[Jurnal] Gender dan Masyarakat Sipil di Timur Tengah (2)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal yang dimuat di International Feminist Journal of Politics, yang berjudul Gender and Civil Society in the Middle East, yang dipublikasikan secara online pada 2 Desember 2010 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/1461674032000080576. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.

[Baca bagian pertama]

woman di middle eastDalam konteks umum pemerintahan otoriter, implementasi hukum yang sewenang-wenang dan pembatasan pada masyarakat sipil, organisasi perempuan yang ada tidak selalu non-pemerintah. Dalam banyak negara, seperti Mesir dan Yordania, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diprakarsai perempuan biasanya sangat dibatasi dan dikendalikan oleh negara. Pada sebuah lokakarya tentang LSM yang diselenggarakan oleh Dewan Kota Teheran dan Iranian NGO Initiative, para peserta bahkan menyebutnya sebagai GNGOs (governmental non-governmental organizations), yang merupakan paradoks dan realitas organisasi masyarakat sipil di Timur Tengah.

Mesir adalah kasus lainnya. Asosiasi masyarakat sipil yang telah menjamur selama lima belas tahun terakhir atau lebih. Namun meskipun secara resmi Mubarak menyatakan mendukung kebijakan pro-demokrasi, namun tindakan represif tidak hanya diarahkan terhadap kelompok militan Islam dan komunis, tetapi juga terhadap aktivis perempuan. Sejumlah undang-undang, yang pertama kali didirikan di bawah Nasser, mengatur tentang pembentukan kelompok sukarela, asosiasi dan organisasi di bawah pengawasan Departemen Sosial. Undang-undang ini mewajibkan untuk aktivis perempuan untuk beroperasi baik sebagai kelompok informal atau kelompok organisasi yang resmi terdaftar, yang tunduk pada kendali Kementerian Sosial. Diperlukan persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri diperlukan untuk pertemuan-pertemuan publik, rapat umum dan aksi protes. Kementerian Sosial memiliki otoritas untuk memberikan lisensi dan membubarkan organisasi swasta. Izin dapat dicabut jika organisasi seperti terlibat dalam kegiatan politik atau agama. Sebagai contoh, sejak tahun 1985 pemerintah telah menolak untuk lisensi Organisasi Hak Asasi Manusia Mesir (EOHR), dengan alasan bahwa itu adalah organisasi politik (Al-Ali 2000: 79-80).

Sejak tahun 2000 pemerintah Mesir memberikan batasan yang lebih ketat terhadap masyarakat sipil dan kegiatan non-pemerintah. Penangkapan salah satu aktivis masyarakat sipil / ilmuwan sosial terkemuka, Dr. Saad Eddin Ibrahim, dan dua puluh delapan rekan kerjanya berhasil menakut-nakuti tidak hanya orang yang bekerja di sektor LSM, tetapi juga ilmuwan sosial dan peneliti yang bekerja di Mesir. Perlu ditekankan bahwa dibandingkan dengan banyak negara lain Timur Tengah, seperti negara-negara Teluk Arab, Mesir masih memiliki masyarakat sipil yang relatif aktif.

Menurut Mervat Hatem (1993), sifat dan pengembangan gerakan perempuan di Timur Tengah harus dilihat dalam konteks regional dan faktor-faktor internasional. Fakta bahwa banyak organisasi perempuan di tahun 1960-an dan 1970-an yang kemudian menjabat sebagai perwakilan rezim terhadap kebijakan terhadap perempuan akhirnya mendeskreditkan organisasi perempuan.

Hatem berkomentar, “They developed a host of functions, which ranged from welfare in Jordan to mobilization and development in Egypt, Algeria, Tunisia, and Iraq. Their function and activities were largely determined by the priorities set by the existing regimes, whether it was rational household spending and savings in Egypt, birth control in Tunisia, and Iraq, education and training in traditional occupations in Syria, labor needs and/or the war economy in Iraq.”

Pada 1980-an dan 1990-an gerakan kaum perempuan yang mandiri. Namun sifat dari sebuah rezim tentunya memiliki andil besar dalam variasi gerakan perempuan. Di Mesir, pemerintah mencoba untuk membatasi ruang politik yang awalnya memungkinkan munculnya organisasi perempuan. Di Yordania, kelompok perempuan dan masyarakat secara sukarela terus berkembang yang diprakarsai oleh Puteri Basmah Binti Talal, adik dari almarhum Raja Hussein. Organisasi perempuan di Palestina berafiliasi dengan partai politik. Meskipun beberapa organisasi telah memperoleh otonomi dalam periode pasca-Oslo, namun sebagian besar menghadapi tekanan atas asaz Islam, yang sangat membatasi kegiatan dan aktivis perempuan.

Dalam beberapa kasus, pembentukan organisasi perempuan tidak begitu banyak bereaksi terhadap Islam, melainkan merupakan respon atas realitas sosial, politik, dan ekonomi. Dalam kasus gerakan perempuan di Palestina, faktor ekonomi dan perempuan merupakan pemicu munculnya swadaya perempuan. Apalagi, pendudukan dan kebijakan Israel menyebabkan kerusakan yang memicu keprihatinan ekonomi dan layanan sosial (Hatem 1993: 34). Menurut studi kasus yang terbaru (Tamari: 2001), banyak organisasi perempuan Palestina yang mendapatkan otonomi dari partai politik pada awal 1990-an. Selama periode pasca Perjanjian Oslo tahun 1993, organisasi perempuan sangat aktif dan dimobilisasi. Menurut Tamari, justru karena otonomi yang diperoleh pasca-Oslo yang membuat organisasi-organisasi perempuan tersebut mampu bertahan dalam krisis politik.

Salah satu faktor yang telah membantu munculnya organisasi perempuan di beberapa negara adalah pengaruh peningkatan konstituen internasional. Peran PBB dalam mendorong penciptaan LSM yang concern terhadap masalah perempuan merupakan faktor munculnya gerakan perempuan di Mesir (Hatem 1993: 30).

Kesimpulan

Di seluruh Timur Tengah, organisasi perempuan berjuang tidak hanya untuk meningkatkan keadilan sosial dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga memperjuangkan hak-hak politik dalam ruang yang lebih luas. Di kawasan tersebut, LSM dan berbagai asosiasi sukarela lainnya sangat dibatasi oleh undang-undang dan kebijakan yang represif. Bukan hanya pemerintah yang menjadi penghalang kokoh dalam perjuangan organisasi perempuan, namun juga karena budaya. Mereka harus berhadapan dengan ideologi gender patriarkal dan struktur politik otoriter.

Namun kendati memiliki banyak persamaan, namun gerakan perempuan di Timur Tengah bersifat heterogen, yang terbentuk atas realitas lokal yang spesifik, sesuai dengan tuntutan perempuan di masing-masing wilayah. Ada perbedaan besar terkait orientasi politik, tujuan dan prioritas, bentuk aktivisme dan struktur organisasi. Kelompok-kelompok perempuan cenderung bervariasi jika ditinjau dari tingkat ketergantungan pada otonomi partai politik, atau negara.

Ada beberapa bagian dari aparatur negara yang mendukung kelompok-kelompok perempuan, namun ada pula yang menunjukkan penentangan keras. Selain itu, gerakan perempuan tidak hanya merupakan objek yang pasif yang harus menerima dari kebijakan dan represi dari negara, karena kadang-kadang mereka menolak kekbijakan yang ada, menyusun proposal untuk kebijakan baru, dan kadang-kadang aktif dalam menciptakan undang-undang (ketika telah memiliki wewenang sebagai aparatur pemerintahan).

Ambiguitas yang melekat dalam kebijakan negara memiliki implikasi signifikan bagi politik feminis, yang harus bekerja baik melawan dan melalui negara, tergantung pada sifat khusus dari negara dan kebijakannya. Dari banyak negara di Timur Tengah pasca-kolonial, ada perubahan kebijakan, perpecahan internal, dan keterkaitan denagn konstituen internasional kemudian berdampak pada pergeseran pergerakan perempuan.

Hari ini, melebihi awal mula pergerakan perempuan di wilayah, gerakan perempuan berjuang untuk menyingkirkan halangan yang mendikte perempuan baik dari parameter Islam ataupun parameter budaya. Namun ada kelompok perempuan yang menolak wacana nasionalis dan menantang gagasan budaya Barat. Bisa jadi, perempuan-perempuan ini akan membentuk sebuah gerakan baru, gerakan perempuan yang sadar dan bangga atas sejarahnya, dan pada saat yang sama mampu membebaskan diri dari belenggu sejarah. Kelompok-kelompok perempuan di seluruh Timur Tengah harus terlibat dengan negara dan berbagai konstituen dalam masyarakat sipil dalam perjuangan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Mereka harus menemukan jaringan dan solidaritas.

Disusun oleh:

Dr Nadje S. Al-Ali
Institute of Arab and Islamic Studies
University of Exeter
Stocker Road
Exeter, EX4 4ND, UK
E-mail: n.s.al-ali@exeter.ac.uk

Notes

1 Huda Sha’rawi founded Al-Ittihad Al-Nissa’i Al-Misri (The Egyptian Feminist Union) in 1923. The EFU’s feminist agenda called for political rights for women, changes in the personal status law (especially for controls on divorce and polygamy), gender equity in secondary schools and university education and expanded professional opportunities for women. Its activism was characterized by dynamic interaction and tensions between women’s feminism and nationalism.

2 Saad Eddin Ibrahim was been sentenced to seven years in prison and hard labour, and twenty-seven of his associates received sentences ranging from two tofive years. The according to many commentators (including myself ) unjustified accusations ranged from receiving funding from the European Commission, portraying Egypt in a bad light and revealing state secrets. He was released in February 2002 after spending over one and a half years in prison. However, the case is still pending.

3 Women who have engaged in, or are suspected of having engaged in, adulterous relations or pre-marital sex risk being murdered by male relatives trying to restore their family’s honour. The existing legal framework grants freedom or reduced sentences to men, who have killed a female relative, on grounds of defending his and his family’s honour. This phenomenon is limited to Jordanians from rural areas or those from lower-class backgrounds.

4 I was invited to give a paper on Egyptian women’s NGOs at the workshop in Tehran (May 2001). During the three-day workshop, I was struck by the level of discussion and great commitment to democratic principles by participants from both the NGO sector as well as the Tehran City Council.

5 The international arena has largely contributed to the professionalization of the traditional voluntary sector.

6 Law 32 is the Law of Associations. It was first established under President Nasser in 1964, and continues to regulate the establishment of voluntary groups, associations and organizations under the supervision of the Ministry of Social Affairs.

7 The post-Oslo period refers to the time after 1991 when Israeli-Palestinian peace negotiations took place.

References

Al-Ali, Nadje. 2000.Secularism, Gender and the State in the Middle East: The Egyptian Women’s Movement.Cambridge: Cambridge University Press.

——(2002).Women’s Movement in the Middle East: Case Studies of Egypt and Turkey. UNRSID Working Paper Series. Geneva: UNRISD.

Al-Jreibi, Mohammed. 2001.‘Women and Political Participation in Jordan: The Development of Attitudes towards Allocating a Quota of parliamentary Seats for

Women’. Case Study 2. Al-Urdun Al-Jadid Research Center (UJRC).

Arat, Yesim. 1994.‘Women’s Movements of the 1980s in Turkey: Radical Outcome of Liberal Kemalism?’, in Fatma Mu ¨ge Go¨c¸ek and Shiva Balaghi (eds)Reconstructiong Gender in the Middle East: Tradition, Identity and Power.New York: Columbia University Press.

——1999a.‘Feminist Institutions and Democratic Aspirations: The Case of the Purple Roof Women’s Shelter Foundation’, in Zehra F. Arat (ed.) Deconstructing Images of ‘‘the Turkish Woman’’.London: Macmillan, Houndsmill.

——1999b.Political Islam in Turkey and Women’s Organizations.Istanbul: Friedrich Ebert Stiftung & The Turkish Economic and Social Studies Foundation.

Arat, Zehra (ed.). 1999c.Deconstructing Images of ‘‘the Turkish Woman’’. London: Macmillan, Houndsmill.

——1999d. ‘Introduction: Politics of Representation and Identity’, in Zehra F. Arat (ed.)Deconstructing Images of ‘‘the Turkish Woman’’. London: Macmillan, Houndsmill.

Connell, Robert. 1990.‘The State, Gender and Sexual Politics: Theory and Appraisal’, Theory and Society9 (5): 507–45. Eickelmann, Dale. 1998. The Middle East and Central Asia: An Anthropological Approach.New York & Englewoods Cliffs, CA: Prentice Hall.

Hamdar, Abir. 2000.‘Women Centers in Jordan’, Al-RaidaXVII–XVIII (90–1).

Hammari, Salim. 2001.‘Women NGOs and the Campaign to Reform Personal Status Law. The Case of the ‘‘Women’s Model Parliament’’ ’, conference paper, Ford Foundation Conference on Civil Society in Middle East.

Hatem, Mervat. 1993.‘Toward the Development of Post-Islamist and Post-Nationalist Feminist Discourses in the Middle East’, in Judith Tucker (ed.) Arab Women: Old Boundaries, New Frontiers. Bloomington and Indianapolis, IN: Indiana University Press.

Kandiyoti, Deniz. 1994.‘Identity and its Discontents’, in Patrick Williams and Laura Chrisman (eds)Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader.New York & London: Harvester Wheatsheaf.

——1996.‘Contemporary Feminist Scholarship and Middle East Studies’, in Deniz

Kandiyoti (ed.)Gendering the Middle East: Emerging Perspectives.London & New York: I. B. Tauris.

Tucker, Judith. 1993.‘Introduction’, in Judith Tucker (ed.) Arab Women: Old Boundaries–New Frontiers.Bloomington & Indianapolis, IN: Indiana University Press.

Zaki, Moheb. 1995.Civil Society and Democratization in Egypt, 1981–1994. Cairo: Dar El-Kutub.