[Jurnal] Gender dan Masyarakat Sipil di Timur Tengah

Artikel ini adalah intisari dari jurnal yang dimuat di International Feminist Journal of Politics, yang berjudul Gender and Civil Society in the Middle East, yang dipublikasikan secara online pada 2 Desember 2010 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/1461674032000080576. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.

woman di middle eastOleh: Nadje Al-Ali

Berbeda dengan penggambaran stereotip perempuan Timur Tengah yang pasif dan menjadi korban penindasan patriarkal, sebenarnya perempuan di wilayah tersebut telah mengorganisir diri selama lebih dari satu abad untuk melakukan penentangan baik terhadap otoritas negara maupun ideologi gender yang menindas kehidupan mereka sehari-hari. Wacana feminis dan aktivis selama periode pembentukan negara pasca-kolonial dan bahkan sampai paruh pertama abad kedua puluh, telah berulangkali diidentifikasi dengan pergerakan feminis Mesir Huda Sha’rawi, dan ‘The Egyptian Feminist Union’.

Secara historis, gerakan perempuan di Timur Tengah misalnya adalah dengan politik, seperti gerakan kaum nasionalis, berhubungan dengan proses modernisasi, dan pengembangan wacana antara religius vs sekuler. Pertemuan kombinasi antara ‘masyarakat mayoritas Muslim’ dengan imperialis Barat, adalah agenda yang cacat atas keinginan untuk mengembangkan Islam sebagai identitas budaya (Kandiyoti 1996: 9), umumnya telah membatasi wacana feminis di seluruh Timur Tengah.

Sejak pergantian abad ke duapuluh dan lahirnya banyak gerakan perempuan, aktivis perempuan di Timur Tengah harus berjuang di bannyak front: melawan pembatasan hukum dan politik, melawan pendudukan kolonial, dan melawan nilai-nilai patriakal konservatif. Dari awal sampai hari ini, berbagai konstituen menentang perjuangan untuk hak-hak perempuan ( baik kaum Islamis dan nasionalis-kiri).

Meskipun ada persamaan, terdapat perbedaan besar dalam sejarah kondisi dan konteks kontemporer gerakan perempuan di Timur Tengah. Munculnya gerakan perempuan telah sering terkait dengan gerakan nasionalis, seperti perjuangan anti-kolonial di Mesir pada tahun 1920 dan 1930-an, gerakan anti-Zionis di Palestina di 1930-an dan 1940-an, perjuangan pembebasan di Aljazair pada 1950-an dan awal 1960-an. Meski demikian, hubungan antara nasionalisme dengan gerakan perempuan sendiri sangat beragam.

Mengingat keragaman sosial, politik dan cultural yang luar biasa di kawasan, maka kita harus sangat berhati-hati sebelum melakukan generalisasi tentang hubungan gender dan masyarakat sipil, atau dengan asumsi bahwa mereka adalah sama di wilayah yang kompleks. Sebagaimana yang disebutkan Judith Tucker bahwa “that the diversity of the region militates against any useful generalization,‘women’s lives –their access to power and economic resources as well as their social and legal standing – surely vary from one community or class to another’(1993: vii).”

Banyak akademisi yang berpendapat bahwa meski ada keragaman di Timur Tengah, namun mereka mendukung pemahaman bahwa gender adalah salah satu kategori sosisal. Diskusi tentang perempuan di Timur Tengah terus mengarah bahwa Islam sebagai panduan untuk organisasi gender, dan banyak literatur tentang perempuan di kawasan yang masih mengasumsikan budaya Islam yang memegang segalanya terkait jenis kelamin. Namun harus ditekankan bahwa Timur Tengah tidak, dan tidak identik dengan Islam. Tradisi dan praktek budaya lokal, konfigurasi politik dan kondisi ekonomi secara spesifik juga diperhitungkan dalam keragaman terkait ideologi dan hubungan gender. Selain itu, Islam itu sendiri heterogen. Meskipun sebagian besar orang Timur Tengah adalah Muslim, ada ada perbedaan antara Sunni dan Syiah, lalu minoritas Alawite. Selain itu, ada pula perempuan dari agama minoritas seperti Maronit di Lebanon, atau Koptik di Mesir, misalnya, yang memiliki kemiripan budaya dan sosial dan tradisi seperti rekan-rekan Muslim mereka (Eickelmann 1998).

Demikian juga, kita perlu berhati-hati untuk tidak pandang bulu menyamakan keseluruhan wilayah sebagai ‘kurangnya demokratisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia’. Politik dan kebebasan hukum dan pembatasan masyarakat sipil, sangat berbeda antara Turki (yang masyarakat sipilnya sangat aktif) dengan Irak, yang gerakan masyarakat sipilnya hampir tidak ada. Namun sebagian besar negara di kawasan itu, bagaimanapun, ditandai dengan pemerintah yang tidak demokratis, represi politik yang meluas dan hubungan ambigu terhadap proyek pembebasan perempuan.

Tujuan dan Kegiatan Organisasi Perempuan

Dalam pergerakan perempuan di Timur Tengah, terdapat resonansi yang jelas dengan kategori feminis barat antara perempuan yang menekankan persamaan ‘equality’ (feminis liberal), mereka yang menekankan perbedaan (feminis radikal), dan mereka yang concern dalam eksploitasi perempuan dalam bidang yang lebih luas baik politik maupun ekonomi (sosialis feminis). Pemisahan yang kaku dalam tiga kategori feminis (liberal, radikal, dan sosialis) yang bermasalah di Barat, bahkan lebih bermasalah lagi di Timur Tengah.

Perjuangan untuk menghilangkan hambatan untuk kesetaraan hak-hak perempuan, maka para aktivis perempuan memanifestasikan dirinya dalam berbagai kampanye untuk mengubah hukum yang ada yang mencerminkan dan mereproduksi ketidaksetaraan gender. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan dan pembayaran tenaga, dan meningkatkan partisipasi politik. Pendekatan hak-hak perempuan merupakan bentuk utama dari aktivis perempuan Timur Tengah kontemporer. Namun aktivis sosialis berbeda dengan rekan-rekan mereka dari feminis liberal, menolak gagasan bahwa reformasi akan membawa keseteraan bagi perempuan, dan menganggap eksploitasi perempuan merupakan bagian dari ketida-setaraan struktural yang berakar pada pembagian kelas, kapitalisme dan imperialisme (Al-Ali 2000: 6).

Sebagian besar tujuan dan prioritas gerakan perempuan Timur Tengah terkait dengan wacana pembangunan dan modernisasi. Tujuan ini berkisar dari pengentasan kemiskinan dan buta huruf, meningkatkan kesadaran perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan kesehatan. Beberapa kelompok juga fokus pada kesadaran pertumbuhan feminis.

Dalam konteks gerakan perempuan Timur Tengah ini, istilah ‘aktivisme’ terdiri dalam berbagai kegiatan, yang jika dikaji, tidak semua berbentuk aktivisme politik, misalnya amal dan kesejahteraan, penelitian, advokasi, peningkatan kesadaran, lobi dan pengembangan. Bentuk-bentuk tertentu dari kegiatan seperti penelitian, mungkin akan berkembang menjadi keterlibatan politik, seperti advokasi atau lobi. Selain itu, kelompok dan individu, dalam suatu titik waktu, mungkin terlibat dalam berbagai jenis kegiatan.

Tujuan dan prioritas yang berbeda dalam gerakan perempuan Mesir,misalnya, diterjemahkan ke dalam berbagai proyek, seperti yang menghasilkan pendapatan proyek dan program pinjaman kredit; program bantuan hukum; hukum lokakarya kesadaran dan publikasi; kampanye untuk mengubah hukum yang ada, pembentukan mutilasi genital (FGM) satgas perempuan; menyiapkan jaringan untuk penelitian dan kampanye sekitar isu kekerasan terhadap perempuan; menyelenggarakan seminar, workshop dan konferensi untuk mengatasi masalah tertentu dan meningkatkan kesadaran sebagai perempuan; merancang dan menyebarkan tentang gender melalui paket pelatihan antara LSM; penerbitan buku, majalah dan jurnal; dan pembentukan Woman Media Watch (Al-Ali 2000: 7).

Isu-isu umum juga telah menjadi bagian dari agenda kelompok perempuan di Palestina, yang secara historis telah memainkan peran penting dalam perjuangan pembebeasan yang lebih luas dalam melawan penindasan Israel. Sejak deklarasi kesepakatan Oslo, organisasi hak-hak perempuan Palestina telah menyelenggarakan berbagai inisiatif dan kegiatan yang bertujuan mereformasi undang-undang pidana dan syarah (hukum Islam), dalam perspektif kesetaraan gender (Hammari 2001: 3). Mirip dengan kebanyakan negara Timur Tengah lain, hukum privat yang mengatur perkawinan, perceraian, dan hak asuh anak, tetap di bawah undang-undang agama (pengadilan gerejawi Kristen bagi orang Kristen, dan syariah Islam pengadilan untuk mayoritas Muslim). Aktivis menganggap pengadilan syariah sebagai hal yang sangat konservatif dan diskriminatif terhadap perempuan.

Aman untuk mengatakan bahwa masyoritas organisasi perempuan di Timur Tengah setuju dengan pandangan bahwa status hukum privat merupakan sumber ketidaksetaraan dan diskriminasi, tetapi mereka dituntut untuk melakukan modifikasi, reformasi dan perubahan drastis dari hukum yang ada. Untuk banyak kelompok, tujuan dari mengubah undang-undang adalah untuk mengatur perkawinan, perceraian, dan hak asuh anak.

Sebagian besar masalah yang ditangani oleh organisasi perempuan terkait dalam tujuan yang luas terkait dengan modernisasi dan pembangunan. Hak perempuan untuk bersuara dan mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan telah dipromosikan oleh reformis laki-laki selama lebih dari satu abad dan kemudian muncul sebagai tuntutan dari gerakan perempuan di Timur Tengah.

Namun, masalah yang berkaitan dengan lingkup privat tetap saja sensitif dan kontroversial. Baru-baru ini, para aktivis di Mesir dan Yordania misalnya, mengangkat topik isu kekerasan dalam rumah tangga. Itu disebut-sebut sebagai mengimpor ide dan konsep Barat, yang cukup bernyali dalam mematahkan hal-hal yang dianggap tabu.