara. Terorisme tidak bisa membangun sebuah negara. Begitu pula, sebuah kartel kriminal [perusahaan mafia] tidak menghasilkan semangat dari para pendukung di seluruh dunia, yang bersedia menyerahkan kehidupan mereka kepada organisasi demi perjalanan  menuju “kekhalifahan”.

ISIS memiliki sedikit persamaan dengan pendahulunya,  Al Qaida, meski memiliki kesamaan label, ‘jihadis’. Secara mendasar tidak ditemukan kegiatan keagamaan pada aksinya, pada rencana strategisnya, pada cara-cara amoralnya dalam mengganti sekutunya, dan pada narasi propagandanya. Keimanan, bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim,  hanya satu dari banyak sarana [yang diperlukan dalam] mencapai tujuan. Keyakinan utama ‘Negara Islam’ hanyalah perluasan kekuasaan, berapapun harganya.

Pelaksanaan Rencana

Penyebaran ISIS pada mulanya tidak mencolok sehingga bahkan setahun setelahnya, banyak orang Suriah yang heran mengapa tiba-tiba banyak ‘Jihadis’ yang hadir di tengah-tengah mereka. Kantor Dakwah  yang buka di beberapa kota di utara Suriah pada musim panas 2013 tampak sebagai kantor penyebaran agama biasa, tidak berbeda dengan lembaga-lembaga amal yang dibuka di seluruh dunia.

Saat Kantor Dakwah dibuka di Raqqa, “yang mereka katakan adalah mereka ‘saudara’ dan mereka tidak pernah berbicara tentang ‘Negara Islam’,” ungkap seorang dokter yang mengungsi dari kotanya. Kantor Dakwah juga dibuka di Manbij, di Provinsi Aleppo, pada musim panas 2013. “Saya bahkan tidak mengenalinya saat pertama kali,” seorang aktifis HAM muda mengingat hal itu. “Tiap orang berhak membuka apa yang dia inginkan. Kami tidak pernah curiga ada pihak di luar penguasa dapat mengancam kami. Hanya sesaat setelah pertempuran meletus di bulan Januari, kami mengetahui bahwa Daesh [singkatan Arab untuk ISIS] telah menyewa beberapa apartemen di mana mereka dapat menyimpan senjata, dan menyembunyikan orang-orangnya.”

Situasi yang sama terjadi di kota-kota seperti al Bab, Atarib, dan Azaz. Kantor Dakwah juga dibuka di tetangganya Provinsi Idlib, pada awal 2013, di kota Sermada, Atmeh, Kafr Takhrim, al Dana dan Salqin. Segera setelah didentifikasi cukup “murid” yang dapat direkrut sebagai mata-mata, ISIS meluaskan lagi keberadaannya. Di al-Dana gedung tambahan disewa, bendera hitam dinaikkan, dan jalan-jalan dihalangi. Di beberapa kota yang didapati  banyak perlawanan atau tidak cukup pendukung, IS memilih untuk menarik diri sementara waktu. Di awal, modus operasinya adalah menyebar tanpa mengambil resiko penolakan terbuka, dan menculik atau membunuh “individu yang menentang” saat menolak keterlibatan pada aktivitas jahat ini.

Para petempur ISIS tidak tampak mencolok pada awalnya. Bakr dan pengikut utamanya tidak membawa mereka dari Irak, yang mana hal itu sangat masuk akal. Kenyataannya, mereka melarang pejuang Irak untuk pergi ke Suriah. Mereka juga memilih untuk tidak merekrut banyak orang Suriah. Pemimpin ISIS memilih pilihan yang paling sulit yaitu: mereka memutuskan untuk mengumpulkan semua orang asing radikal yang telah datang ke wilayah itu sejak musim panas 2012. Pelajar dari Saudi Arabia, pekerja dari Tunisia dan pelajar drop out dari Eropa yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman militer, dengan membentuk pasukan bersenjata bersama orang Chechnya dan Uzbekistan yang sudah teruji dalam perang. Mereka akan ditempatkan di Suriah di bawah komando Irak.

Maka akhir 2012 kamp militer telah didirikan di beberapa tempat. Mulanya, tak ada yang tahu dari kelompok apa mereka berasal. Kamp dijaga dengan ketat dan orang di situ berasal dari berbagai negara – mereka tidak berbicara pada wartawan. Hanya sedikit dari mereka yg berasal dari Irak. Pendatang baru menerima pelatihan selama dua bulan dan dilatih untuk patuh tanpa syarat pada komando pusat. Pembentukan ini tidak mencolok dan memiliki keuntungan lain: walaupun tampak semerawut pada awalnya, apa yang dihasilkan adalah pasukan yang sangat setia. Orang asing menganggap tidak ada orang di luar sana selain teman-teman mereka, tidak ada alasan untuk menunjukkan belas kasih, mereka pun dapat dengan cepat dikerahkan ke tempat lain yang berbeda. Hal ini berbeda jelas dengan pemberontak Suriah, dimana kebanyakan mereka fokus membela kampung halamannya, melindungi keluarga dan ladang pertanian mereka. Di musim gugur, tahun 2013,  catatan IS mendata ada 2.650 pejuang asing di Provinsi Aleppo saja. Tunisia menempati sepertiga dari jumlah total, diikuti Saudi Arabia, Turki, Mesir, dan dalam jumlah sedikit dari Chechnya, Eropa, dan Indonesia.

Selanjutnya, jumlah para jihadis ini [anggota ISIS] lebih sedikit dari jumlah orang yang bergabung dengan pemberontak Suriah. Meski pemberontak tidak mempercayai jihadis, mereka tidak bergabung dalam milisi-milisi untuk melawan ISIS karena mereka tidak mau ambil resiko membuka front perang kedua. Negara Islam, kemudian, meningkatkan pengaruhnya dengan cara yang sederhana: para pria selalu menggunakan topeng hitam, yang tidak hanya membuat mereka tampak menakutkan, tapi juga membuat orang luar tidak tahu berapa sebenarnya jumlah mereka. Saat 200 orang petempur bertopeng muncul di lima tempat berbeda, apa itu berarti IS beranggotakan 1000 orang? Atas 500? Atau hanya lebih sedikit dari 200? Sebagai tambahan, mata-mata juga menyebutkan kalau pemimpin ISIS secara terus-menerus mendapat informasi, dimana populasi penduduk yang lemah atau terpecah-belah atau dimana terjadi konflik lokal, dan kemudian menawarkan diri sebagai kekuatan pelindung untuk selanjutnya mendapatkan posisi di kawasan itu.

Perebutan Raqqa

Raqqa, sebuah kota provinsi tenang di sungai Euphrates,  menjadi salah satu contoh penaklukan total ISIS. Operasinya berjalan dengan halus, bertahap menjadi lebih brutal, dan akhirnya, ISIS menguasai lebih banyak tanpa banyak melakukan pertempuran. “Kami tidak pernah terlalu berpolitik,” kata seorang dokter yang mengungsi dari Raqqa menuju Turki. “Kami juga tidak terlalu religius, dan tidak terlalu rajin beribadah.”

Saat Raqqa  jatuh ke tangan pemberontak pada Maret 2013, dewan kota dengan cepat dipilih. Hakim, dokter dan para penulis membentuk organisasi mereka sendiri. Kelompok perempuan juga dibentuk. Persatuan pemuda didirikan, sebagaimana gerakan “Untuk Hak Kami” dan puluhan prakarsa yang lain. Semua sepertinya memungkinkan di Raqqa. Tapi menurut orang-orang yang mengungsi keluar dari kota, hal itu menandakan awal kejatuhan kota itu.

Benar seperti rencana Haji Bakr, masa penyusupan akan diikuti oleh pengurangan orang-orang yang mungkin menjadi pemimpin potensial atau pihak lawan. Orang yang pertama diserang adalah ketua dewan kota, diculik pada pertengahan Mei 2013 oleh beberapa orang bertopeng. Yang selanjutnya menghilang adalah saudara dari sesorang penulis novel terkenal. Dua hari kemudian, pria pemimpin kelompok yang menggambar bendera revolusi di dinding kota juga menghilang.

“Kami tahu siapa yang menculiknya,” salah seorang temannya menjelaskan, “tapi tak ada orang yang berani melakukan apapun.” Perasaan takut mulai berperan. Dimulai pada bulan Juli, awalnya lusinan, kemudian ratusan orang menghilang. Adakalanya tubuh mereka ditemukan, tapi biasanya menghilang tanpa jejak. Pada Agustus, pemimpin militer ISIS mengirim beberapa mobil yang dikendarai oleh pengebom bunuh diri ke markas FSA, Brigade  Ahfad al-Rasul  (“Cucu Rasulullah”)  dan membunuh puluhan petempur dan memaksa sisanya mengungsi. Milisi pemberontak lainnya hanya menyaksikan. Pemimpin ISIS telah bersepakat secara rahasia dengan beberapa pasukan, sehingga masing-masing mengira itu hanya pihak lain yang mungkin menjadi target penyerangan ISIS.

Pada 17 Oktober 2013, ISIS mengundang semua pemimpin masyarakat, ulama dan hakim di kota untuk melakukan pertemuan. Saat itu, beberapa orang mengira akan ada perdamaian. Dari sekitar 300 orang yang menghadiri pertemuan, hanya dua orang yang berbicara menentang pengambilalihan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh ISIS.

Seorang dari dua orang itu adalah Muhannad Habayebna, aktifis HAM dan penulis yang terkenal di kota. Lima hari kemudian dia ditemukan terikat dan ditembak di bagian kepalanya. Teman-temannya menerima surat elektronik tanpa nama pengirim berisi foto jasadnya, dengan satu kalimat, “Apa kau sedih melihat temanmu sekarang?” Dalam hitungan jam, sekitar 20 pemimpin kelompok oposisi mengungsi ke Turki. Revolusi di Raqqa  telah sampai pada tujuannya. Tak lama setelah itu, 14 pemimpin klan besar memberi sumpah setia kepada Abu Bakr Al Baghdadi. Ada rekaman video upacara sumpah setia itu. Mereka adalah para Sheikh yang sama yang telah bersumpah setia kepada Presiden Bashar Assad dua tahun sebelumnya.

Tewasnya Haji Bakr

Sampai akhir 2013, semua berjalan sesuai rencana ISIS –atau paling tidak sesuai rencana Haji Bakr. Khalifah memperluas wilayahnya dari satu kampung ke kampung yang lain tanpa mendapat perlawanan dari penolakan dari pemberontak Suriah. Sungguh pemberontak sepertinya tak berdaya menghadapi kuatnya kekejaman ISIS.

Namun ketika pengikut ISIS semakin brutal menyiksa seperti pemimpin pemberontak yang sangat disukai dan juga seorang dokter pada Desember 2013, sesuatu yang tidak disangka telah terjadi. Di berbagai wilayah, beberapa pasukan pemberontak Suriah, baik yang sekuler dan maupun bagian dari milisi radikal Al Nursa, bergabung bersama untuk berperang menghadapi ISIS. Dengan menyerang ISIS di berbagai front dalam waktu yang sama, mereka bisa menumpas para Islamis [ISIS] dan menghalangi pasukan ISIS melakukan taktik utamanya, seperti memindahkan unit tempur secara cepat ke lokasi mana saja yang sangat dibutuhkan.

Dalam beberapa minggu, ISIS terdorong keluar dari sebagian besar wilayah utara Suriah. Bahkan Raqqa, ibukota Negara Islam, hampir saja jatuh, namun saat itu datang 1300 petempur ISIS dari Irak. Namun mereka tidak langsung bergabung dengan barisan perang. Agaknya, mereka melakukan pendekatan dengan tipu muslihat, ungkap seorang dokter yang mengungsi. “Di Raqqa banyak sekali pasukan yang bergerak, sehingga satu pihak tidak tahu siapa sebenarnya pihak yang lain. Seketika, sekelompok dengan pakaian pemberontak mulai menembaki pemberontak lain. Mereka dengan mudahnya melarikan diri.”

Hal kecil, penyamaran sederhana telah menolong pejuang ISIS untuk menang: hanya mengganti baju hitam, menjadi celana jeans dan rompi. Mereka lakukan hal yang sama di perbatasan kota Jarablus. Dalam beberapa kesempatan, pemberontak di kota yang lain, membawa supir bunuh diri ISIS menjadi tahanannya. Supir itu bertanya keheranan, “Kau juga dari kelompok Sunni? Emir kami mengatakan pada saya bahwa kalian pembelot dari pasukan Assad.”

Satu hal selesai, gambarannya mulai tampak membingungkan: kelompok yang mengklaim menegakkan perintah Tuhan untuk menegakkan kekuasaan-Nya di bumi, tapi dengan apa? Dengan pakaian ninja, trik murahan, dan sel mata-mata yang disamarkan sebagai Kantor Dakwah. Tapi hal itu berhasil. IS menguasai kembali Raqqa dan dapat menaklukan kembali beberapa wilayah yang hilang. Tapi hal itu terlalu lambat untuk rencana besar Haji Bakr.

Haji Bakr tinggal bersembunyi di kota kecil Tal Rifaat, yang cukup lama dikuasai ISIS. Namun saat pemberontak  menyerang pada akhir Januari 2014, kota pun terbagi-bagi hanya dalam beberapa jam saja. Sebagian di bawah kendali ISIS dan yang lain direbut oleh salah satu pasukan lokal. Haji Bakr terjebak pada wilayah yang salah. Selanjutnya, untuk tetap dalam penyamaran, dia menahan diri dari berpindah ke daerah yang dijaga militer ISIS. Dan demikianlah, Bapak Mata-Mata ini kemudian dimata-matai tetangganya. “Seorang Syekh Daish tinggal di sebelah rumah!” demikian si tetangga menelefon. Komandan lokal yang bernama Abdul Malik Hadbe dan anak buahnya bergegas berkendara menuju rumah Bakr. Seorang wanita menyentakkan pintu dan berkata dengan kasar, “Suami saya tidak ada disini.”

“Tapi mobilnya terparkir di depan rumah,” para pemberontak membantah.

Saat itu, Haji Bakr menampakkan diri dengan pakaian tidur di depan pintu. Hedbe menyuruhnya untuk keluar, tapi Bakr menolak, karena ia ingin mengganti bajunya dulu. Tidak, Hadbe mengulangi lagi, “Ikut kami! Cepat!”

Mengejutkan cukup tangkas untuk usianya, Bakr melompat ke belakang dan menendang pintu tertutup, menurut kesaksian dua orang yang melihat kejadian itu. Lalu dia bersembunyi di bawah tangga dan berteriak, “Saya punya sabuk bom bunuh diri! Saya akan meledakkan kita semua!”

Lalu dia keluar dengan sebuah Kalashnikov dan mulai menembak. Hadbe pun menembakkan senjatanya dan membunuh Bakr.

Saat kemudian mereka mengetahui siapa yang sudah mereka bunuh, mereka menggeledah rumahnya, mengumpulkan komputer, paspor, kartu SIM telepon genggam, alat GPS, dan yang paling penting berkas. Mereka tidak menemukan Qur’an dimana-mana.

Haji Bakr tewas, dan pemberontak lokal membawa istrinya untuk ditawan. Selanjutnya, mereka menukarkannya dengan orang Turki tawanan ISIS, atas permintaan Ankara. Berkas berharga Bakr awalnya tersembunyi di sebuah kamar, tersimpan di sana untuk beberapa bulan.

Rangkaian Dokumen Kedua

Pasca kematian Haji Bakr, ‘negara’ ciptaannya terus berjalan. Bagaimana rencananya diimplementasikan secara tepat -poin per poin – ditegaskan oleh penemuan arsip yang lain. Saat ISIS dipaksa segera melepaskan markasnya di Aleppo pada Januari 2014, mereka mencoba untuk membakar arsipnya, tapi mereka berada di situasi yang sama seperti yang dihadapi oleh polisi rahasia Jerman Timur 25 tahun sebelumnya: mereka memiliki terlalu banyak arsip.

Sebagian dari arsip itu tetap utuh dan sampai ke pasukan Al Tawhid, kelompok pemberontak terbesar saat itu. Setelah negosiasi panjang, kelompok ini setuju untuk memberikannya kepada SPIEGEL untuk dipublikasikan seluruhnya, kecuali daftar mata-mata ISIS di dalam Al Tawhid.

Pemeriksaan ratusan halaman dari dokumen itu mengungkapkan sebuah sistem yang sangat kompleks, melibatkan penyusupan dan pengawasan terhadap semua kelompok, termasuk orang ISIS sendiri. Juru arsip ISIS menyusun daftar panjang catatan di mana saja informan mereka bertugas, di pasukan pemberontak dan milisi pro-pemerintah. Bahkan tercatat ada pemberontak yang menjadi  mata-mata agen intelejen Assad.

“Mereka lebih mengetahui lebih banyak daripada kami,” kata penjaga dokumen. Berkas dokumen itu juga berisi catatan mengenai pribadi para petempur, termasuk surat permohonan dari orang asing yang datang, sebagaimana Nidal Abu Eysch dari Yordania. Dia mengirimkan semua rujukan terornya, termasuk nomer telepon dan nomer surat dakwaan atas kasus kejahatannya. Hobinya juga tertulis: berburu, tinju, merakit bom.

Negara Islam ingin mengetahui segalanya, tapi di saat yang sama, kelompok ini menipu tiap orang tentang tujuan sebenarnya. Satu laporan beberapa halaman, misalnya, berisi daftar semua dalih yang dapat digunakan ISIS untuk membenarkan penyitaan sebuah pabrik tepung terbesar di utara Suriah. Di antara alasan yang disebutkan: dugaan penggelapan, juga sikap kurang baik pekerja pabrik. Kenyataannya -bahwa semua fasilitas penting seperti industri roti, gandum dan pembangkit listrik disita dan peralatannya dikirim ke ibu kota ISIS, Raqqa -semua tersimpan rapih tak diketahui.

Berkali-kali dokumen mengungkapkan konsekuensi dari rencana Haji Bakr untuk perkembangan ISIS –misalnya mendorong petempur untuk menikahi anak keluarga berpengaruh. Dokumen dari Aleppo mencatat 34 pejuang yang menginginkan istri dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Abu Luqman dan Abu Yahya al Tunis, contohnya, mencatat bahwa mereka membutuhkan apartemen. Abu Suheib dan Abu Ahmed Osama meminta furnitur kamar tidur. Abu al Baraa al Dimaschqi meminta bantuan keuangan selain furnitur lengkap, sementara Abu Azmi menginginkan mesin cuci otomatis.

Dalam ISIS, ada struktur negara, birokrasi, dan penguasa. Tapi di sana juga ada struktur komando paralel, kelompok elit di samping pasukan biasa; komandan tambahan di samping kepala militer Omar al Shishani; seorang makelar kekuasaan yang memindahkan atau menurunkan jabatan Emir provinsi atau kota, atau membuat mereka hilang. Selanjutnya, keputusan tidak dibuat di Dewan Shura, yang seharusnya menjadi badan pembuat keputusan tertinggi. Sebagai gantinya, aturan dibuat oleh orang-orang yang “melonggarkan dan mengikat” (ahl al hall wa-al-aqd), sebuah lingkaran rahasia yang nama-namanya diambil dari abad pertengahan.

ISIS dapat mengenali semua tindakan pemberontakan internal dan mencekiknya. Di waktu yang sama, struktur penjagaan tertutup juga berguna untuk eksploitasi keuangan obyeknya. Penguasa Keuangan Khalifah memeras uang dari jutaan orang yang tinggal di wilayah dibawah kendali ISIS dalam bentuk pajak baru dan denda, atau dengan menyita properti. ISIS, bagaimanapun juga, tahu segala sesuatu dari mata-matanya dan dari data yang dirampas dari bank, kantor catatan pertanahan, dan kantor penukaran uang. Sehingga, diketahui siapa yang memiliki rumah atau kebun; diketahui juga siapa pemilik banyak kambing atau banyak uang.

Penutup [dari editor ICMES]

Di bulan November 2017, mimpi kelompok ISIS untuk mendirikan kekhalifahan di Irak dan Suriah pupus sudah. Operasi militer yang dilakukan dengan gigih di darat dan udara oleh pasukan Suriah, Rusia, Iran, dan Irak, telah berhasil mengusir ISIS dari front terakhir mereka di Irak dan Suriah dan secara resmi pemerintah Suriah, Iran, dan Irak telah menyatakan kemenangan melawan ISIS. Kini sisa-sisa milisi ISIS tersebar di beberapa wilayah dengan kekuatan minim.[]

Diterjemahkan oleh Nita H. 

(sumber)